Tampilkan postingan dengan label Flash Fiction. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Flash Fiction. Tampilkan semua postingan

Rindu yang Bergulung



Dia di sana, terus di sana. Duduk, berdiri, duduk, lalu berdiri lagi. Menunggu. Matanya kosong, setengah isi, menatap tarian ombak. Bila mendekat ke sana, engkau akan melihat tatapannya itu. Sendu tatapan rindu. Rindu yang bergulung-gulung. Rindu tanpa ujung.
Tiga tahun sudah, setiap pagi dan sore, dia selalu menyempatkan diri ke sana, ke pantai sunyi itu. Dia duduk di sana, berdiri, duduk, lalu berdiri lagi. Menunggu. Matanya kosong, setengah isi, menatap tarian ombak. Bila mendekat ke sana, engkau akan melihat tatapannya itu. Sendu tatapan rindu. Rindu yang bergulung-gulung. Rindu tanpa ujung.
Tiga tahun sudah, setiap pagi dan sore, dia selalu menyempatkan diri ke sana, ke pantai sunyi itu. Dia menunggu Tini, istrinya yang hilang. Ah Paijo ingat, lima tahun silam, ada hari paling indah, hari yang membuat hatinya membumbung. Di pantai sunyi itulah Paijo dan Tini bermadu, setelah akad yang sakral dan haru sehari sebelumnya. Untuk pertama kalinya Paijo bermanja, melupakan lelah, membuang hidup yang keras. Dia sandarkan diri ke tubuh Tini. Tak puas, dia berbaring, kepalanya bersandar di pangkuan Tini. Mereka bercerita, berbagi kisah, ketawa-tawa, lalu menangis karena haru.
Tiga tahun hilang dan Paijo terus berharap Tini akan datang. Kalau saja engkau dapat melihat ke sana, ke dalam dadanya. Kau akan temui, hati yang telah dilumat rindu. Rindu yang bergulung-gulung. Rindu tanpa ujung. Betapa ingin dia melihat Tini, datang melenggang. Dengan senyum manis tiada tanding. Lalu mereka bergandeng tangan, mendekat ke laut dan duduk di pasir putih, saling menempel, tiada jarak. Ingin sekali Paijo mengulang hari madu itu. Bermanja, melupakan lelah, membuang hidup yang keras. Dia sandarkan diri ke tubuh Tini. Lalu berbaring, kepalanya bersandar di pangkuan Tini. Mereka lalu bercerita, berbagi kisah, ketawa-tawa, dan bila perlu, sama-sama menagis haru.
Tiga tahun hilang dan Paijo terus berharap Tini akan datang. Kalau saja engkau dapat melihat ke sana, ke dalam dadanya. Kau akan temui, hati yang telah dilumat rindu. Rindu yang bergulung-gulung. Rindu tanpa ujung. Meski dalam hati kecil yang telah dilumat rindu itu, Paijo tahu, Tini takkan pernah benar-benar kembali datang. Sebab dia tak gila. Peristiwa itu terlalu lekat di ingatannya, tak mungkin bisa hilang. Tiga tahun lalu, hatinya sedang ditawan amarah. Dia geber motor tua itu sekencang-kencang kemampuannya. Gas mentok. Sedang Tini menangis pada boncengannya. Sedetik Paijo khilaf dan semua terjadilah. “Bruak!!” Hilang segala yang indah. Tinggal luka yang menusuk, penyesalan tanpa bentuk.
Dan kini, setelah tiga tahun berlalu, Paijo masih pergi ke Pantai. Duduk, berdiri, duduk, lalu berdiri lagi. Menunggu. Matanya kosong, setengah isi, menatap tarian ombak. Bila mendekat ke sana, engkau akan melihat tatapannya itu. Sendu tatapan rindu. Rindu yang bergulung-gulung. Rindu tanpa ujung. Meski dalam hati kecil yang telah dilumat rindu, Paijo tahu, Tini takkan pernah benar-benar kembali datang. Sebab dia tak gila. Hanya tak kuasa oleh rindu.
Pagi ini, sesuatu mungkin telah menembus gulungan rindu itu, merasuk ke hati Paijo. “Cukup!” katanya. Dia berwudzu dengan air pantai, bersujud di atas pasir, menumpahkan air mata yang masih tersisa. “Allaahu akbar,” dia bangkit, menjalani shalat dhuha, rakaat kedua.

Tina & Bapaknya


“Lihat tuh..! kikiki...”
“Wakakak...”
Teman-temanku ikut tertawa ketika kutunjuk si Tina. Anak manja itu seperti biasa, diantar bapaknya ke sekolah pakai motor. Kayak anak SD aja. Tapi bukan itu yang membuat kami tertawa. Bapaknya tidak cukup mengentar si Tina sampai depan gerbang sekolah, tapi sampai depan kelas. Turun dari motor, Tina mengandeng tangan bapaknya erat-erat. Lucu sekali. Kalau saja umurnya tidak kelihatan beda tiga puluhan tahun, anak-beranak itu pasti dikira sepasang kekasih. Atau kalau saja tidak di sekolahan, barang kali orang akan mengira kalau si Tina adalah anak nakal yang mau saja diajak ke mana-mana sama om om.
Nyatanya itu si Tina dengan bapaknya..., lucu sekali.
Iya, Tina memang lucu. Lucunya lagi dia bisa jadi sahabat baikku. Kok bisa ya? Kadang aku berpikir begitu. Aku ini bisa dibilang rada tomboy dan urakan. Pokoknya 180% kalau dibandingin sama si Tina. Apa lagi dalam urusan yang tadi. Ah, nggak mungkin banget aku bakal kayak si Tina. Gandengin bapakku ke mana-mana? Ih, amit-amit.
Sebenarnya Tina anaknya sangat baik. Dia peduli dengan masalah-masalah yang sedang dihadapi teman-temannya. Maka meski aneh, terutama dalam hal gandeng-gandeng tangan bapaknya itu, si Tina tetap punya banyak sahabat. Malah aku sendiri adalah sahabat terdekatnya.
Di samping itu, Tina anak yang berprestasi. Juara di kelasku. Kalau ada PR, Tinalah rujukan pertama untuk dimintai contekan.., hehe. Terutama PR matematika. Sebenarnya bukan contekan sih. Soalnya kalau ada yang mau mencontek PRnya, Tina selalu memastikan anak itu paham dulu. Dia terangkan dulu cara mengerjakan PR itu sejelas-jelasnya – macam bu guru saja – baru boleh dicontek. Mungkin rada soksokan, tapi memang berguna. Minimal anak-anak macam diriku yang anti matematika begini jadi ngerti dikit.
Yang paling tidak kumengerti adalah hubungan Tina dengan bapaknya itu. Mirip betul sepasang kekasih. Sebenarnya aku sering risih. Saat pulang sekolah, kami lagi jalan bareng, tiba-tiba muncul bapaknya..., langsung deh Tina cium tangan terus gandengan sama bapaknya itu.
“Sampai ketemu besok ya...,” begitu saja, terus ngacir sama bapaknya.
Dalam hal ini, Tina memang anak yang aneh. Aku benar-benar tak mengerti. Hingga suatu hari...
Aku tak mengerti. Tina yang kehilangan, tapi hatiku iku teriris-iris. Air mataku tak terbendung, tumpah. Surat ijin tidak berangkat dari Tina sampai ke sekolah, dengan catatan, bapaknya meninggal dunia sebab serangan jantung.
Allah...
Aku tahu betapa Tina mencintai bapaknya. Dia nomor satu dalam hal ini. Dan kini bapaknya pergi... Betapa Tina pasti sangat kehilangan. Aku tak tahu, kenapa jadi ingin melihat sahabatku itu menggandeng tangan bapaknya lagi...
Aku... Betapa aku tidak berbakti kepada ayahku. Memikirkannya saja jarang sekali. Astaghfirullahal’adzim...
 
abcs