Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan

Living a Beautiful Life


Thirty two years old and more. May be I’v passed a half of my life. Or maybe more. I don’t know, and will never know. Maybe close, maybe still far enaugh. Wich certainly is that I’ll pass away some day. Now, I like to have a little contemplate, try to take a reflection from my life.
Life is Beautiful. There is a movie about it, use that sentence as  title. Ya, life is beautiful. I feel it. Mostly when I think about what I’v reach in life. To many blessing that Allah have gave me. When I let my mind fly trough my journey of life, wow, some times no world that represent how thanksfull I am.
 My childhood, how beautiful it was. Lived in a peace little village. How beautiful is my village. Wherever I am facing, I always see a great viewer. Vast paddy fileds, rolling green hills, blue mountains and sky, birds and kites flying. It is beautifull. Now I live far enaugh from my home village, but every time I return to that village, I enjoy it much. And my familly is still live there too.
So many memories that I think I’ll never forget. How I plied with my friends, how I passed my school years, how I helped my parents bussiness. In the field, in the kitchen. My father has a narrow field not too far from our house. Some times I, my brothers and my mother helped my father doing his job; pulling the weeds, picking the rice or corn, irrigate the field, etc. And at home, my mother make porridge from glutinous rice to be sell. I used to help her cook, cut, and pack it.
Ya, I realized, in the other side, I have passed a hard life too. So many trouble I had to face, so often I had to handle a heavy heart. So much sorrow, so much crying. But in a possitive view, all was lessons, all built my maturity. And whatever difficult and hard the road I have passed, for now, it were beautiful memories.
Now I’m not a child anymore. And every time I still have to be very thankful to Allah.

It is exactly true, we can never count the blessing of Allah. Never. In envery breath we take, Allah never absent to give us blessing. A healty physical, familly, friends, job, activities, hobby, entertainment, smile, laugh. And the breath itself is a great blessing. We have to be so thanksfull that we still can breath easly.  No difficullity, no payment. All free. And when we still breating, we still alive. Living a beautifull life.

Galau Tapi Narsis


Yah, akhirnya aku nulis lagi. Beberapan pekan enggan menulis. Bukan karena tak sempat. Kalau disempat-sempatkan pasti sempat ya? Akan tetapi beberapa hal yang menampar egoku memang membuat semangat menulis sempat ngedrop. Di samping, aku juga takut, emosi negatif akan terlalu banyak mempengaruhi tulisanku. Jangan-jangan bukan pahala yang akan kudapat, melainkan dosa.
Tapi ya... sudah terlanjur, sudah kecemplung di dunia tulis-menulis (sebenarnya sudah jatuh cinta), pada akhirnya toh aku nulis lagi. Kali ini ingin memuhasabahi diri saja. Entah ini kreatif atau sesungguhnya cuma pengen narsis. Lha muhasabah kok ditulis segala, disebarin via jejaring sosial pula? Ah, sekali lagi, sudah terlajur cinta sama dunia tulis-menulis.
Ceritanya, gebalau hati sempat melandaku beberapa waktu. Yah, penyakitnya anak muda barangkali, galau. Mudah-mudahan, seiring jemariku menari di atas laptop yang bukan punya sendiri ini, gebalau itu akan menyelinap pergi dari hati ini. Bukankan menulis dapat menjadi katarsis bagi jiwa? Ya, aku mempercayai teori itu, menulis dapat membantu kita membuang sampah-sampah jiwa yang menumpuk. Semoga..
Banyak sebab kegalauan menimpaku. Yah, hubungan muamalah seringkali menjadi sebab-musabab. Akan kuceritakan kegalauan yang positif saja. Galau-galau yang lain biarlah, kuhapus saja.
Tentang pandangan manusia dan pandangan Allah. Ah, sedikit lamban menuliskan ini. Takut niat belum betul-betul lurus, ikhlas demi mendapatkan ridha Allah. Takut, syetan kembali menyandra hati dan pikiranku. Allah..., hamba berlindung kepadamu.
Pandangan manusia. Bersyukur, bahwa banyak orang masih mempercayaiku, menghormatiku dan terkadang meninggikanku. Ramadhan tiga tahun yang lalu, juga dua tahun lalu, aku dipercaya warga Perumahan Taman Anggur Refaonda untuk jadi imam tarawih. Kebetulan di perumahan belum ada mushalla, jadi kita tarawihan di salah satu rumah warga. Ada jama’ah shalat khusus Ramadhan saja. Ramadhan terakhir aku tak jadi imam karena sudah ada imam baru, kebetulan namanya juga Pak Imam. Beliau belum lama membangun rumah persis di samping kiri rumahku.
Alhamdulillah, berkat gotong royong warga dan kesungguhan panitia pembangunan, mushalla di perumahanku kini telah berdiri dan dimanfaatkan. Malah sempat mengadakan acara peresmian sekaligus Mauludan. Ketika pak Imam absen jadi imam, ternyata aku masih pula dipercaya untuk menggantikan. Rupanya Pak Imam cukup sering absen. Jadinya aku sering juga jadi pengganti, menjadi imam shalat wajib. Malah, akhir-akhir ini, aku yang lebih sering jadi imam dari pada Pak Imam.
Padahal, jama’ahnya sebagian besar sudah matang usia. Empat puluh dan lima puluh ke atas. Cuma ada satu yang remaja, plus anak-anak. Sedang aku masih usia 31. Cukup tua juga sih. Akan tetapi mereka-mereka lebih mempercayakanku untuk jadi imam mushalla. Bacaan lebih bagus dan hapalan lebih banyak, kurasa itu sebabnya. Padahal, dua juz yang sebagian bubar lagi itu sesungguhnya, terlalu sedikit untuk orang setua diri ini. (Temen-temen SDIT Buah Hati, kita berlomba yuks tingkatin hapalan. Masak kalah sama muridnya...).
Seringkali terbersit... Ya Allah, aku jadi imam. Rasanya sungguh tak pantas. Teramat bertumpuk dosa. Mungkin aku lebih muda, tapi soal dosa, barangkali aku yang paling banyak menumpuknya. Bacaan lebih bagus kalau mengaburkan keikhlasan juga tiada arti. Hapalan yang dpada bubar itu juga bukan apa-apa. Malah tempo hari, di sekolah ada seorang gadis yang jualan sepatu. Dia tak berjilbab dan berpakain cukup seksi. Ketika melihatnya, langsung terlintas di benak, ‘ah, barangkali dalam pandangan Allah, dia jauh lebih baik dariku.’ Kembali teringat dosa-dosa yang menggunung...
Di SDIT Buah Hati, aku juga masih memegang amanah sebagai waka kurikulum. Kadang merasa sangat tak pantas. Dalam hal administrasi saja aku kalah dengan ustadz-ustadzah yang lain. Kadang merasa sangat tak bertanggung jawab. Banyak hal yang seharusnya kukerjakan, tapi belum atau bahkan enggan kulakukan. Atau mungkin sudah kulakukan, tapi belum sepenuh kesungguhan, belum maksimal. Barangkali juga banyak hal yang semestinya kulakukan, tapi aku  tak tahu kalau harus melakukannya. Sebaliknya, ada hal-hal yang tak semestinya kulakukan, tapi justru sering mengisi hari-hariku. Yang jelas, bila menengok tanggung jawab, rasanya aku tak cukup pantas untuk memikulnya. Aku masih dari yang penuh kelemahan dan kekurangan.
Sementara amanah di FLP Cabang Pemalang alhamdulillah sudah berkurang. Aku lengser dari jabatan ketua. Insya Allah, esok akan kuceritakan yang ini. Akan tetapi, dalam hal tulis-menulis, kayaknya aku juga masih jadi rujukan utama di Kota Pemalang. Aku tetap saja memikul tanggung jawab, untuk mengembangkan dakwah bil qolam. Khususnya di kota kecil ini.
Ah, sepertinya aku tak perlu galau lagi. Sudah saatnya untuk bersemangat. Menjadi diri yang baru. Menyongsong hari esok yang lebih cerah.
(he, ini nulis terasa sekenanya. Ngasih judulnya juga begitu)

Galau Tapi Narsis


Yah, akhirnya aku nulis lagi. Beberapan pekan enggan menulis. Bukan karena tak sempat. Kalau disempat-sempatkan pasti sempat ya? Akan tetapi beberapa hal yang menampar egoku memang membuat semangat menulis sempat ngedrop. Di samping, aku juga takut, emosi negatif akan terlalu banyak mempengaruhi tulisanku. Jangan-jangan bukan pahala yang akan kudapat, melainkan dosa.
Tapi ya... sudah terlanjur, sudah kecemplung di dunia tulis-menulis (sebenarnya sudah jatuh cinta), pada akhirnya toh aku nulis lagi. Kali ini ingin memuhasabahi diri saja. Entah ini kreatif atau sesungguhnya cuma pengen narsis. Lha muhasabah kok ditulis segala, disebarin via jejaring sosial pula? Ah, sekali lagi, sudah terlajur cinta sama dunia tulis-menulis.
Ceritanya, gebalau hati sempat melandaku beberapa waktu. Yah, penyakitnya anak muda barangkali, galau. Mudah-mudahan, seiring jemariku menari di atas laptop yang bukan punya sendiri ini, gebalau itu akan menyelinap pergi dari hati ini. Bukankan menulis dapat menjadi katarsis bagi jiwa? Ya, aku mempercayai teori itu, menulis dapat membantu kita membuang sampah-sampah jiwa yang menumpuk. Semoga..
Banyak sebab kegalauan menimpaku. Yah, hubungan muamalah seringkali menjadi sebab-musabab. Akan kuceritakan kegalauan yang positif saja. Galau-galau yang lain biarlah, kuhapus saja.
Tentang pandangan manusia dan pandangan Allah. Ah, sedikit lamban menuliskan ini. Takut niat belum betul-betul lurus, ikhlas demi mendapatkan ridha Allah. Takut, syetan kembali menyandra hati dan pikiranku. Allah..., hamba berlindung kepadamu.
Pandangan manusia. Bersyukur, bahwa banyak orang masih mempercayaiku, menghormatiku dan terkadang meninggikanku. Ramadhan tiga tahun yang lalu, juga dua tahun lalu, aku dipercaya warga Perumahan Taman Anggur Refaonda untuk jadi imam tarawih. Kebetulan di perumahan belum ada mushalla, jadi kita tarawihan di salah satu rumah warga. Ada jama’ah shalat khusus Ramadhan saja. Ramadhan terakhir aku tak jadi imam karena sudah ada imam baru, kebetulan namanya juga Pak Imam. Beliau belum lama membangun rumah persis di samping kiri rumahku.
Alhamdulillah, berkat gotong royong warga dan kesungguhan panitia pembangunan, mushalla di perumahanku kini telah berdiri dan dimanfaatkan. Malah sempat mengadakan acara peresmian sekaligus Mauludan. Ketika pak Imam absen jadi imam, ternyata aku masih pula dipercaya untuk menggantikan. Rupanya Pak Imam cukup sering absen. Jadinya aku sering juga jadi pengganti, menjadi imam shalat wajib. Malah, akhir-akhir ini, aku yang lebih sering jadi imam dari pada Pak Imam.
Padahal, jama’ahnya sebagian besar sudah matang usia. Empat puluh dan lima puluh ke atas. Cuma ada satu yang remaja, plus anak-anak. Sedang aku masih usia 31. Cukup tua juga sih. Akan tetapi mereka-mereka lebih mempercayakanku untuk jadi imam mushalla. Bacaan lebih bagus dan hapalan lebih banyak, kurasa itu sebabnya. Padahal, dua juz yang sebagian bubar lagi itu sesungguhnya, terlalu sedikit untuk orang setua diri ini. (Temen-temen SDIT Buah Hati, kita berlomba yuks tingkatin hapalan. Masak kalah sama muridnya...).
Seringkali terbersit... Ya Allah, aku jadi imam. Rasanya sungguh tak pantas. Teramat bertumpuk dosa. Mungkin aku lebih muda, tapi soal dosa, barangkali aku yang paling banyak menumpuknya. Bacaan lebih bagus kalau mengaburkan keikhlasan juga tiada arti. Hapalan yang dpada bubar itu juga bukan apa-apa. Malah tempo hari, di sekolah ada seorang gadis yang jualan sepatu. Dia tak berjilbab dan berpakain cukup seksi. Ketika melihatnya, langsung terlintas di benak, ‘ah, barangkali dalam pandangan Allah, dia jauh lebih baik dariku.’ Kembali teringat dosa-dosa yang menggunung...
Di SDIT Buah Hati, aku juga masih memegang amanah sebagai waka kurikulum. Kadang merasa sangat tak pantas. Dalam hal administrasi saja aku kalah dengan ustadz-ustadzah yang lain. Kadang merasa sangat tak bertanggung jawab. Banyak hal yang seharusnya kukerjakan, tapi belum atau bahkan enggan kulakukan. Atau mungkin sudah kulakukan, tapi belum sepenuh kesungguhan, belum maksimal. Barangkali juga banyak hal yang semestinya kulakukan, tapi aku  tak tahu kalau harus melakukannya. Sebaliknya, ada hal-hal yang tak semestinya kulakukan, tapi justru sering mengisi hari-hariku. Yang jelas, bila menengok tanggung jawab, rasanya aku tak cukup pantas untuk memikulnya. Aku masih dari yang penuh kelemahan dan kekurangan.
Sementara amanah di FLP Cabang Pemalang alhamdulillah sudah berkurang. Aku lengser dari jabatan ketua. Insya Allah, esok akan kuceritakan yang ini. Akan tetapi, dalam hal tulis-menulis, kayaknya aku juga masih jadi rujukan utama di Kota Pemalang. Aku tetap saja memikul tanggung jawab, untuk mengembangkan dakwah bil qolam. Khususnya di kota kecil ini.
Ah, sepertinya aku tak perlu galau lagi. Sudah saatnya untuk bersemangat. Menjadi diri yang baru. Menyongsong hari esok yang lebih cerah.
(he, ini nulis terasa sekenanya. Ngasih judulnya juga begitu)

Galau Tapi Narsis


Yah, akhirnya aku nulis lagi. Beberapan pekan enggan menulis. Bukan karena tak sempat. Kalau disempat-sempatkan pasti sempat ya? Akan tetapi beberapa hal yang menampar egoku memang membuat semangat menulis sempat ngedrop. Di samping, aku juga takut, emosi negatif akan terlalu banyak mempengaruhi tulisanku. Jangan-jangan bukan pahala yang akan kudapat, melainkan dosa.
Tapi ya... sudah terlanjur, sudah kecemplung di dunia tulis-menulis (sebenarnya sudah jatuh cinta), pada akhirnya toh aku nulis lagi. Kali ini ingin memuhasabahi diri saja. Entah ini kreatif atau sesungguhnya cuma pengen narsis. Lha muhasabah kok ditulis segala, disebarin via jejaring sosial pula? Ah, sekali lagi, sudah terlajur cinta sama dunia tulis-menulis.
Ceritanya, gebalau hati sempat melandaku beberapa waktu. Yah, penyakitnya anak muda barangkali, galau. Mudah-mudahan, seiring jemariku menari di atas laptop yang bukan punya sendiri ini, gebalau itu akan menyelinap pergi dari hati ini. Bukankan menulis dapat menjadi katarsis bagi jiwa? Ya, aku mempercayai teori itu, menulis dapat membantu kita membuang sampah-sampah jiwa yang menumpuk. Semoga..
Banyak sebab kegalauan menimpaku. Yah, hubungan muamalah seringkali menjadi sebab-musabab. Akan kuceritakan kegalauan yang positif saja. Galau-galau yang lain biarlah, kuhapus saja.
Tentang pandangan manusia dan pandangan Allah. Ah, sedikit lamban menuliskan ini. Takut niat belum betul-betul lurus, ikhlas demi mendapatkan ridha Allah. Takut, syetan kembali menyandra hati dan pikiranku. Allah..., hamba berlindung kepadamu.
Pandangan manusia. Bersyukur, bahwa banyak orang masih mempercayaiku, menghormatiku dan terkadang meninggikanku. Ramadhan tiga tahun yang lalu, juga dua tahun lalu, aku dipercaya warga Perumahan Taman Anggur Refaonda untuk jadi imam tarawih. Kebetulan di perumahan belum ada mushalla, jadi kita tarawihan di salah satu rumah warga. Ada jama’ah shalat khusus Ramadhan saja. Ramadhan terakhir aku tak jadi imam karena sudah ada imam baru, kebetulan namanya juga Pak Imam. Beliau belum lama membangun rumah persis di samping kiri rumahku.
Alhamdulillah, berkat gotong royong warga dan kesungguhan panitia pembangunan, mushalla di perumahanku kini telah berdiri dan dimanfaatkan. Malah sempat mengadakan acara peresmian sekaligus Mauludan. Ketika pak Imam absen jadi imam, ternyata aku masih pula dipercaya untuk menggantikan. Rupanya Pak Imam cukup sering absen. Jadinya aku sering juga jadi pengganti, menjadi imam shalat wajib. Malah, akhir-akhir ini, aku yang lebih sering jadi imam dari pada Pak Imam.
Padahal, jama’ahnya sebagian besar sudah matang usia. Empat puluh dan lima puluh ke atas. Cuma ada satu yang remaja, plus anak-anak. Sedang aku masih usia 31. Cukup tua juga sih. Akan tetapi mereka-mereka lebih mempercayakanku untuk jadi imam mushalla. Bacaan lebih bagus dan hapalan lebih banyak, kurasa itu sebabnya. Padahal, dua juz yang sebagian bubar lagi itu sesungguhnya, terlalu sedikit untuk orang setua diri ini. (Temen-temen SDIT Buah Hati, kita berlomba yuks tingkatin hapalan. Masak kalah sama muridnya...).
Seringkali terbersit... Ya Allah, aku jadi imam. Rasanya sungguh tak pantas. Teramat bertumpuk dosa. Mungkin aku lebih muda, tapi soal dosa, barangkali aku yang paling banyak menumpuknya. Bacaan lebih bagus kalau mengaburkan keikhlasan juga tiada arti. Hapalan yang dpada bubar itu juga bukan apa-apa. Malah tempo hari, di sekolah ada seorang gadis yang jualan sepatu. Dia tak berjilbab dan berpakain cukup seksi. Ketika melihatnya, langsung terlintas di benak, ‘ah, barangkali dalam pandangan Allah, dia jauh lebih baik dariku.’ Kembali teringat dosa-dosa yang menggunung...
Di SDIT Buah Hati, aku juga masih memegang amanah sebagai waka kurikulum. Kadang merasa sangat tak pantas. Dalam hal administrasi saja aku kalah dengan ustadz-ustadzah yang lain. Kadang merasa sangat tak bertanggung jawab. Banyak hal yang seharusnya kukerjakan, tapi belum atau bahkan enggan kulakukan. Atau mungkin sudah kulakukan, tapi belum sepenuh kesungguhan, belum maksimal. Barangkali juga banyak hal yang semestinya kulakukan, tapi aku  tak tahu kalau harus melakukannya. Sebaliknya, ada hal-hal yang tak semestinya kulakukan, tapi justru sering mengisi hari-hariku. Yang jelas, bila menengok tanggung jawab, rasanya aku tak cukup pantas untuk memikulnya. Aku masih dari yang penuh kelemahan dan kekurangan.
Sementara amanah di FLP Cabang Pemalang alhamdulillah sudah berkurang. Aku lengser dari jabatan ketua. Insya Allah, esok akan kuceritakan yang ini. Akan tetapi, dalam hal tulis-menulis, kayaknya aku juga masih jadi rujukan utama di Kota Pemalang. Aku tetap saja memikul tanggung jawab, untuk mengembangkan dakwah bil qolam. Khususnya di kota kecil ini.
Ah, sepertinya aku tak perlu galau lagi. Sudah saatnya untuk bersemangat. Menjadi diri yang baru. Menyongsong hari esok yang lebih cerah.
(he, ini nulis terasa sekenanya. Ngasih judulnya juga begitu)

MUDAH tapi SUSAH




Mudah tapi susah, bayak hal masuk kategori ini. Seperti kata cinta. Mengucapkan kata cinta tentu saja mudah, semudah mengucap kata-kata lainnya. But, dalam ruang-ruang keluarga, seringkali satu kata itu pun susah dikeluarkan. Seorang istri harus menangis-nangis menunggu kata cinta dari suaminya. Ya, tak jarang seorang suami sulit berkata cinta pada istri sendiri. Padahal jelas-jelas dia cinta. Tapi untuk  mengungkapkannya dengan kata-kata, ah susah. Ada saja yang membuat lidah menjadi kaku dan kelu.
Iya, Mudah tapi susah, banyak hal masuk kategori ini. Seperti juga senyuman terhadap saudara kita. Tersenyum itu mudah, semudah menarik dua bibir kita ke samping kanan dan kiri. Dan kita tahu, senyum tulus kita terhadap saudara sesama muslim akan mendatangkan pahala. Lagi pula banyak manfaatnya. Bagi diri, senyuman akan menghadirkan energi positif, suasana nyaman dan rasa optimis. Bagi orang lain, senyuman mendatangkan kenyamanan, keteduhan dan rasa persahabatan. Komunikasi pun dapat terjalin dengan baik, dihias senyuman. Tapi itu tadi, seringkali, yang mudah itu menjadi susah. Bibir jadi tak mudah tergerak ke samping, malah ke depan, manyun. Apa lagi bila sedang ada masalah, susah.
Mudah tapi susah. Memang, banyak hal masuk kategori ini. Seperti menahan diri untuk tidak mengungkap keburukan dan kekurangan orang lain. Mudah, semudah kita untuk diam, tidak bicara, tidak menggerakkan bibir dan lidah. Nyatanya hal ini seringkali menjadi susah. Betapa mulut manusia seringkali gatal bila belum membicarakan keburukan dan kekurangan orang lain. Mulut sulit ditahan untuk membuka dan menutup. Klimat demi kalimat pun membanjir, tentang aib orang lain. Bahkan bila keburukan dan kekurangan orang lain itu sebenarnya sifatnya masih dugaan. Diduga dia begini dan begitu, yang jelek-jelek. Manusia-manusai ini lupa bahwa mereka sedang berbuat keji. Iya, keji, sekeji memakan daging saudaranya sendiri yang sudah mati. Hiii..., ngeri.
Mudah tapi susah. Sekali lagi, memang banyak hal masuk kategori ini. Seperti menahan diri untuk tidak menulis setatus di FB atau ngetwit dengan tulisan-tulisan galau, atau tulisan-tulisan yang jelas tiada mendatangkan kebaikan. Jelas-jelas tidak jelas. Mudah, tinggal tidak usah menulis saja. Nyatanya jadi susah. Pikiran, perasaan dan tangan begitu mudah terdorong untuk menulis. Menulis yang tidak jelas. Asal. Malah tulisan galau. Tanpa sadar, bahwa kalau toh tidak mendatangkan dosa, setidaknya tulisan itu sia-sia. Tiada manfaatnya. Belum lagi bila ternyata, tulisan-tulisan itu menunjukkan bahwa diri kita kurang bersyukur atas nikmat Allah. Menunjukkan bahwa kita orang yang tidak jelas, tak punya visi dan mimpi yang menjulang. Atau setidaknya, menunjukkan bahwa kita sedang terlena, lupa.
Masih banyak lagi perkara-perkara yang sejatinya mudah tetapi menjadi susah. Barangkali karena tidak kokohnya jiwa, keruhnya hati. Hingga hal-hal yang semestinya sangat mudah menjadi sulit kita lakukan. Maka, mari terus-menerus benahi diri. Mudah-mudahan saja, dalam hal semacam itu kita dapat fokus pada kata ‘mudah’ dan menjauh dari kata ‘susah.’ Iya, tidak udah susah-susah, dibuat mudah saja.

Mudah Tapi Susah


Mudah tapi susah, bayak hal masuk kategori ini. Seperti kata cinta. Mengucapkan kata cinta tentu saja mudah, semudah mengucap kata-kata lainnya. But, dalam ruang-ruang keluarga, seringkali satu kata itu pun susah dikeluarkan. Seorang istri harus menangis-nangis menunggu kata cinta dari suaminya. Ya, tak jarang seorang suami sulit berkata cinta pada istri sendiri. Padahal jelas-jelas dia cinta. Tapi untuk  mengungkapkannya dengan kata-kata, ah susah. Ada saja yang membuat lidah menjadi kaku dan kelu.
Iya, Mudah tapi susah, banyak hal masuk kategori ini. Seperti juga senyuman terhadap saudara kita. Tersenyum itu mudah, semudah menarik dua bibir kita ke samping kanan dan kiri. Dan kita tahu, senyum tulus kita terhadap saudara sesama muslim akan mendatangkan pahala. Lagi pula banyak manfaatnya. Bagi diri, senyuman akan menghadirkan energi positif, suasana nyaman dan rasa optimis. Bagi orang lain, senyuman mendatangkan kenyamanan, keteduhan dan rasa persahabatan. Komunikasi pun dapat terjalin dengan baik, dihias senyuman. Tapi itu tadi, seringkali, yang mudah itu menjadi susah. Bibir jadi tak mudah tergerak ke samping, malah ke depan, manyun. Apa lagi bila sedang ada masalah, susah.
Mudah tapi susah. Memang, banyak hal masuk kategori ini. Seperti menahan diri untuk tidak mengungkap keburukan dan kekurangan orang lain. Mudah, semudah kita untuk diam, tidak bicara, tidak menggerakkan bibir dan lidah. Nyatanya hal ini seringkali menjadi susah. Betapa mulut manusia seringkali gatil bila belum membicarakan keburukan dan kekurangan orang lain. Mulut sulit ditahan untuk membuka dan menutup. Klimat demi kalimat pun membanjir, tentang aib orang lain. Bahkan bila keburukan dan kekurangan orang lain itu sebenarnya sifatnya masih dugaan. Diduga dia begini dan begitu, yang jelek-jelek. Manusia-manusai ini lupa bahwa mereka sedang berbuat keji. Iya, keji, sekeji memakan daging saudaranya sendiri yang sudah mati. Hiii..., ngeri.
Mudah tapi susah. Sekali lagi, memang banyak hal masuk kategori ini. Seperti menahan diri untuk tidak menulis setatus di FB atau ngetwit dengan tulisan-tulisan galau, atau tulisan-tulisan yang jelas tiada mendatangkan kebaikan. Jelas-jelas tidak jelas. Mudah, tinggal tidak usah menulis saja. Nyatanya jadi susah. Pikiran, perasaan dan tangan begitu mudah terdorong untuk menulis. Menulis yang tidak jelas. Asal. Malah tulisan galau. Tanpa sadar, bahwa kalau toh tidak mendatangkan dosa, setidaknya tulisan itu sia-sia. Tiada manfaatnya. Belum lagi bila ternyata, tulisan-tulisan itu menunjukkan bahwa diri kita kurang bersyukur atas nikmat Allah. Menunjukkan bahwa kita orang yang tidak jelas, tak punya visi dan mimpi yang menjulang. Atau setidaknya, menunjukkan bahwa kita sedang terlena, lupa.
Masih banyak lagi perkara-perkara yang sejatinya mudah tetapi menjadi susah. Barangkali karena tidak kokohnya jiwa, keruhnya hati. Hingga hal-hal yang semestinya sangat mudah menjadi sulit kita lakukan. Maka, mari terus-menerus benahi diri. Mudah-mudahan saja, dalam hal semacam itu kita dapat fokus pada kata ‘mudah’ dan menjauh dari kata ‘susah.’ Iya, tidak udah susah-susah, dibuat mudah saja.

WHEN TOMORROW STARTS WITHOUT ME

When tomorrow starts without me
And I'm not there to see,
If the sun should rise and find your eyes
All filled with tears for me;

I wish so much you wouldn't cry
The way you did today,
While thinking of the many things,
We didn't get to say.

I know how much you love me,
As much as I love you,
And each time that you think of me,
I know you'll miss me too;

But when tomorrow starts without me,
Please try to understand,
That an angel came and called my name,
And took me by the hand,

And said my place was ready,
In heaven far above,
And that I'd have to leave behind
All those I dearly love.

 

But as I turned to walk away,
A tear fell from my eye
For all my life, I'd always thought,
I didn't want to die.

 

I had so much to live for,
So much left yet to do,
It seemed almost impossible,
That I was leaving you.

I thought of all the yesterdays,
The good ones and the bad,
I thought of all the love we shared,
And all the fun we had.

If I could relive yesterday,
Just even for a while,
I'd say good-bye and kiss you
And maybe see you smile.

But then I fully realized,
That this could never be,
For emptiness and memories,
Would take the place of me.

 And when I thought of worldly things,
I might miss come tomorrow,
I thought of you, and when I did,
My heart was filled with sorrow.

 

But when I walked through Heaven's gates,
I felt so much at home.
When God looked down and smiled at me,
From His great golden throne

 

He said, "This is eternity,
And all I've promised you.
Today your life on earth is past,
But here life starts a new.

 

"I promise no tomorrow,
But today will always last,
And since each day's the same way
There's no longing for the past.

 

"You have been so faithful,
So trusting and so true.
Though there were times
You did some things
You knew you shouldn't do.

 

"But you have been forgiven
And now at last you're free.
So won't you come and take my hand
And share my life with me."

So when tomorrow starts without me,
Don't think we're far apart,
For every time you think of me,
I'm right here, in your heart.

~By David M. Romano, 1993~

Kehilangan

Hari itu Maman sedang berada di sebuah bus antar kota. Di bangku urutan kedua dari belakang Maman bersandar, dekat pintu bus. Matanya tiba-tiba terbelalak, ketika ia menoleh ke sebelah kiri. Seorang pria berpakaian rapi sedang mengeluarkan tangannya dari tas seorang gadis. Gadis itu hanya diam sambil menarik-narik tasnya. Sedang pria itu celingusan ketika tahu bahwa Maman mengawasinya. Untunglah, pria itu tak mendapat apa-apa dari si gadis. Beberapa saat berlalu, pria itu meletakkan sebuah dompet pada bangku kosong di sebelah Maman. Seorang bapak datang dan langsung menilep dompet itu dengan koran. Tak berapa lama kemudian, dua copet itu turun. Sepertinya dompet itu milik ibu PNS yang duduk di depan Maman tadi.
Ya Allah, dunia....
Maman begitu geram melihat aksi dua pencopet itu. Namun apa daya...?
Kini Maman justru geram pada dirinya sendiri. Kenapa aku tak berbuat apa-apa? Dompet yang ditaruh di sebelahku tadi jelas-jelas curian. Bisa saja aku langsung mengambilnya dan mengembalikan ke ibu PNS itu. Tapi aku tak bergerak. Aku diam saja. Aku pura-pura tidak mengetahui bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi. Entahlah, aku bahkan tak tahu mengapa. Aku begitu takut. Atau aku hanya enggan mengambil resiko. Astaghfirullah.... Pikiran seperti itu kemudian memenuhi angan Maman dalam perjalanannya.
Tiba-tiba Maman teringat istri tercinta. Baru saja istirnya sms bahwa ia sedang mengambil gaji bulan kemarin. Hari itu memang tanggal satu, saatnya para PNS seperti istri Maman biasa ambil gaji. Ibu PNS itu.... Yang baru kecopetan itu..., mungkin juga baru saja ambil gaji. Sedang semua gajinya ada di dompet tadi.
Angan Maman jadi ke mana-mana. Ia ingat kakaknya yang bekerja sebagai tukang parkir. Hasil kerjanya yang dua kali sehari itu belum cukup untuk biaya hidup keluarganya. Setiap kali bertemu kakaknya, nampak jelas beban berat tersirat dari wajah, kata-kata, dan setiap gerak langkahnya. Lalu angannya pun kembali kepada ibu yang baru saja kecopetan tadi.
Ibu PNS itu..., mungkin juga sedang menghadapi problema berat dalam hidupnya. Barangkali anaknya sedang dirawat di rumah sakit dan menunggu untuk dioperasi. Barangkali suaminya belum lama meninggal. Bisa saja. Padahal, dua minggu lagi hari lebaran. Kenapa hasil kerja satu bulan malah dicopet? Ah, dasar pencopet-pencopet brengsek! Tak kuasa juga Maman menahan emosi.
Tak tahu kenapa, penumpang bus itu dioper ke bus lainnya. Maman duduk di bangku yang sama, nomor dua dari belakang, dekat pintu bus. Kali ini seorang bapak bertubuh gede duduk di sampingnya. “Apa tadi mas-e nggak ketawa?”, bapak itu membuka percakapan. Rupanya si bapak juga mengamati aksi dua copet tadi. Memang, bapak itu tadi duduk di depan Maman, di samping ibu PNS yang kecopetan. Ada cerita yang membuat perasaan Maman semakin tak menentu. Bapak itu bilang bahwa ia sempat melihat dompet tadi berisi lembar-lembar lima pulu ribuan yang banyak. Sepertinya perkiraan Maman betul, ibu itu baru saja mengambil gajinya. Mungkin uang THR juga baru diambilnya hari ini.
Maman sungguh merasa kasihan. Bukan hanya kepada Ibu PNS yang kecopetan tadi, tapi juga pada dirinya sendiri. Ia berpikir, mengapa begitu lemah hinggak tak mampu berbuat apa-apa untuk membantu Ibu PNS itu. Mengapa begitu takut dengan dua copet yang jelas-jelas berjiwa pengecut. Atau jangan-jangan dirinya sendiri juga cuma seorang pengecut.
Satu hal yang sedikit mengobati resah Maman, bapak yang duduk di sampingnya rupanya juga marah dengan dirinya. “Tak berkutik”, satu kata yang sempat didengarnya dari mulut orang itu. Si bapak terlihat terus gelisah, hingga mereka sama-sama turun di terminal Pemalang. Ternyata masih ada juga orang lain yang peduli, meski tak kuasa berbuat.
Andai saja waktu itu Maman menggagalkan aksi dua copet itu, si bapak pasti membantu. Tapi hari itu telah berlu, dan Maman benar-benar hanya mampu berdiam diri? Kini tinggal ia merasa kehilangan. Dalam sepinya Maman pun merenung;
Ibu PNS itu... Yang baru dicopet itu...., hanya kehilangan harta di dompetnya. Mungkin hal itu justru membuat dosa-dosa yang pernah diperbuatnya berguguran, hingga terbebas dari api neraka. Tapi aku...? Aku kehilangan kepedulian... Aku kehilangan empati... Aku kehilangan keberanian... Aku kehilangan keyakinan terhadap Allah. Mungkin juga berarti..., aku kehilangan sebagian dari imanku. Kehilangan apa lagi yang lebih merugikan daripada kehilangan iman? Ternyata aku begitu banyak kehilangan...
Sahabat, pernahkah kau merasa begitu kehilangan, seperti Maman?
Untunglah. Bahwa di balik kehilangan pasti ada hikmah. Seperti obrolan kita yang telah berlalu. Tinggal bagaimana kita mengambil sudut pandang, positif atau negatif. Mudah-mudahan, bila mendapat giliran melihat aksi copet seperti dialami Maman, kita dapat berbuat yang terbaik. Tapi mudah-mudahan, tiada pernah ada lagi copet yang beraksi. Cukup sampai di sini ada yang kehilangan.
Oh ya, bila kau sedang bepergian, hati-hati saja! Barangkali ada copet di sekitarmu. Mungkin tidak mencopet harta, tapi iman..., bekal perjalanan hidupmu!

Pelanggaran

Pernahkah engkau mencontek saat ada tes di sekolah? Bagus sekali kalau kau menjawab; TIDAK PERNAH. Masalahnya di sekolah tertentu, terutama di sekolah-sekolah kurang favorit, apa lagi jurusannya juga tidak favorit, mencontek kadang menjadi kebiasaan turun-temurun. Jangankan anak yang tidak pernah dapat rengking, juara kelasnya saja mesih tergoda untuk ikut mencontek. Nggak percaya? Kau survey aja sendiri!
Banyak cara yang dilakukan anak-anak sekolah itu dalam mencontek. Ada yang membuat catatan kecil-kecil di sebuah kertas panjang, kemudian digulung atau dilipat hingga lipatan paling kecil. Ada pula yang menaruh kertas contekannya dalam laci, saku celana, bahkan kaos kaki. Sebagian siswa suka melirik jawaban teman sebelah. Yang lainnya saling bertanya dengan lempar-lemparan kertas. Yang lainnya lagi saling bekerjasama dengan kode-kode tertentu. Bahkan ada yang sering menuliskan contekannya pada meja tulis. Sebelum tes mereka menuliskannya pada meja yang hendak dipakai ujian, usai ujian mereka menghilangkan tulisan itu dengan pemes untuk digunakan mencontek pada tes berikutnya.
Masalahnya lagi, guru-gurunya terkadang juga tak begitu peduli dengan kebiasaan mencontek ini. Jelas-jelas muridnya pada mencontek, tapi dibiarkan saja. Memincingkan mata dan pura-pura tidak melihat. Parahnya lagi, di sekolah-sekolah tertentu guru-gurunya justru memberi jawaban ujian kepada murid-muridnya. Hal ini sering terjadi pada Ujian Nasioan. Demi menyelamatkan murid-muridnya dari kegagalan, demi menjaga nama baik sekolah, ya diberi jawabannya saja.
Nah, lebih parahnya lagi, ternyata hal itu juga telah menjadi kebijakan dinas pendidikan di kota X. Wal hasil, kota X ini menjadi peringkat pertama pada Ujian Nasional tahun itu. Weleh, ternyata kota X itu adalah kota tempat tinggalku sendiri. Menyedihkan!
Mencontek dalam hal ini memang hanya dilakukan oleh siswa atau mahasiswa yang sedang ujian. Tapi secara umum, inilah potret masyarakat kita. Betapa sering manusia melanggar aturan untuk memperoleh hasil yang instan. Padahal, hasil itu barangkali akan menghancurkan diri sendiri di masa yang akan datang.
Lihatlah di jalanan, betapa banyak pengendara yang nekat menerobos lampu merah. Banyak sekali. Kalau lampu kuning menyala, pengguna jalan bukannya memperlambat kendaraannya, tapi justru tambah ngebut menghindari lampu merah. Ketika lampu merah sudah menyela, mereka pun terus melaju, sebelum kendaraan-kendaraan dari arah kanan mulai bergerak. Itu kalau tidak terlihat polisi lalu-lintas sedang berjaga. Kalau melihat polisi, mereka akan mengerem mendadak. Beruntung kalau tidak kebablasan. Kalau mbablas, bisa-bisa berhenti tempat di tengah perempatan, seperti yang pernah dialami si Ayi. Jadilah makanan empuk polisi.
Nah, para pelanggar itu bukannya tak tahu aturannya. Bukan pula tak tahu kalau pelanggarannya penuh resiko. Tapi karena kecenderungan untuk melanggar aturan memang sudah tertanam di jiwanya. Plus ada kesempatan.
Lihatlah di kantor-kantor (pemerintahan terutama), betapa banyak pelanggaran terjadi. Pegawai yang hobi telat dan bolos. Pegawai yang nonton VCD goyang ngebor di komputer saat jam kerja. Pegawai yang main tenes meja dengan meninggalkan pekerjaan kantor yang belum digarap. Pegawai yang minta sogokan pada masyarakat yang memerlukan pelayanan. Pegawai yang korupsi, walau tak selalu berjumlah besar. Hal-hal seperti itu merupakan fenomena yang berulang-ulang. Kalau tak percaya, sering-sering saja ke kantor-kantor seperti itu, kau akan menemukan hal-hal yang MENYEBALKAN. Kenapa semua itu terjadi? Bukan pula karena mereka tak tahu aturannya. Tapi karena kecenderungan untuk melanggar aturan memang sudah tertanam di jiwa. Plus ada kesempatan.
Pelanggaran. Dalam permainan sepak bola, pelaku pelanggaran akan mendapat ganjaran. Diberi kartu kuning atau justru diusir dari kancah pertandingan; kartu merah. Kalau tidak, minimal pihak lawan akan mendapatkan tendangan bebas. Tapi pemain sepak bola juga selalu berhati-hati dengan pelanggaran. Kalau wasit sedang mengawasinya, ia takkan melakukan pelanggaran dengan terang-terangan. Kalau ada kesempatan..., baru....
Begitupun dalam lingkup-lingkup kehidupan lainnya, orang akan berhati-hati melakukan pelanggaran kalau sedang diawasi. Kalau polisi sedang mengatur lalu-lintas di tengah jalan, orang takkan berani menerobos lampu merah (kecuali motornya gede atau temannya banyak). Itu karena resikonya jelas, ia bakal ditilang. Di kantor-kantor seperti yang telah kita bicarakan juga takkan terjadi banyak pelanggaran, kalau sedang diawasi pimpinan atau datang seorang penilik. Kecuali kalau mereka sudah terbiasa kongkalikong dengan pimpinan dan pengawasnya. Dan biasanya memang sudah begitu. Antara pimpinan dan bawahan, antara pengawas dan yang diawasi sama saja, tukang buat pelanggaran.
Jika tak ada pengawas, pelanggaran-pelanggaran itu hampir selalu terjadi. Kalau ada operasi mendadak, orang-orang kelabakan. Ada polisi yang menertibkan pengguna jalan, memeriksa kelengkapan berkendaraan misalnya. Atau pada kasus Pegawai Negeri, ada operasi Satpol PP datang ke tempat-tempat umum untuk mencari Pegawai Negeri yang melanggar jam kerja.
Celakanya, kebiasaan melakukan pelanggaran tak hanya dilakukan terhadap aturan-aturan yang ditetapkan manusia. Pelanggaran juga biasa dilakukan terhadap aturan-aturan Sang Penguasa Jagad Raya. Lihatlah dosa-dosa yang dilakukan manusia. Di mana saja, kapan saja, selalu ada. Ada dan selalu ada. Sebabnya; mereka tidak merasa sedang diwasi.
Bagi orang Islam, perbuatan dosa banyak dilakukan bukan karena tidak tahu akan larangannya. Banyak orang yang tekun mempelajari syari’at, tapi tetap saja gemar bermaksiat. Pun kalau dosa-dosa itu dilakukan karena tidak tahu aturan yang benar, ia mungkin tetap mendapatkan ganjarannya di neraka.
Waku itu Supri dan Ayi sedang menuju Pantai Baron untuk survey tempat di mana Lembaga Dakwah di kampus mereka hendak mengadakan rihlah. Biasa, mereka berangkat dengan Astrea 800 milik Supri. Di tengah perjalanan, tiba-tiba mereka dicegat polisi dan ditilang. Ternyata mereka telah melewati jalur yang salah. Dulu jalan itu memang dipakai untuk jalur ke arah selatan, tapi ternyata sekarang ada jalan baru di sebelah timur. Jalan baru inilah yang digunakan untuk jalur ke arah selatan. Sedang jalan yang tadi mereka lewati khusus untuk jalur ke utara. Pak polisi tentu tak menerima alasan bahwa Supri dan Ayi tidak tahu aturannya atau tidak melihat rambu-rambu. Yang jelas rambunya telah dipasang dan mereka melakukan pelanggaran. Karena itu harus ditilang.
Yang menyebalkan, bapak-bapak polisi itu mengintip dari tempat tersembunyi. Baru kalau ada pengendara yang nyasar di jalur itu, pak polisi muncul untuk menilang. Bukankah bapak-bapak polisi itu seharusnya berada di pertigaan tempat para pengendara harus berbelok, untuk memberitahukan pengguna jalan bahwa ke arah selatan dialihkan melalui jalan sebelah timur? Ternyata pelanggaran para pengendara memang telah diharap-harap oleh bapak-bapak polisi itu. Untuk apa lagi kalau bukan mendapatkan bagian dari uang tilang. Jadi, sebenarnya siapa yang melakukan pelanggaran?
Allah telah membuat aturan yang sebaik-baiknya dengan menurunkan al-Qur’an. Allah juga tidak memberikan hukuman yang tidak adil seperti bapak-bapak polisi itu. Tapi tetap, alasan “tidak tahu” tidak dapat diterima. Ya Allah, aku tidak tahu kalau zina itu berdosa, aku tidak tahu kalau korupsi itu melanggar aturan, aku tidak tahu kalau Kau melarang riba, aku tidak tahu kalau Kau perintahkan kami shalat dan zakat, aku tidak tahu kalau puasa Ramadhan itu wajib. Ya Allah, aku tidak tahu tentang semua itu, maka ampunilah aku. Mana bisa begitu?!!!
Begitulah, kecenderungan untuk berbuat pelanggaran memang sudah tertanam dalam jiwa manusia? Pernahkah kau melihat pertandingan sepak bola tanpa pelanggaran yang disengaja? Sepertinya hampir tak pernah!
Memang, selain jalan kebaikan, manusia juga telah diilhamkan jalan kefujuran. “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefujuran dan ketaqwaannya.” (Qs. Asy-Syams: 8). Tapi al-Qur’an bukan hanya ayat ini. Al-Qur’an terdiri dari 30 jus yang terdiri dari 114 surat. Ayat tadi tak bisa dijadikan pembenaran untuk pelakukan pelanggaran. Justru ayat ini diturunkan agar manusia berhati-hati dengan kecenderungan-kecenderungan buruk yang ada pada dirinya. Jangan biarkan ia menguat dan menjelma menjadi tindakan. Tapi sucikanlah! “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (Qs. Asy-Syams: 10)

Mancing

Semenjak dalam buaian hingga lulus kuliah, orang tua terus memenuhi kebutuhan kita. Setidaknya kebutuhan untuk mengenyangkan perut dan menghilangkan dahaga. Selebihnya, banyak sekali yang telah mereka berikan untuk kita. Namun tak selamanya kita boleh mendompleng hidup pada mareka. Malah seharusnya, kita sudah hidup mandiri sejak SMA. Tapi entah kesalahan siapa, pada umumnya anak usia sekolah memang masih sangat tergantung pada orang tua. Perlu ini itu, ya minta ke bokap ato nyokap.
Bagi engkau yang masih sekolah atau sedang mengenyam pendidikan kampus, segeralah mulai untuk hidup mandiri. Setelah kau lulus nanti, bukan saatnya lagi menengadahkan tangan pada orang tua, apa lagi pada orang lain. Lebih-lebih bila kau telah hidup berkeluarga, urusan rezki itu menjadi tanggung jawabmu sepenuhnya. Terutama bagi kau yang bersetatus sebagai suami atau ayah.
Kita lihat orang tua kita yang keduanya kian renta. Barangkali tubuhnya tak lagi tegap, wajahnya tak lagi cerah, keriput sudah terlihat di mana-mana, dan yang pasti, tenaganya takkan sekuat dulu, waktu muda. Sungguh, tak adil bila kita terus meminta kepada orang tua. Meski bagi mereka bekerja adalah tanggung jawab dan kebahagiaan, bukan berarti kita leluasa untuk terus berharap asupan dari mereka. Justru seharusnya gantian kita yang mencukupi kebutuhan mereka. Sungguh, seberapapun kita beri, takkan pernah sebanding dengan pengorbanan dan perjuangan mereka. Bagaimanapun usaha kita meringankan beban mereka, itu hanya setetes air dibanding lautan cinta mereka.
Katakan seorang Mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Sebut saja seorang aktivis dakwah bernama Ahmad. Demi meringankan beban orang tua, Ahmad rela menyisihkan waktu lelahnya untuk bekerja. Ia menjadi penjaga Rental Computer yang juga melayani jasa Fotocopy. Sebetapapun banyak urusan kuliah, Ahmad harus datang ke tempat kerja tepat jam 3 sore. Ia akan bergumul dengan tulisan-tulisan yang harus diketik atau difotocopy hingga jam 11 malam. Setelah itu Ahmad baru bisa istirahat, menginap di tempatnya bekerja. Ia berbaring di karpet tanpa bantal, apa lagi kasur, memejamkan mata, berharap mimpi indah datang menemani. Itu kalau tidak ada lembur karena order ketikan yang banyak. Kalau lembur?? Belum lagi urusan dakwah kampus. Saat itu ia sedang menjabat Ketua Devisi pada Lembaga Dakwah di Kampusnya. Nah, bila LDK sedang ada kegiatan, ya jam 11 malam itu ia akan berangkat. Selesainya jam berapa? Kira-kira saja! Nah, esok paginya ia harus bergelut lagi dengan buku-buku. Sungguh, mahasiswa yang penuh perjuangan bukan?
Tunggu dulu, belum semua kuceritakan tentang Ahmad. Ketika mata kuliah tinggal KKL dan Skripsi, Ahmad justru menambah jam kerjanya. Selain bekerja di Rental Computer itu, Ahmad juga bekerja sebagai pengamplas di usaha kerajinan bambu. Pagi hari, jam 7 hingga jam 11 ia bergelut dengan bambu. Habis itu pulang ke kos-kosan untuk bersih-bersih diri. Bila tidak ada keperluan penting ia dapat sejenak merebahkan badan, mengendorkan otot-otot yang kaku dan mengurangi penat di kepala. Namun bila ada bimbingan laporan KKL atau sekripsi, ia akan datang ke kampus. Nah, jam 3 sore ia harus ada di Rental computer lagi. Padahal jarak tempat kos Ahmad dengan kampus dan dua tempat kerjanya tidaklah dekat. Tak kurang dari 40 kilo meter setiap hari ditempuh dengan motor bututnya. Terbayang bukan betapa capeknya?
Begitulah kehidupan Ahmad. Hari-harinya berputar dengan aktivitas yang hampir sama. Lelah memang dirasakan oleh Ahmad. Tapi hanya itulah yang dapat ia lakukan untuk membantu meringankan beban orang tua. Dengan modal ijazah SMA tentu bukan mudah mencari pekerjaan yang lebih menghasilkan. Untunglah Ahmad tidak malu, atau mungkin telah menepis rasa malu bekerja sebagai tukang amplas bambu dan tukang ketik.
Sekilas kita dapat melihat kehidupan Ahmad yang penuh perjuangan. Namun bila dibanding dengan pengorbanan kedua orang tuanya, semua itu belum apa-apa. Dalam hal uang kebutuhan kuliah saja, orangtuanyalah yang menjadi donatur utama. Saat itu SPP kuliahnya mungkin sekitar 1 juta. Kebutuhan lain, seperti beli buku, buat peper, foto kopi, bayar kos, bensin, dan sebagainya juga tak kalah sedikit. Bila Ahmad harus membiayainya sendiri, barangkali ia akan segera menyerah.
Tahu berapa gaji Ahmad selama kerja di Rental computer? Jawabannya; 100 ribu/bulan. Itu untuk tiga bulan pertama, bulan ke empat dan seterusnya baru 150 ribu. Lah, segitu doank?! Ya iya, masak kerja di rental computer mau minta gaji 1 juta? Gajinya kerja di kerajinan bambu juga tidak jauh berbeda. Berapa? Kira-kira sendiri lah. Yang jelas, lebih kecil dari gajinya di rental computer.
Nah, tak sebanding bukan dengan pemberian dari orang tuanya?
Kini Ahmad telah lulus kuliah. Ia tak lagi bergelut dengan teori-teori ekonomi Islam di kampusnya. Ahmad juga tak lagi tinggal serumah dengan orang tuanya. Kini, bahkan ia telah menemui pujaan hati yang selama ini dicarinya. Akhwat shalihah itu disuntingnya. Tentu…, untuk urusan rezki Ahmad kini benar-benar harus berjuang sendiri. Memang, istri terkasihnya seorang PNS dengan gaji yang cukup besar bagi anak asli kampung seperti Ahmad. Tapi tetap, nafkah keluarga adalah kewajiban yang harus ditunaikan suami. Ahmad punya tanggung jawab terhadap diri, istri dan anak-anaknya nanti.
Kebutuhan manusia memang banyak dan tiada putus, baik kebutuhan materi maupun non materi. Untuk kebutuhan materi, bekerja merupakan jawabannya. Namun perlu engkau ingat, bahwa bekerja bukan melulu memenuhi kebutuhan materi. Justru kebutuhan ukhrawi, sebenarnya harus menjadi prioritas terdepan. Maksudnya bagimana?
Bekerja adalah kewajiban agama. Islam mencela orang-orang yang sanggup bekerja, tapi menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Meminta-minta kata Rasulullah, hanya patut bagi tiga golongan; orang kafir berkalang tanah, orang yang terlilit hutang yang memberatkan dan orang yang terkena kewajiban membayar diyat yang menyakitkan. Engkau bukan salah satunya bukan?
Karena itu, kerja sesiangan kita tak bertujuan untuk semata mendapatkan penghasilan (uang). Akan tapi juga untuk menunaikan kewajiban agama. Kita bekerja bukan hanya untuk fananya dunia, tapi juga untuk akhirat yang kekal abadi. Bahkan akhirat itu yang lebih utama. Walal aakhiratu khairul laka minal uulaa. Jadi, secara maknawi, bekerja tiada beda dengan shalat, zakat, puasa, haji, dsb.
Kita kembali pada cerita si Ahmad. Waktu kecil dulu Ahmad juga sudah melakukan kegiatan ekonomi; bekerja menjemput rezki dari ilahi. Sewaktu TK, Ahmad mengantarkan slondok yang dibungkus dengan plastik kecil-kecil oleh ibunya ke pedagang di dekat ia sekolah. Kalau ada untungnya, tentu Ahmad dikasih buat sangu (uang saku). Sewaktu SD dan SMP, Ahmad biasa membantu ibunya mengantar jenang dodol ke toko-toko untuk dititipkan. Sekalian sepeda santai. Waktu itu di rumah Ahmad belum ada sepeda motor. Otomatis ke mana-mana harus pakai sepeda ontel. Meski begitu Ahmad sangat menikmatinya.
Satu lagi kegiatan ekonomi yang dilakukan Ahmad kecil, mancing.
Di kali atau di slokan-slokan kecil kampungnya masih berrenangan ikan liar waktu itu. Kegiatan mencari ikan sangatlah mengasyikkan, baik bagi anak kecil maupun orang dewasa. Apa lagi bila bulan Ramadhan datang, mancing adalah alternatif yang sangat menarik untuk ngabuburit, menunggu mentari menenggelamkan diri.
Ahmad punya tempat-tempat favorit untuk mancing, karena di situ banyak ikan berkumpul. Untuk umpan memancing, paling sering Ahmad kecil menggunakan cacing. Tapi terkadang juga menggunakan belalang. Memang ada ikan tertentu yang lebih mudah dipancing dengan belalang. Kalau orang-orang lain ada yang memakai campuran tempe bosok, bekatul dan bahan-bahan tertentu. Tapi tetap, bagi Ahmad paling mudah adalah cacing.
Nah, hidup di dunia ini ibarat mancing. Termasuk ketika kita sedang bekerja menjemput rezki, sebenarnya kita sedang mancing. Mancing apa? Mancing kehidupan yang baik di akhirat.
Segala pekerjaan yang kita lakukan di dunia ini sebenarnya untuk meraih kebahagiaan di akhirat. Ibarat mancing, bekerja di dunia adalah pekerjaan mencari cacing. Terus, cacing itu akan kita gunakan untuk mencari kebaikan di akhirat. Jadi tujuan utamanya adalah akhirat, bukan dunia. Kalau kita mancing, tujuannya adalah ikan, bukan mendapat cacing kan?
Anehnya banyak orang yang berlomba mencari cacing-cacing dunia, tapi lupa mengejar ikan akherat. Mereka bersusah payah, berebut, bahkan saling bermusuhan hanya untuk mendapatkan dunia. Yang sudah dapat berbangga-bangga, yang belum dapat iri hati. Padahal, dunia hanyalah cacing.
Pernah tidak kau temui dialog semacam ini?
Alex : “Ga sia-sia gue capek, hasil kerja keras gue hari ini lumayan. Gue udah dapat dua kantong cacing. Loe gimana friend?”
Tomy : “Ha ha…! Segitu aja kau bangga. Aku, hari ini saja sudah dapat satu ember cacing. Di rumah, aku sudah punya berpuluh-puluh ember penuh cacing.”
Bejo : “Tomy curang sih, nyari cacingnya ngerebut lahanku. Aku dikasih donk!”
Nah, lucu bukan?

“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat. ,Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.” (QS. al-Baqarah::86)
abcs