Tampilkan postingan dengan label It's May Life. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label It's May Life. Tampilkan semua postingan

Travel Plan



“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu  dibangkitkan” (QS Al-Mulk: 15)

Membaca buku TE-WE-nya Gol A Gong, jadi iri. Di usia mudanya beliau telah keliling Indonesia, bahkan keliling Asia. Subhanallah.  Iri, aku malah belum ke mana-mana. Keluar Jawa belum pernah. Ke timur, paling banter baru ke Bondowoso, Situbondo. Ke Barat juga baru sekitar Depok, Bogor. Ya aku belum ke mana-mana.

Padahal, sangat ingin juga menjelajah bumi. Mengukur tingginya Everest, menyesap dinginnya kutub utara, memandang jauh di pusat Sahara. Menyusur sungai dengan gedung-gedung mengambang di Venezia, menengok Eifel yang menjulang, menjelajah uniknya kota-kota dan di Inggris, lalu nyungsep ke kampung-kampungnya yang juga memukau, mencoba menemukan bahasa Inggrisnya orang Inggris yang medok.

Pulang ke Asia. Mekah dulu barangkali, haji. Lalu mendekat ke rumah, melongok sibuknya Mombay, membuktikan panjangnya Tembok Cina, mencicipi budaya Jepang yang beragam sekaligus unik, mencoba skytrain atau kereta bawah tanah di Thailand. Tetangga dekat, Malaysia, Brunai, boleh juga untuk di singgahi. Dan tentu saja, Amerika, Australia, bahkan Afrika, berikut negara-negara yang tak kusebut, semua akan menjadi tantangan, pengalaman dan dan lautan hikmah untuk merasai betapa indahnya hidup di dunia ini.

Semoga saja, kelililing dunia itu akan menjadi nyata bagiku.

Maka, liburan sekolah pekan depan, aku dan istri berencana mengajak anak-anak untuk travel-an. Tak keliling dunia memang, masih yang dekat-dekat saja. Karena yang dekat itu pun masih jarang kami lakukan. Biasanya paling keliling alun-alun, atau jalan-jalan di Widuri. Nah, rencana untuk pekan depan, kita naik kereta ke Semarang, naik bus ke Salatiga, terus ke Solo. Bermalam di sana. Esoknya ke Prambanan, lalu bernostalgia di sekitar Malioboro. Rencana bermalam di Jogja pula, entah nginepnya di mana. Nah, paginya ke Magelang. Pulang.

Iya, memang dekat-dekat saja. Tapi tetap akan menjadi hal menarik. Untuk perta kalinya kita merencanakan akan singgah di beberapa kota dalam sekali travel-an. Biasanya paling menuju satu kota, menikmati wisata atau kegiatan tertentu, lalu pulang. Kali ini, kita merencanakan untuk berwisata, berjalan-jalan di muka bumi, menyusur beberapa kota. Tentu saja, secara kecil-kecilan belajar jadi travel writer. Coba menggali hikmah dan menuang kisah-kisah yang kami temui di perjalanan.

Nah, teman-teman yang di Solo, di Prambanan, di Jogja, di Magelang, barangkali ada yang mau bersilaturahmi, sedia menjadi guid tanpa bayaran – atau sebut saja teman perjalanan – atau hendak menawarkan tempat singgah, boleh lah kabar-kabari. Atau ada yang mau ‘memanfaatkan’ perjalanan kami, boleh-boleh saja, barangkali kami bisa. Misalnya ada yang mau meminta kami berbagi tentang dunia tulis-menulis, insya Allah, semoga dapat diagendakan.

Moga ada dana. Semoga terlaksana... 

Belajar dari Senyum Anakku


Namanya Lavy Shafiyyur Rahman. Aku dan Istriku biasa memanggilnya Dede Lavy. Aku menjadi saksi proses kehadirannya di bumi ini, waktu itu kutunggui kelahirannya dengan penuh harap cemas. Hampir 12 jam istriku berjuang dengan sakit yang entah seperti apa. Rasa sakit yang pasti tak akan pernah mendera oleh seorang pria. Aku hanya bisa menemani di dekatnya, membisikkan do’a dan mencium keningnya.
Dia anak pertama yang sungguh menjadi penyejuk hati kami. Hari-hari kami menjadi jauh berbeda setelah kehadirannya dalam gendongan kami. Suatu kenikmatan tersendiri saat aku mengelus rambutnya, mencium pipinya, menimangnya dalam gendonganku, bahkan ketika mencuci popoknya. Satu kebiasaanku yang lain adalah mempertemukan hidungku dengan hidungnya. Kata orang-orang hidungnya mbangir mirip ayahnya. Aku.
Luar biasa Allah menciptakan segala sesuatu. Aku kian menyadari hal ini melihat perkembangan anakku, Lavy. Bulan pertama dia hanya menggunakan tangis sebagai alat komunikasi, memberi tanda; lapar atau ompol. Ketika lapar dalam gendongan, dia selalu aktif menggerakkan dan menempelkan kepalanya ke dada orang yang menggendong, mencari nenen. Begitu pun bila aku yang kebetulan sedang menggendongnya, kepalanya tak henti mencari nenen pada dadaku. Saat seperti itu aku hanya bisa menyerahkannya pada sang bunda. Kalau bundanya tak segera datang, aku akan bilang padanya; “Dede, ini kan ayah. Ayah itu nggak punya nenen. Tunggu bunda ya.” Tapi itu tidak membuat Lavy berhenti mencari nenennya.
Memasuki bulan ke dua, banyak kemajuan dalam diri Lavy. Dia sudah bisa tersenyum dan tertawa, bola matanya mulai bergerak lincah, terutama bila melihat bola warna-warni yang dibelikan sang bunda. Sepertinya kini dia juga mulai mengerti bahwa ayahnya tidak punya nenen seperti bundanya. Saat dalam gendonganku dia tak lagi heboh mencari nenennya. Kalau sudah benar-benar pengen nenen, paling dia cuma menggerak-gerakkan kepala, kaki dan tangannya. Aku biasa gerakan-gerakannya itu dengan istilah “Usek”.
Pengalaman unik terjadi ketika istriku sakit. Demi memberi waktu istriku untuk beristirahat, malam itu aku berjaga menunggui anakku. Mengganti popoknya, membedongnya, juga menimangnya agar tidur kembali. Saat dia terbangun karena ompol, aku pun segera mengganti popok dan membedongnya. Namun tugas terakhirku tidaklah tuntas, aku tak bisa meninabobokkannya. Lama kuayun dalam gendonganku, matanya tak jua terpejam, justru tubuhnya mulai usek. Cara lain kucoba dengan menaruhnya kembali ke tempat boboknya. Aku berharap dia akan tertidur sendiri. Tapi sekali lagi itu tidak berhasil. Dia semakin usek dan mulai merengek. Aku kewalahan. Saat itulah istriku terbangun dan mendekat. Menarik sekali, begitu Lavy melihat sang bunda, ekspresi wajahnya langsung berubah. Senyumnya mengembang lebar, rengekannya hilang seketika. Sontak aku dan istriku tertawa.
Subhanallah… Sekali lagi, belum genap dua bulan usianya. Begitupun Allah telah memberinya berbagai pemahaman. Kini ia telah benar-benar mampu membedakan mana ayah dan mana bunda.
Lavy baru dua bulan menemani hidup kami di dunia. Hari-hari ke depan aku berharap akan semakin banyak pemahaman yang dimilikinya. Saat ini pun kami sudah mulai mengajarinya membaca, seperti yang disarankan Fauzil Adhim dalam bukunya. Mudah-mudahan aku dan istriku mampu memberi keluasan cakrawala berpikirnya, hingga kelak dia akan menjadi salah satu pejuang dalam barisan Allah Yang Maha Penyayang.

Waktunya Untuk Berbagi


Kisah ini pernah kujalani.
Tombol power komputer baru saja aku pencet. Ketika loading selesai, segera kuputar video riset psikologi yang pernah aku dapat dari kawan di Jogja. Ingin aku menonton film-film pendek itu bersama istri. Tapi dia rupaya sedang tidak berminat. Istriku justru merebahkan dirinya di ranjang tidur kami. Lalu suara lembut meluncur dari bibir manisnya; “Suami…!!” Aku pun menyahut; “Apa istri….?” Kami biasa saling sapa seperti itu. Walau tiada sesuatu ingin disampaikan.
Film berjudul Ghadul Bashar kini kuputar. Berisi riset tentang efek memandang lawan jenis terhadap sistem-sistem hormonal di tubuh manusia. Namun, satu film pendek itu belum lagi usai, istriku kembali berucap merajuk; “Suami..., istri pengen denger cerita.” Enggan rasanya menanggapi istriku. Aku masih ingin menonton. Tapi egoku mereda, ketika istriku kembali memanggilku merayu-rayu; “Suami….!! Suaami.” Lagi pula, tidak sampai dua bulan lagi, insya’Allah istriku akan berjuang melahirkan jundi kami yang pertama. Do’akan ya. Sungguh, sedikitpun aku tak ingin membuatnya kecewa.
Aku datang, menjulurkan tubuhku berbaring di sampingnya.
Aku lupa telah bermula dari mana. Yang jelas, berbagai cerita kemudian berhambur dari mulutku dan mulutnya. Tentang masa kecil kami, tentang orang tua kami, tentang saudara-saudara kami, tentang rencana usaha kami, tentang… banyak sekali. Istriku terhanyut, ketika kuputar kembali memori tentang kisah-kisah pahit yang pernah kualami. Tapi aku tahu, istriku juga bahagia. Bahagia karena aku mau berbagi. Begitupun diriku, aku bahagia bisa berbagi cerita. Kegembiraanku kini jauh lebih banyak dari yang aku dapat ketika nonton film riset psikologi tadi. Terima kasih istriku, kau telah mengajakku berbagi.
Waktu berbagi memang perlu. Selain karena kita harus terus-menerus berta’aruf dengan pasangan, seperti diungkap Budiyanto pada kolom ayah edisi November lalu, juga karena berbagi mengundang harmoni. Berbagi mendatangkan bahagia hati. Berbagi mengusir duka dan resah yang sempat menghantui.
Kisah-kisah pilu “anak pembantu” tentu telah banyak engkau dengar. Cukup sudah hal itu menjadi alasan pentingnya berbagai. Jikalau ayah ibu pergi pagi dan pulang malam, maka peran mereka sepenuhnya digantikan pembantu. Bila anak bangun tidur, bukan ayah atau ibu yang dicari, melainkan si embak atau si bude. Ya si pembantu itu. Ketika beranjak dewasa, kisah-kisah pilu itu dimulai. Lalu hilanglah harmoni. Broken home, akhir drama itu. Begitulah, kalau waktu berbagi sudah dikorupsi.
Maka, mari selalu sediakan waktu untuk berbagai dengan keluarga. Istri, suami, anak, semua butuh bercerita dan mendengar cerita. Kalau bukan keluarga yang mengambil peran, maka akan digantikan oleh televisi, radio, atau juga pembantu. Lalu…, kisah pilu pun berulang. Bisa jadi terjadi pada keluarga kita. Jangan sampai!
Mari selalu sediakan waktu untuk berbagi dengan keluarga. Sesibuk apapun aktivitasmu di luar sana, keluarga jadikan yang utama. Bolehlah suami istri semua bekerja, asal waktu berbagi dengan keluarga tetap tersedia. Tiada artinya sukses mengumpul harta, kalau keluarga sendiri merasa sengsara dan merana. Tiada guna terus bekerja, kalau untuk saling bercerita saja tak bisa. Maka sekali lagi, mari sediakan waktu untuk berbagi.
abcs