![]() |
Life is Beautiful. There is a movie about it, use
that sentence as title. Ya, life is
beautiful. I feel it. Mostly when I think about what I’v reach in life. To many
blessing that Allah have gave me. When I let my mind fly trough my journey of
life, wow, some times no world that represent how thanksfull I am.
My
childhood, how beautiful it was. Lived in a peace little village. How beautiful
is my village. Wherever I am facing, I always see a great viewer. Vast paddy
fileds, rolling green hills, blue mountains and sky, birds and kites flying. It
is beautifull. Now I live far enaugh from my home village, but every time I
return to that village, I enjoy it much. And my familly is still live there
too.
So many memories that I think I’ll never forget. How
I plied with my friends, how I passed my school years, how I helped my parents
bussiness. In the field, in the kitchen. My father has a narrow field not too
far from our house. Some times I, my brothers and my mother helped my father
doing his job; pulling the weeds, picking the rice or corn, irrigate the field,
etc. And at home, my mother make porridge from glutinous rice to be sell. I
used to help her cook, cut, and pack it.
Ya, I realized, in the other side, I have passed a
hard life too. So many trouble I had to face, so often I had to handle a heavy
heart. So much sorrow, so much crying. But in a possitive view, all was
lessons, all built my maturity. And whatever difficult and hard the road I have
passed, for now, it were beautiful memories.
Now I’m not a child anymore. And every time I still have to be very thankful
to Allah.
It is exactly true, we can never count the
blessing of Allah. Never. In envery breath we take, Allah never absent to give
us blessing. A healty physical, familly, friends, job, activities, hobby,
entertainment, smile, laugh. And the breath itself is a great blessing. We have
to be so thanksfull that we still can breath easly. No difficullity, no payment. All free. And when
we still breating, we still alive. Living a beautifull life.
Yah, akhirnya
aku nulis lagi. Beberapan pekan enggan menulis. Bukan karena tak sempat. Kalau
disempat-sempatkan pasti sempat ya? Akan tetapi beberapa hal yang menampar egoku
memang membuat semangat menulis sempat ngedrop. Di samping, aku juga takut,
emosi negatif akan terlalu banyak mempengaruhi tulisanku. Jangan-jangan bukan
pahala yang akan kudapat, melainkan dosa.
Tapi ya...
sudah terlanjur, sudah kecemplung di
dunia tulis-menulis (sebenarnya sudah jatuh cinta), pada akhirnya toh aku nulis
lagi. Kali ini ingin memuhasabahi diri saja. Entah ini kreatif atau
sesungguhnya cuma pengen narsis. Lha muhasabah kok ditulis segala, disebarin
via jejaring sosial pula? Ah, sekali lagi, sudah terlajur cinta sama dunia
tulis-menulis.
Ceritanya,
gebalau hati sempat melandaku beberapa waktu. Yah, penyakitnya anak muda
barangkali, galau. Mudah-mudahan, seiring jemariku menari di atas laptop yang
bukan punya sendiri ini, gebalau itu akan menyelinap pergi dari hati ini.
Bukankan menulis dapat menjadi katarsis bagi jiwa? Ya, aku mempercayai teori
itu, menulis dapat membantu kita membuang sampah-sampah jiwa yang menumpuk.
Semoga..
Banyak sebab
kegalauan menimpaku. Yah, hubungan muamalah
seringkali menjadi sebab-musabab. Akan kuceritakan kegalauan yang positif saja.
Galau-galau yang lain biarlah, kuhapus saja.
Tentang
pandangan manusia dan pandangan Allah. Ah, sedikit lamban menuliskan ini. Takut
niat belum betul-betul lurus, ikhlas demi mendapatkan ridha Allah. Takut, syetan
kembali menyandra hati dan pikiranku. Allah..., hamba berlindung kepadamu.
Pandangan
manusia. Bersyukur, bahwa banyak orang masih mempercayaiku, menghormatiku dan
terkadang meninggikanku. Ramadhan
tiga tahun yang lalu, juga dua tahun lalu, aku dipercaya warga Perumahan Taman
Anggur Refaonda untuk jadi imam tarawih. Kebetulan di perumahan belum ada
mushalla, jadi kita tarawihan di salah satu rumah warga. Ada jama’ah shalat
khusus Ramadhan saja. Ramadhan terakhir aku tak jadi imam karena sudah ada imam
baru, kebetulan namanya juga Pak Imam. Beliau belum lama membangun rumah persis
di samping kiri rumahku.
Alhamdulillah, berkat gotong royong
warga dan kesungguhan panitia pembangunan, mushalla di perumahanku kini telah
berdiri dan dimanfaatkan. Malah sempat mengadakan acara peresmian sekaligus Mauludan. Ketika pak Imam absen jadi
imam, ternyata aku masih pula dipercaya untuk menggantikan. Rupanya Pak Imam
cukup sering absen. Jadinya aku sering juga jadi pengganti, menjadi imam shalat
wajib. Malah, akhir-akhir ini, aku yang lebih sering jadi imam dari pada Pak
Imam.
Padahal, jama’ahnya
sebagian besar sudah matang usia. Empat puluh dan lima puluh ke atas. Cuma ada
satu yang remaja, plus anak-anak. Sedang aku masih usia 31. Cukup tua juga sih.
Akan tetapi mereka-mereka lebih mempercayakanku untuk jadi imam mushalla. Bacaan
lebih bagus dan hapalan lebih banyak, kurasa itu sebabnya. Padahal, dua juz
yang sebagian bubar lagi itu sesungguhnya, terlalu sedikit untuk orang setua
diri ini. (Temen-temen SDIT Buah Hati, kita berlomba yuks tingkatin hapalan.
Masak kalah sama muridnya...).
Seringkali
terbersit... Ya Allah, aku jadi imam. Rasanya sungguh tak pantas. Teramat bertumpuk
dosa. Mungkin aku lebih muda, tapi soal dosa, barangkali aku yang paling banyak
menumpuknya. Bacaan lebih bagus kalau mengaburkan keikhlasan juga tiada arti.
Hapalan yang dpada bubar itu juga bukan apa-apa. Malah tempo hari, di sekolah
ada seorang gadis yang jualan sepatu. Dia tak berjilbab dan berpakain cukup
seksi. Ketika melihatnya, langsung terlintas di benak, ‘ah, barangkali dalam
pandangan Allah, dia jauh lebih baik dariku.’ Kembali teringat dosa-dosa yang
menggunung...
Di SDIT Buah
Hati, aku juga masih memegang amanah sebagai waka kurikulum. Kadang merasa
sangat tak pantas. Dalam hal administrasi saja aku kalah dengan ustadz-ustadzah
yang lain. Kadang merasa sangat tak bertanggung jawab. Banyak hal yang
seharusnya kukerjakan, tapi belum atau bahkan enggan kulakukan. Atau mungkin
sudah kulakukan, tapi belum sepenuh kesungguhan, belum maksimal. Barangkali
juga banyak hal yang semestinya kulakukan, tapi aku tak tahu kalau harus melakukannya. Sebaliknya,
ada hal-hal yang tak semestinya kulakukan, tapi justru sering mengisi
hari-hariku. Yang jelas, bila menengok tanggung jawab, rasanya aku tak cukup
pantas untuk memikulnya. Aku masih dari yang penuh kelemahan dan kekurangan.
Sementara
amanah di FLP Cabang Pemalang alhamdulillah
sudah berkurang. Aku lengser dari jabatan ketua. Insya Allah, esok akan kuceritakan yang ini. Akan tetapi, dalam hal
tulis-menulis, kayaknya aku juga masih jadi rujukan utama di Kota Pemalang. Aku
tetap saja memikul tanggung jawab, untuk mengembangkan dakwah bil qolam.
Khususnya di kota kecil ini.
Ah, sepertinya
aku tak perlu galau lagi. Sudah saatnya untuk bersemangat. Menjadi diri yang
baru. Menyongsong hari esok yang lebih cerah.
(he, ini nulis terasa
sekenanya. Ngasih judulnya juga begitu)
23.54
Diposting oleh
Rahman Hanifan
Yah, akhirnya
aku nulis lagi. Beberapan pekan enggan menulis. Bukan karena tak sempat. Kalau
disempat-sempatkan pasti sempat ya? Akan tetapi beberapa hal yang menampar egoku
memang membuat semangat menulis sempat ngedrop. Di samping, aku juga takut,
emosi negatif akan terlalu banyak mempengaruhi tulisanku. Jangan-jangan bukan
pahala yang akan kudapat, melainkan dosa.
Tapi ya...
sudah terlanjur, sudah kecemplung di
dunia tulis-menulis (sebenarnya sudah jatuh cinta), pada akhirnya toh aku nulis
lagi. Kali ini ingin memuhasabahi diri saja. Entah ini kreatif atau
sesungguhnya cuma pengen narsis. Lha muhasabah kok ditulis segala, disebarin
via jejaring sosial pula? Ah, sekali lagi, sudah terlajur cinta sama dunia
tulis-menulis.
Ceritanya,
gebalau hati sempat melandaku beberapa waktu. Yah, penyakitnya anak muda
barangkali, galau. Mudah-mudahan, seiring jemariku menari di atas laptop yang
bukan punya sendiri ini, gebalau itu akan menyelinap pergi dari hati ini.
Bukankan menulis dapat menjadi katarsis bagi jiwa? Ya, aku mempercayai teori
itu, menulis dapat membantu kita membuang sampah-sampah jiwa yang menumpuk.
Semoga..
Banyak sebab
kegalauan menimpaku. Yah, hubungan muamalah
seringkali menjadi sebab-musabab. Akan kuceritakan kegalauan yang positif saja.
Galau-galau yang lain biarlah, kuhapus saja.
Tentang
pandangan manusia dan pandangan Allah. Ah, sedikit lamban menuliskan ini. Takut
niat belum betul-betul lurus, ikhlas demi mendapatkan ridha Allah. Takut, syetan
kembali menyandra hati dan pikiranku. Allah..., hamba berlindung kepadamu.
Pandangan
manusia. Bersyukur, bahwa banyak orang masih mempercayaiku, menghormatiku dan
terkadang meninggikanku. Ramadhan
tiga tahun yang lalu, juga dua tahun lalu, aku dipercaya warga Perumahan Taman
Anggur Refaonda untuk jadi imam tarawih. Kebetulan di perumahan belum ada
mushalla, jadi kita tarawihan di salah satu rumah warga. Ada jama’ah shalat
khusus Ramadhan saja. Ramadhan terakhir aku tak jadi imam karena sudah ada imam
baru, kebetulan namanya juga Pak Imam. Beliau belum lama membangun rumah persis
di samping kiri rumahku.
Alhamdulillah, berkat gotong royong
warga dan kesungguhan panitia pembangunan, mushalla di perumahanku kini telah
berdiri dan dimanfaatkan. Malah sempat mengadakan acara peresmian sekaligus Mauludan. Ketika pak Imam absen jadi
imam, ternyata aku masih pula dipercaya untuk menggantikan. Rupanya Pak Imam
cukup sering absen. Jadinya aku sering juga jadi pengganti, menjadi imam shalat
wajib. Malah, akhir-akhir ini, aku yang lebih sering jadi imam dari pada Pak
Imam.
Padahal, jama’ahnya
sebagian besar sudah matang usia. Empat puluh dan lima puluh ke atas. Cuma ada
satu yang remaja, plus anak-anak. Sedang aku masih usia 31. Cukup tua juga sih.
Akan tetapi mereka-mereka lebih mempercayakanku untuk jadi imam mushalla. Bacaan
lebih bagus dan hapalan lebih banyak, kurasa itu sebabnya. Padahal, dua juz
yang sebagian bubar lagi itu sesungguhnya, terlalu sedikit untuk orang setua
diri ini. (Temen-temen SDIT Buah Hati, kita berlomba yuks tingkatin hapalan.
Masak kalah sama muridnya...).
Seringkali
terbersit... Ya Allah, aku jadi imam. Rasanya sungguh tak pantas. Teramat bertumpuk
dosa. Mungkin aku lebih muda, tapi soal dosa, barangkali aku yang paling banyak
menumpuknya. Bacaan lebih bagus kalau mengaburkan keikhlasan juga tiada arti.
Hapalan yang dpada bubar itu juga bukan apa-apa. Malah tempo hari, di sekolah
ada seorang gadis yang jualan sepatu. Dia tak berjilbab dan berpakain cukup
seksi. Ketika melihatnya, langsung terlintas di benak, ‘ah, barangkali dalam
pandangan Allah, dia jauh lebih baik dariku.’ Kembali teringat dosa-dosa yang
menggunung...
Di SDIT Buah
Hati, aku juga masih memegang amanah sebagai waka kurikulum. Kadang merasa
sangat tak pantas. Dalam hal administrasi saja aku kalah dengan ustadz-ustadzah
yang lain. Kadang merasa sangat tak bertanggung jawab. Banyak hal yang
seharusnya kukerjakan, tapi belum atau bahkan enggan kulakukan. Atau mungkin
sudah kulakukan, tapi belum sepenuh kesungguhan, belum maksimal. Barangkali
juga banyak hal yang semestinya kulakukan, tapi aku tak tahu kalau harus melakukannya. Sebaliknya,
ada hal-hal yang tak semestinya kulakukan, tapi justru sering mengisi
hari-hariku. Yang jelas, bila menengok tanggung jawab, rasanya aku tak cukup
pantas untuk memikulnya. Aku masih dari yang penuh kelemahan dan kekurangan.
Sementara
amanah di FLP Cabang Pemalang alhamdulillah
sudah berkurang. Aku lengser dari jabatan ketua. Insya Allah, esok akan kuceritakan yang ini. Akan tetapi, dalam hal
tulis-menulis, kayaknya aku juga masih jadi rujukan utama di Kota Pemalang. Aku
tetap saja memikul tanggung jawab, untuk mengembangkan dakwah bil qolam.
Khususnya di kota kecil ini.
Ah, sepertinya
aku tak perlu galau lagi. Sudah saatnya untuk bersemangat. Menjadi diri yang
baru. Menyongsong hari esok yang lebih cerah.
(he, ini nulis terasa
sekenanya. Ngasih judulnya juga begitu)
23.54
Diposting oleh
Rahman Hanifan
Yah, akhirnya
aku nulis lagi. Beberapan pekan enggan menulis. Bukan karena tak sempat. Kalau
disempat-sempatkan pasti sempat ya? Akan tetapi beberapa hal yang menampar egoku
memang membuat semangat menulis sempat ngedrop. Di samping, aku juga takut,
emosi negatif akan terlalu banyak mempengaruhi tulisanku. Jangan-jangan bukan
pahala yang akan kudapat, melainkan dosa.
Tapi ya...
sudah terlanjur, sudah kecemplung di
dunia tulis-menulis (sebenarnya sudah jatuh cinta), pada akhirnya toh aku nulis
lagi. Kali ini ingin memuhasabahi diri saja. Entah ini kreatif atau
sesungguhnya cuma pengen narsis. Lha muhasabah kok ditulis segala, disebarin
via jejaring sosial pula? Ah, sekali lagi, sudah terlajur cinta sama dunia
tulis-menulis.
Ceritanya,
gebalau hati sempat melandaku beberapa waktu. Yah, penyakitnya anak muda
barangkali, galau. Mudah-mudahan, seiring jemariku menari di atas laptop yang
bukan punya sendiri ini, gebalau itu akan menyelinap pergi dari hati ini.
Bukankan menulis dapat menjadi katarsis bagi jiwa? Ya, aku mempercayai teori
itu, menulis dapat membantu kita membuang sampah-sampah jiwa yang menumpuk.
Semoga..
Banyak sebab
kegalauan menimpaku. Yah, hubungan muamalah
seringkali menjadi sebab-musabab. Akan kuceritakan kegalauan yang positif saja.
Galau-galau yang lain biarlah, kuhapus saja.
Tentang
pandangan manusia dan pandangan Allah. Ah, sedikit lamban menuliskan ini. Takut
niat belum betul-betul lurus, ikhlas demi mendapatkan ridha Allah. Takut, syetan
kembali menyandra hati dan pikiranku. Allah..., hamba berlindung kepadamu.
Pandangan
manusia. Bersyukur, bahwa banyak orang masih mempercayaiku, menghormatiku dan
terkadang meninggikanku. Ramadhan
tiga tahun yang lalu, juga dua tahun lalu, aku dipercaya warga Perumahan Taman
Anggur Refaonda untuk jadi imam tarawih. Kebetulan di perumahan belum ada
mushalla, jadi kita tarawihan di salah satu rumah warga. Ada jama’ah shalat
khusus Ramadhan saja. Ramadhan terakhir aku tak jadi imam karena sudah ada imam
baru, kebetulan namanya juga Pak Imam. Beliau belum lama membangun rumah persis
di samping kiri rumahku.
Alhamdulillah, berkat gotong royong
warga dan kesungguhan panitia pembangunan, mushalla di perumahanku kini telah
berdiri dan dimanfaatkan. Malah sempat mengadakan acara peresmian sekaligus Mauludan. Ketika pak Imam absen jadi
imam, ternyata aku masih pula dipercaya untuk menggantikan. Rupanya Pak Imam
cukup sering absen. Jadinya aku sering juga jadi pengganti, menjadi imam shalat
wajib. Malah, akhir-akhir ini, aku yang lebih sering jadi imam dari pada Pak
Imam.
Padahal, jama’ahnya
sebagian besar sudah matang usia. Empat puluh dan lima puluh ke atas. Cuma ada
satu yang remaja, plus anak-anak. Sedang aku masih usia 31. Cukup tua juga sih.
Akan tetapi mereka-mereka lebih mempercayakanku untuk jadi imam mushalla. Bacaan
lebih bagus dan hapalan lebih banyak, kurasa itu sebabnya. Padahal, dua juz
yang sebagian bubar lagi itu sesungguhnya, terlalu sedikit untuk orang setua
diri ini. (Temen-temen SDIT Buah Hati, kita berlomba yuks tingkatin hapalan.
Masak kalah sama muridnya...).
Seringkali
terbersit... Ya Allah, aku jadi imam. Rasanya sungguh tak pantas. Teramat bertumpuk
dosa. Mungkin aku lebih muda, tapi soal dosa, barangkali aku yang paling banyak
menumpuknya. Bacaan lebih bagus kalau mengaburkan keikhlasan juga tiada arti.
Hapalan yang dpada bubar itu juga bukan apa-apa. Malah tempo hari, di sekolah
ada seorang gadis yang jualan sepatu. Dia tak berjilbab dan berpakain cukup
seksi. Ketika melihatnya, langsung terlintas di benak, ‘ah, barangkali dalam
pandangan Allah, dia jauh lebih baik dariku.’ Kembali teringat dosa-dosa yang
menggunung...
Di SDIT Buah
Hati, aku juga masih memegang amanah sebagai waka kurikulum. Kadang merasa
sangat tak pantas. Dalam hal administrasi saja aku kalah dengan ustadz-ustadzah
yang lain. Kadang merasa sangat tak bertanggung jawab. Banyak hal yang
seharusnya kukerjakan, tapi belum atau bahkan enggan kulakukan. Atau mungkin
sudah kulakukan, tapi belum sepenuh kesungguhan, belum maksimal. Barangkali
juga banyak hal yang semestinya kulakukan, tapi aku tak tahu kalau harus melakukannya. Sebaliknya,
ada hal-hal yang tak semestinya kulakukan, tapi justru sering mengisi
hari-hariku. Yang jelas, bila menengok tanggung jawab, rasanya aku tak cukup
pantas untuk memikulnya. Aku masih dari yang penuh kelemahan dan kekurangan.
Sementara
amanah di FLP Cabang Pemalang alhamdulillah
sudah berkurang. Aku lengser dari jabatan ketua. Insya Allah, esok akan kuceritakan yang ini. Akan tetapi, dalam hal
tulis-menulis, kayaknya aku juga masih jadi rujukan utama di Kota Pemalang. Aku
tetap saja memikul tanggung jawab, untuk mengembangkan dakwah bil qolam.
Khususnya di kota kecil ini.
Ah, sepertinya
aku tak perlu galau lagi. Sudah saatnya untuk bersemangat. Menjadi diri yang
baru. Menyongsong hari esok yang lebih cerah.
(he, ini nulis terasa
sekenanya. Ngasih judulnya juga begitu)
“Dari Abu Hurairah ra.
Ia berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: ‘Bersegeralah kalian untuk
beramal sebelum datangnya tujuh perkara. Apabkah kamu menantikan kemiskinan
yang dapat melupakan, kekayaan yang dapat menimulkan kesombongan, sakit yang
dapat mengendorkan, tua renta yang dapat melemahkan, mati yang dapat menyudahi
segala-galanya, atau menunggu datangnya Dajjal, padahal ia adalah sejelek-jelek
sesuatu yang ditunggu, atau menunggu datangnya hari kiamat, padahal kiamat adalah
sesuatu yang amat berat dan amat menakutkan.’’” (HR. Tirmidzi)
Banyak orang ingin sukses,
ingin kaya, ingin pintar dan sebagainya, tapi banyak pula yang tidak segera
bertindak. Maka keinginan tetap menjadi keinginan, cinta-cita tak pernah
tercapai, dan mimpi tak pernah menjadi kenyataan. Banyak orang benar-benar
mengubur mimpi, tak pernah mencoba untuk meraihnya. Entah karena takut gagal,
tak percaya diri, atau sekedar malas. Sebagian orang berusaha mengejar mimpi
besarnya. Sayangnya selalu menunda-nunda, dengan berbagai alasan yang hampir
sama dengan mereka yang tak bergerak. Akan menyalahkan siapa, bila sukses sudah
di depan mata, tapi tak jadi dapat diraih karena segera tutup usia?
Boleh dibilang, menunda-nunda
telah kebiasaan umum yang membudaya. Acara yang dijadwalkan pukul delapan pagi,
baru dapat dimulai pukul setengah sepuluh, atau lebih siang lagi. Pekerjaan yang harusnya selesai minggu
lalu, baru mulai dikerjakan hari ini. Tugas yang seharusnya dapat diselesaikan dalam sepekan, tak rampung dalam
sebulan. Bila kau memperoleh undangan mengikuti acara tertentu, datanglah tepat
waktu, niscaya kau akan lama menunggu. Bukan kepastian memang, tapi biasanya
begitu.
Banyak lagi contohnya. Ketika
ingin belajar; ah, nanti saja kalau mau ada ujian. Ketika ingin membuka usaha; ah nanti dulu, tunggu
modal terkumpul. Ketika punya niat bersedekah; ah, tunggu sampai bisa menabung
lebih banyak. Ketika hendak membantu orang lain; ah, tungguh sampai dia
mengulurkan tangan. Ketika ingin beramal shalih; ah nanti saja kalau sudah mau
mati. Ketika ingin menikah; ah nanti saja kalau sudah kempot! (Tentu, yang
terakhir ini tak berlaku, kebanyakan juga pengen cepet-cepet. Bahkan banyak
yang terpaksa putus sekolah lantaran terlanjur “kecelakaan”. MBA gitu loh)
Sungguh, sikap-sikap yang
menyedihkan, tapi menjadi kebiasaan. Bahkan ketika ada seorang yang mencoba
bersikap profesional, seringkali justru dianggap terlalu. Misalnya, dalam rapat
sebuah organisasi, seorang sahabat, sebut saja Fadli dianggap punya pribadi
yang sulit dipahami. “Susah,”
kata salah seorang peserta rapat. Karena itu Fadli jarang diundang ikut rapat.
Apa pasal? Sebabnya Fadli biasa datang tepat waktu. Bila setengah jam peserta
rapat yang lain belum datang, maka Fadli memilih untuk meninggalkan tempat dan
melakukan aktifitas lain. Nah, yang lain hanya berpikir; “Kok begitu-begitu
amat?” Sebenarnya siapa yang terlalu?
Dalam kajian manapun, sikap
menunda-nunda aktifitas kebaikan pastilah dianggap negatif. Sebaliknya,
bersegera sangat dianjurkan. Tak perlu berpikir keras dan mencari-cari dalil,
secara pasti kita dapat meyakininya. Pun bila ada yang menginginkan dalil dari
al-Qur’an, hadits, maupun kisah-kisah orang shalih, kita akan sangat mudah
mendapatinya.
Dalam surah Ali Imran Allah
berfirman, yang artinya:
“Dan bersegeralah kamu
kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan
bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran:
133)
Dalam ayat yang surah yang lain Allah juga
berfirman, yang artinya:
“Berangkatlah kamu baik
dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan
dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.” (QS At-Taubah: 41)
Maka bila kita membaca
riwayat, kita jumpai Rasulullah selalu bergegas dalam beramal shalih. Suatu
ketika, Rasulullah baru selesai mengimami shalat ashar. Setelah salah, beliau
cepat-cepat bangkit melangkahi barisan para sahabat menuju kamar salah seorang
istrinya. Para sahabat terkejut karena melihat beliau tergesa-gesa. Setelah itu
Rasulullah keluar. Beliau terkeheran-heran melihat para sahabat yang terkejut.
Rasulullah kemudian bersabda; “Aku teringat sepotong emas dan aku tidak ingin
terganggu karenanya. Maka aku menyuruh untuk membaginya.” Dalam riwayat lain
disebutkan; “Aku meninggalkan sepotong emas yang harus kusedekahkan, tetapi
tertinggal di rumah. Maka aku tidak ingin emas itu menginap di tempatku.” (HR.
Bukhari)
Diriwayatkan Abu Hurairah ra.
pada kesempatan lain beliau pernah bersabda: “Bersegeralah kalian untuk
mengerjakan amal-amal shalih, karena akan terjadi bencana yang menyerupai malam
yang gelap gulita, yaitu seorang pada waktu pagi dia beriman, tetapi pada waktu
sore dia kafir. Atau pada waktu sore dia beriman, tetapi pada waktu paginya dia
kafir. Dia rela menukar agamanya dengan sedikit keuntungan dunia.” (HR. Muslim)
Meneladani sikap Rasulullah
ini, kita jumpai pula kisah-kisah yang luar biasa dari para sahabat dalam
bersegera melakukan amal shalih. Pada waktu perang Uhud, seorang sahabat
bertanya kepada Rasulullah; “Apakah engkau tahu dimanakah tempatku seandainya
aku terbunuh?” Beliau menjawab; “Di dalam surga.” Sahabat tersebut kemudian
melemparkan biji-biji korma yang ada di tangannya, lalu berperang hingga
syahid.
Sahabat yang lain punya kisah
tak kalah menarik. Hanzalah ketika itu sedang menikmati malam pengantinya. Akan
tetapi memenuhi seruan jihad lebih disukainya. Karena itu ia meninggalkan
istrinya, maju berperang dan syahid dalam keadaan junub.
Secara berjama’ah, kita dapati
pula kisa-kisah yang mengagumpkan, ketika turun perintah berjilbab bagi wanita,
para shahabiyah mencari apa saja untuk dipakai sebagai kerudung. Bahkan bila
ada yang harus merobek sebagian bajunya untuk kerudung, hal itu dilakukan juga.
Ketika arah kiblat bagi umat Islam diganti dari masjidil aqsa ke masjidil
haram, para sahabat yang sedang shalat dan mendengar kabar tersebut langsung
berbalik arah.
Begitupun dalam meninggalkan
keburukan. Ketika turun ayat yang mengharamkan khamr, dipecahkanlah botol-botol
dan tempat-tempat arak lainnya. Dari itu terbentuklah parit-parit yang mengalir
arak. Para sahabat yang sedang meneguk arak, memuntahkan apa yang masih di
mulutnya demi menjaga diri dari yang keharaman.
Dalam berbagai hal lainnya,
hampir selalu sama. Ketika Rasulullah memerintahkan untuk mengerjakan ini atau
meninggalkan itu, para sahabat selalu sigap untuk segera mengerjakannya. Nah,
luar biasa bukan kesungguhan mereka dalam bersegera? Satu contoh lagi yang
mengagumkan akan kau jumpai, segera setelah kita beralih pada tema berikut yang
masih berkait erat dengan perbincangan kita kali ini.
Sekarang, mari kita tengok
diri kita. Sejauh mana kita
dalam bersegera mengerjakan amal shalih? Bila masih suka menunda-nunda, saatnya kita ubah kebiasaan kita. Bisa kita
lihat kerugian akibat menunda-nuda. Kesempatan yang tidak kita ambil tempo hari, seringkali telah dibabat orang.
Kesempatan kedua belum tentu
datang lagi. Atau coba kita renungkan berbagai masalah yang seringkali menjadi
runyam dan menumpuk, gara-gara tugas-tugas kita tak selesai tepat waktu.
Maka, alangkah tepat bila kita
berpikir tentang sebuah kebaikan kemudian serta-merta bergerak dan bekerja
untuk mewujudkannya. Mulai
detik ini juga. Right Now!
Langganan:
Postingan (Atom)