Tina & Bapaknya


“Lihat tuh..! kikiki...”
“Wakakak...”
Teman-temanku ikut tertawa ketika kutunjuk si Tina. Anak manja itu seperti biasa, diantar bapaknya ke sekolah pakai motor. Kayak anak SD aja. Tapi bukan itu yang membuat kami tertawa. Bapaknya tidak cukup mengentar si Tina sampai depan gerbang sekolah, tapi sampai depan kelas. Turun dari motor, Tina mengandeng tangan bapaknya erat-erat. Lucu sekali. Kalau saja umurnya tidak kelihatan beda tiga puluhan tahun, anak-beranak itu pasti dikira sepasang kekasih. Atau kalau saja tidak di sekolahan, barang kali orang akan mengira kalau si Tina adalah anak nakal yang mau saja diajak ke mana-mana sama om om.
Nyatanya itu si Tina dengan bapaknya..., lucu sekali.
Iya, Tina memang lucu. Lucunya lagi dia bisa jadi sahabat baikku. Kok bisa ya? Kadang aku berpikir begitu. Aku ini bisa dibilang rada tomboy dan urakan. Pokoknya 180% kalau dibandingin sama si Tina. Apa lagi dalam urusan yang tadi. Ah, nggak mungkin banget aku bakal kayak si Tina. Gandengin bapakku ke mana-mana? Ih, amit-amit.
Sebenarnya Tina anaknya sangat baik. Dia peduli dengan masalah-masalah yang sedang dihadapi teman-temannya. Maka meski aneh, terutama dalam hal gandeng-gandeng tangan bapaknya itu, si Tina tetap punya banyak sahabat. Malah aku sendiri adalah sahabat terdekatnya.
Di samping itu, Tina anak yang berprestasi. Juara di kelasku. Kalau ada PR, Tinalah rujukan pertama untuk dimintai contekan.., hehe. Terutama PR matematika. Sebenarnya bukan contekan sih. Soalnya kalau ada yang mau mencontek PRnya, Tina selalu memastikan anak itu paham dulu. Dia terangkan dulu cara mengerjakan PR itu sejelas-jelasnya – macam bu guru saja – baru boleh dicontek. Mungkin rada soksokan, tapi memang berguna. Minimal anak-anak macam diriku yang anti matematika begini jadi ngerti dikit.
Yang paling tidak kumengerti adalah hubungan Tina dengan bapaknya itu. Mirip betul sepasang kekasih. Sebenarnya aku sering risih. Saat pulang sekolah, kami lagi jalan bareng, tiba-tiba muncul bapaknya..., langsung deh Tina cium tangan terus gandengan sama bapaknya itu.
“Sampai ketemu besok ya...,” begitu saja, terus ngacir sama bapaknya.
Dalam hal ini, Tina memang anak yang aneh. Aku benar-benar tak mengerti. Hingga suatu hari...
Aku tak mengerti. Tina yang kehilangan, tapi hatiku iku teriris-iris. Air mataku tak terbendung, tumpah. Surat ijin tidak berangkat dari Tina sampai ke sekolah, dengan catatan, bapaknya meninggal dunia sebab serangan jantung.
Allah...
Aku tahu betapa Tina mencintai bapaknya. Dia nomor satu dalam hal ini. Dan kini bapaknya pergi... Betapa Tina pasti sangat kehilangan. Aku tak tahu, kenapa jadi ingin melihat sahabatku itu menggandeng tangan bapaknya lagi...
Aku... Betapa aku tidak berbakti kepada ayahku. Memikirkannya saja jarang sekali. Astaghfirullahal’adzim...
 
abcs