Galau Tapi Narsis


Yah, akhirnya aku nulis lagi. Beberapan pekan enggan menulis. Bukan karena tak sempat. Kalau disempat-sempatkan pasti sempat ya? Akan tetapi beberapa hal yang menampar egoku memang membuat semangat menulis sempat ngedrop. Di samping, aku juga takut, emosi negatif akan terlalu banyak mempengaruhi tulisanku. Jangan-jangan bukan pahala yang akan kudapat, melainkan dosa.
Tapi ya... sudah terlanjur, sudah kecemplung di dunia tulis-menulis (sebenarnya sudah jatuh cinta), pada akhirnya toh aku nulis lagi. Kali ini ingin memuhasabahi diri saja. Entah ini kreatif atau sesungguhnya cuma pengen narsis. Lha muhasabah kok ditulis segala, disebarin via jejaring sosial pula? Ah, sekali lagi, sudah terlajur cinta sama dunia tulis-menulis.
Ceritanya, gebalau hati sempat melandaku beberapa waktu. Yah, penyakitnya anak muda barangkali, galau. Mudah-mudahan, seiring jemariku menari di atas laptop yang bukan punya sendiri ini, gebalau itu akan menyelinap pergi dari hati ini. Bukankan menulis dapat menjadi katarsis bagi jiwa? Ya, aku mempercayai teori itu, menulis dapat membantu kita membuang sampah-sampah jiwa yang menumpuk. Semoga..
Banyak sebab kegalauan menimpaku. Yah, hubungan muamalah seringkali menjadi sebab-musabab. Akan kuceritakan kegalauan yang positif saja. Galau-galau yang lain biarlah, kuhapus saja.
Tentang pandangan manusia dan pandangan Allah. Ah, sedikit lamban menuliskan ini. Takut niat belum betul-betul lurus, ikhlas demi mendapatkan ridha Allah. Takut, syetan kembali menyandra hati dan pikiranku. Allah..., hamba berlindung kepadamu.
Pandangan manusia. Bersyukur, bahwa banyak orang masih mempercayaiku, menghormatiku dan terkadang meninggikanku. Ramadhan tiga tahun yang lalu, juga dua tahun lalu, aku dipercaya warga Perumahan Taman Anggur Refaonda untuk jadi imam tarawih. Kebetulan di perumahan belum ada mushalla, jadi kita tarawihan di salah satu rumah warga. Ada jama’ah shalat khusus Ramadhan saja. Ramadhan terakhir aku tak jadi imam karena sudah ada imam baru, kebetulan namanya juga Pak Imam. Beliau belum lama membangun rumah persis di samping kiri rumahku.
Alhamdulillah, berkat gotong royong warga dan kesungguhan panitia pembangunan, mushalla di perumahanku kini telah berdiri dan dimanfaatkan. Malah sempat mengadakan acara peresmian sekaligus Mauludan. Ketika pak Imam absen jadi imam, ternyata aku masih pula dipercaya untuk menggantikan. Rupanya Pak Imam cukup sering absen. Jadinya aku sering juga jadi pengganti, menjadi imam shalat wajib. Malah, akhir-akhir ini, aku yang lebih sering jadi imam dari pada Pak Imam.
Padahal, jama’ahnya sebagian besar sudah matang usia. Empat puluh dan lima puluh ke atas. Cuma ada satu yang remaja, plus anak-anak. Sedang aku masih usia 31. Cukup tua juga sih. Akan tetapi mereka-mereka lebih mempercayakanku untuk jadi imam mushalla. Bacaan lebih bagus dan hapalan lebih banyak, kurasa itu sebabnya. Padahal, dua juz yang sebagian bubar lagi itu sesungguhnya, terlalu sedikit untuk orang setua diri ini. (Temen-temen SDIT Buah Hati, kita berlomba yuks tingkatin hapalan. Masak kalah sama muridnya...).
Seringkali terbersit... Ya Allah, aku jadi imam. Rasanya sungguh tak pantas. Teramat bertumpuk dosa. Mungkin aku lebih muda, tapi soal dosa, barangkali aku yang paling banyak menumpuknya. Bacaan lebih bagus kalau mengaburkan keikhlasan juga tiada arti. Hapalan yang dpada bubar itu juga bukan apa-apa. Malah tempo hari, di sekolah ada seorang gadis yang jualan sepatu. Dia tak berjilbab dan berpakain cukup seksi. Ketika melihatnya, langsung terlintas di benak, ‘ah, barangkali dalam pandangan Allah, dia jauh lebih baik dariku.’ Kembali teringat dosa-dosa yang menggunung...
Di SDIT Buah Hati, aku juga masih memegang amanah sebagai waka kurikulum. Kadang merasa sangat tak pantas. Dalam hal administrasi saja aku kalah dengan ustadz-ustadzah yang lain. Kadang merasa sangat tak bertanggung jawab. Banyak hal yang seharusnya kukerjakan, tapi belum atau bahkan enggan kulakukan. Atau mungkin sudah kulakukan, tapi belum sepenuh kesungguhan, belum maksimal. Barangkali juga banyak hal yang semestinya kulakukan, tapi aku  tak tahu kalau harus melakukannya. Sebaliknya, ada hal-hal yang tak semestinya kulakukan, tapi justru sering mengisi hari-hariku. Yang jelas, bila menengok tanggung jawab, rasanya aku tak cukup pantas untuk memikulnya. Aku masih dari yang penuh kelemahan dan kekurangan.
Sementara amanah di FLP Cabang Pemalang alhamdulillah sudah berkurang. Aku lengser dari jabatan ketua. Insya Allah, esok akan kuceritakan yang ini. Akan tetapi, dalam hal tulis-menulis, kayaknya aku juga masih jadi rujukan utama di Kota Pemalang. Aku tetap saja memikul tanggung jawab, untuk mengembangkan dakwah bil qolam. Khususnya di kota kecil ini.
Ah, sepertinya aku tak perlu galau lagi. Sudah saatnya untuk bersemangat. Menjadi diri yang baru. Menyongsong hari esok yang lebih cerah.
(he, ini nulis terasa sekenanya. Ngasih judulnya juga begitu)

Galau Tapi Narsis


Yah, akhirnya aku nulis lagi. Beberapan pekan enggan menulis. Bukan karena tak sempat. Kalau disempat-sempatkan pasti sempat ya? Akan tetapi beberapa hal yang menampar egoku memang membuat semangat menulis sempat ngedrop. Di samping, aku juga takut, emosi negatif akan terlalu banyak mempengaruhi tulisanku. Jangan-jangan bukan pahala yang akan kudapat, melainkan dosa.
Tapi ya... sudah terlanjur, sudah kecemplung di dunia tulis-menulis (sebenarnya sudah jatuh cinta), pada akhirnya toh aku nulis lagi. Kali ini ingin memuhasabahi diri saja. Entah ini kreatif atau sesungguhnya cuma pengen narsis. Lha muhasabah kok ditulis segala, disebarin via jejaring sosial pula? Ah, sekali lagi, sudah terlajur cinta sama dunia tulis-menulis.
Ceritanya, gebalau hati sempat melandaku beberapa waktu. Yah, penyakitnya anak muda barangkali, galau. Mudah-mudahan, seiring jemariku menari di atas laptop yang bukan punya sendiri ini, gebalau itu akan menyelinap pergi dari hati ini. Bukankan menulis dapat menjadi katarsis bagi jiwa? Ya, aku mempercayai teori itu, menulis dapat membantu kita membuang sampah-sampah jiwa yang menumpuk. Semoga..
Banyak sebab kegalauan menimpaku. Yah, hubungan muamalah seringkali menjadi sebab-musabab. Akan kuceritakan kegalauan yang positif saja. Galau-galau yang lain biarlah, kuhapus saja.
Tentang pandangan manusia dan pandangan Allah. Ah, sedikit lamban menuliskan ini. Takut niat belum betul-betul lurus, ikhlas demi mendapatkan ridha Allah. Takut, syetan kembali menyandra hati dan pikiranku. Allah..., hamba berlindung kepadamu.
Pandangan manusia. Bersyukur, bahwa banyak orang masih mempercayaiku, menghormatiku dan terkadang meninggikanku. Ramadhan tiga tahun yang lalu, juga dua tahun lalu, aku dipercaya warga Perumahan Taman Anggur Refaonda untuk jadi imam tarawih. Kebetulan di perumahan belum ada mushalla, jadi kita tarawihan di salah satu rumah warga. Ada jama’ah shalat khusus Ramadhan saja. Ramadhan terakhir aku tak jadi imam karena sudah ada imam baru, kebetulan namanya juga Pak Imam. Beliau belum lama membangun rumah persis di samping kiri rumahku.
Alhamdulillah, berkat gotong royong warga dan kesungguhan panitia pembangunan, mushalla di perumahanku kini telah berdiri dan dimanfaatkan. Malah sempat mengadakan acara peresmian sekaligus Mauludan. Ketika pak Imam absen jadi imam, ternyata aku masih pula dipercaya untuk menggantikan. Rupanya Pak Imam cukup sering absen. Jadinya aku sering juga jadi pengganti, menjadi imam shalat wajib. Malah, akhir-akhir ini, aku yang lebih sering jadi imam dari pada Pak Imam.
Padahal, jama’ahnya sebagian besar sudah matang usia. Empat puluh dan lima puluh ke atas. Cuma ada satu yang remaja, plus anak-anak. Sedang aku masih usia 31. Cukup tua juga sih. Akan tetapi mereka-mereka lebih mempercayakanku untuk jadi imam mushalla. Bacaan lebih bagus dan hapalan lebih banyak, kurasa itu sebabnya. Padahal, dua juz yang sebagian bubar lagi itu sesungguhnya, terlalu sedikit untuk orang setua diri ini. (Temen-temen SDIT Buah Hati, kita berlomba yuks tingkatin hapalan. Masak kalah sama muridnya...).
Seringkali terbersit... Ya Allah, aku jadi imam. Rasanya sungguh tak pantas. Teramat bertumpuk dosa. Mungkin aku lebih muda, tapi soal dosa, barangkali aku yang paling banyak menumpuknya. Bacaan lebih bagus kalau mengaburkan keikhlasan juga tiada arti. Hapalan yang dpada bubar itu juga bukan apa-apa. Malah tempo hari, di sekolah ada seorang gadis yang jualan sepatu. Dia tak berjilbab dan berpakain cukup seksi. Ketika melihatnya, langsung terlintas di benak, ‘ah, barangkali dalam pandangan Allah, dia jauh lebih baik dariku.’ Kembali teringat dosa-dosa yang menggunung...
Di SDIT Buah Hati, aku juga masih memegang amanah sebagai waka kurikulum. Kadang merasa sangat tak pantas. Dalam hal administrasi saja aku kalah dengan ustadz-ustadzah yang lain. Kadang merasa sangat tak bertanggung jawab. Banyak hal yang seharusnya kukerjakan, tapi belum atau bahkan enggan kulakukan. Atau mungkin sudah kulakukan, tapi belum sepenuh kesungguhan, belum maksimal. Barangkali juga banyak hal yang semestinya kulakukan, tapi aku  tak tahu kalau harus melakukannya. Sebaliknya, ada hal-hal yang tak semestinya kulakukan, tapi justru sering mengisi hari-hariku. Yang jelas, bila menengok tanggung jawab, rasanya aku tak cukup pantas untuk memikulnya. Aku masih dari yang penuh kelemahan dan kekurangan.
Sementara amanah di FLP Cabang Pemalang alhamdulillah sudah berkurang. Aku lengser dari jabatan ketua. Insya Allah, esok akan kuceritakan yang ini. Akan tetapi, dalam hal tulis-menulis, kayaknya aku juga masih jadi rujukan utama di Kota Pemalang. Aku tetap saja memikul tanggung jawab, untuk mengembangkan dakwah bil qolam. Khususnya di kota kecil ini.
Ah, sepertinya aku tak perlu galau lagi. Sudah saatnya untuk bersemangat. Menjadi diri yang baru. Menyongsong hari esok yang lebih cerah.
(he, ini nulis terasa sekenanya. Ngasih judulnya juga begitu)

Galau Tapi Narsis


Yah, akhirnya aku nulis lagi. Beberapan pekan enggan menulis. Bukan karena tak sempat. Kalau disempat-sempatkan pasti sempat ya? Akan tetapi beberapa hal yang menampar egoku memang membuat semangat menulis sempat ngedrop. Di samping, aku juga takut, emosi negatif akan terlalu banyak mempengaruhi tulisanku. Jangan-jangan bukan pahala yang akan kudapat, melainkan dosa.
Tapi ya... sudah terlanjur, sudah kecemplung di dunia tulis-menulis (sebenarnya sudah jatuh cinta), pada akhirnya toh aku nulis lagi. Kali ini ingin memuhasabahi diri saja. Entah ini kreatif atau sesungguhnya cuma pengen narsis. Lha muhasabah kok ditulis segala, disebarin via jejaring sosial pula? Ah, sekali lagi, sudah terlajur cinta sama dunia tulis-menulis.
Ceritanya, gebalau hati sempat melandaku beberapa waktu. Yah, penyakitnya anak muda barangkali, galau. Mudah-mudahan, seiring jemariku menari di atas laptop yang bukan punya sendiri ini, gebalau itu akan menyelinap pergi dari hati ini. Bukankan menulis dapat menjadi katarsis bagi jiwa? Ya, aku mempercayai teori itu, menulis dapat membantu kita membuang sampah-sampah jiwa yang menumpuk. Semoga..
Banyak sebab kegalauan menimpaku. Yah, hubungan muamalah seringkali menjadi sebab-musabab. Akan kuceritakan kegalauan yang positif saja. Galau-galau yang lain biarlah, kuhapus saja.
Tentang pandangan manusia dan pandangan Allah. Ah, sedikit lamban menuliskan ini. Takut niat belum betul-betul lurus, ikhlas demi mendapatkan ridha Allah. Takut, syetan kembali menyandra hati dan pikiranku. Allah..., hamba berlindung kepadamu.
Pandangan manusia. Bersyukur, bahwa banyak orang masih mempercayaiku, menghormatiku dan terkadang meninggikanku. Ramadhan tiga tahun yang lalu, juga dua tahun lalu, aku dipercaya warga Perumahan Taman Anggur Refaonda untuk jadi imam tarawih. Kebetulan di perumahan belum ada mushalla, jadi kita tarawihan di salah satu rumah warga. Ada jama’ah shalat khusus Ramadhan saja. Ramadhan terakhir aku tak jadi imam karena sudah ada imam baru, kebetulan namanya juga Pak Imam. Beliau belum lama membangun rumah persis di samping kiri rumahku.
Alhamdulillah, berkat gotong royong warga dan kesungguhan panitia pembangunan, mushalla di perumahanku kini telah berdiri dan dimanfaatkan. Malah sempat mengadakan acara peresmian sekaligus Mauludan. Ketika pak Imam absen jadi imam, ternyata aku masih pula dipercaya untuk menggantikan. Rupanya Pak Imam cukup sering absen. Jadinya aku sering juga jadi pengganti, menjadi imam shalat wajib. Malah, akhir-akhir ini, aku yang lebih sering jadi imam dari pada Pak Imam.
Padahal, jama’ahnya sebagian besar sudah matang usia. Empat puluh dan lima puluh ke atas. Cuma ada satu yang remaja, plus anak-anak. Sedang aku masih usia 31. Cukup tua juga sih. Akan tetapi mereka-mereka lebih mempercayakanku untuk jadi imam mushalla. Bacaan lebih bagus dan hapalan lebih banyak, kurasa itu sebabnya. Padahal, dua juz yang sebagian bubar lagi itu sesungguhnya, terlalu sedikit untuk orang setua diri ini. (Temen-temen SDIT Buah Hati, kita berlomba yuks tingkatin hapalan. Masak kalah sama muridnya...).
Seringkali terbersit... Ya Allah, aku jadi imam. Rasanya sungguh tak pantas. Teramat bertumpuk dosa. Mungkin aku lebih muda, tapi soal dosa, barangkali aku yang paling banyak menumpuknya. Bacaan lebih bagus kalau mengaburkan keikhlasan juga tiada arti. Hapalan yang dpada bubar itu juga bukan apa-apa. Malah tempo hari, di sekolah ada seorang gadis yang jualan sepatu. Dia tak berjilbab dan berpakain cukup seksi. Ketika melihatnya, langsung terlintas di benak, ‘ah, barangkali dalam pandangan Allah, dia jauh lebih baik dariku.’ Kembali teringat dosa-dosa yang menggunung...
Di SDIT Buah Hati, aku juga masih memegang amanah sebagai waka kurikulum. Kadang merasa sangat tak pantas. Dalam hal administrasi saja aku kalah dengan ustadz-ustadzah yang lain. Kadang merasa sangat tak bertanggung jawab. Banyak hal yang seharusnya kukerjakan, tapi belum atau bahkan enggan kulakukan. Atau mungkin sudah kulakukan, tapi belum sepenuh kesungguhan, belum maksimal. Barangkali juga banyak hal yang semestinya kulakukan, tapi aku  tak tahu kalau harus melakukannya. Sebaliknya, ada hal-hal yang tak semestinya kulakukan, tapi justru sering mengisi hari-hariku. Yang jelas, bila menengok tanggung jawab, rasanya aku tak cukup pantas untuk memikulnya. Aku masih dari yang penuh kelemahan dan kekurangan.
Sementara amanah di FLP Cabang Pemalang alhamdulillah sudah berkurang. Aku lengser dari jabatan ketua. Insya Allah, esok akan kuceritakan yang ini. Akan tetapi, dalam hal tulis-menulis, kayaknya aku juga masih jadi rujukan utama di Kota Pemalang. Aku tetap saja memikul tanggung jawab, untuk mengembangkan dakwah bil qolam. Khususnya di kota kecil ini.
Ah, sepertinya aku tak perlu galau lagi. Sudah saatnya untuk bersemangat. Menjadi diri yang baru. Menyongsong hari esok yang lebih cerah.
(he, ini nulis terasa sekenanya. Ngasih judulnya juga begitu)

Now!


“Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: ‘Bersegeralah kalian untuk beramal sebelum datangnya tujuh perkara. Apabkah kamu menantikan kemiskinan yang dapat melupakan, kekayaan yang dapat menimulkan kesombongan, sakit yang dapat mengendorkan, tua renta yang dapat melemahkan, mati yang dapat menyudahi segala-galanya, atau menunggu datangnya Dajjal, padahal ia adalah sejelek-jelek sesuatu yang ditunggu, atau menunggu datangnya hari kiamat, padahal kiamat adalah sesuatu yang amat berat dan amat menakutkan.’’” (HR. Tirmidzi)

Banyak orang ingin sukses, ingin kaya, ingin pintar dan sebagainya, tapi banyak pula yang tidak segera bertindak. Maka keinginan tetap menjadi keinginan, cinta-cita tak pernah tercapai, dan mimpi tak pernah menjadi kenyataan. Banyak orang benar-benar mengubur mimpi, tak pernah mencoba untuk meraihnya. Entah karena takut gagal, tak percaya diri, atau sekedar malas. Sebagian orang berusaha mengejar mimpi besarnya. Sayangnya selalu menunda-nunda, dengan berbagai alasan yang hampir sama dengan mereka yang tak bergerak. Akan menyalahkan siapa, bila sukses sudah di depan mata, tapi tak jadi dapat diraih karena segera tutup usia?
Boleh dibilang, menunda-nunda telah kebiasaan umum yang membudaya. Acara yang dijadwalkan pukul delapan pagi, baru dapat dimulai pukul setengah sepuluh, atau lebih siang lagi. Pekerjaan yang harusnya selesai minggu lalu, baru mulai dikerjakan hari ini. Tugas yang seharusnya dapat diselesaikan dalam sepekan, tak rampung dalam sebulan. Bila kau memperoleh undangan mengikuti acara tertentu, datanglah tepat waktu, niscaya kau akan lama menunggu. Bukan kepastian memang, tapi biasanya begitu.
Banyak lagi contohnya. Ketika ingin belajar; ah, nanti saja kalau mau ada ujian. Ketika ingin membuka usaha; ah nanti dulu, tunggu modal terkumpul. Ketika punya niat bersedekah; ah, tunggu sampai bisa menabung lebih banyak. Ketika hendak membantu orang lain; ah, tungguh sampai dia mengulurkan tangan. Ketika ingin beramal shalih; ah nanti saja kalau sudah mau mati. Ketika ingin menikah; ah nanti saja kalau sudah kempot! (Tentu, yang terakhir ini tak berlaku, kebanyakan juga pengen cepet-cepet. Bahkan banyak yang terpaksa putus sekolah lantaran terlanjur “kecelakaan”. MBA gitu loh)
Sungguh, sikap-sikap yang menyedihkan, tapi menjadi kebiasaan. Bahkan ketika ada seorang yang mencoba bersikap profesional, seringkali justru dianggap terlalu. Misalnya, dalam rapat sebuah organisasi, seorang sahabat, sebut saja Fadli dianggap punya pribadi yang sulit dipahami. “Susah,” kata salah seorang peserta rapat. Karena itu Fadli jarang diundang ikut rapat. Apa pasal? Sebabnya Fadli biasa datang tepat waktu. Bila setengah jam peserta rapat yang lain belum datang, maka Fadli memilih untuk meninggalkan tempat dan melakukan aktifitas lain. Nah, yang lain hanya berpikir; “Kok begitu-begitu amat?” Sebenarnya siapa yang terlalu?
Dalam kajian manapun, sikap menunda-nunda aktifitas kebaikan pastilah dianggap negatif. Sebaliknya, bersegera sangat dianjurkan. Tak perlu berpikir keras dan mencari-cari dalil, secara pasti kita dapat meyakininya. Pun bila ada yang menginginkan dalil dari al-Qur’an, hadits, maupun kisah-kisah orang shalih, kita akan sangat mudah mendapatinya.
Dalam surah Ali Imran Allah berfirman, yang artinya:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran: 133)
Dalam ayat yang surah yang lain Allah juga berfirman, yang artinya:
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS At-Taubah: 41)
Maka bila kita membaca riwayat, kita jumpai Rasulullah selalu bergegas dalam beramal shalih. Suatu ketika, Rasulullah baru selesai mengimami shalat ashar. Setelah salah, beliau cepat-cepat bangkit melangkahi barisan para sahabat menuju kamar salah seorang istrinya. Para sahabat terkejut karena melihat beliau tergesa-gesa. Setelah itu Rasulullah keluar. Beliau terkeheran-heran melihat para sahabat yang terkejut. Rasulullah kemudian bersabda; “Aku teringat sepotong emas dan aku tidak ingin terganggu karenanya. Maka aku menyuruh untuk membaginya.” Dalam riwayat lain disebutkan; “Aku meninggalkan sepotong emas yang harus kusedekahkan, tetapi tertinggal di rumah. Maka aku tidak ingin emas itu menginap di tempatku.” (HR. Bukhari)
Diriwayatkan Abu Hurairah ra. pada kesempatan lain beliau pernah bersabda: “Bersegeralah kalian untuk mengerjakan amal-amal shalih, karena akan terjadi bencana yang menyerupai malam yang gelap gulita, yaitu seorang pada waktu pagi dia beriman, tetapi pada waktu sore dia kafir. Atau pada waktu sore dia beriman, tetapi pada waktu paginya dia kafir. Dia rela menukar agamanya dengan sedikit keuntungan dunia.” (HR. Muslim)
Meneladani sikap Rasulullah ini, kita jumpai pula kisah-kisah yang luar biasa dari para sahabat dalam bersegera melakukan amal shalih. Pada waktu perang Uhud, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah; “Apakah engkau tahu dimanakah tempatku seandainya aku terbunuh?” Beliau menjawab; “Di dalam surga.” Sahabat tersebut kemudian melemparkan biji-biji korma yang ada di tangannya, lalu berperang hingga syahid.
Sahabat yang lain punya kisah tak kalah menarik. Hanzalah ketika itu sedang menikmati malam pengantinya. Akan tetapi memenuhi seruan jihad lebih disukainya. Karena itu ia meninggalkan istrinya, maju berperang dan syahid dalam keadaan junub.
Secara berjama’ah, kita dapati pula kisa-kisah yang mengagumpkan, ketika turun perintah berjilbab bagi wanita, para shahabiyah mencari apa saja untuk dipakai sebagai kerudung. Bahkan bila ada yang harus merobek sebagian bajunya untuk kerudung, hal itu dilakukan juga. Ketika arah kiblat bagi umat Islam diganti dari masjidil aqsa ke masjidil haram, para sahabat yang sedang shalat dan mendengar kabar tersebut langsung berbalik arah.
Begitupun dalam meninggalkan keburukan. Ketika turun ayat yang mengharamkan khamr, dipecahkanlah botol-botol dan tempat-tempat arak lainnya. Dari itu terbentuklah parit-parit yang mengalir arak. Para sahabat yang sedang meneguk arak, memuntahkan apa yang masih di mulutnya demi menjaga diri dari yang keharaman.
Dalam berbagai hal lainnya, hampir selalu sama. Ketika Rasulullah memerintahkan untuk mengerjakan ini atau meninggalkan itu, para sahabat selalu sigap untuk segera mengerjakannya. Nah, luar biasa bukan kesungguhan mereka dalam bersegera? Satu contoh lagi yang mengagumkan akan kau jumpai, segera setelah kita beralih pada tema berikut yang masih berkait erat dengan perbincangan kita kali ini.
Sekarang, mari kita tengok diri kita. Sejauh mana kita dalam bersegera mengerjakan amal shalih? Bila masih suka menunda-nunda, saatnya kita ubah kebiasaan kita. Bisa kita lihat kerugian akibat menunda-nuda. Kesempatan yang tidak kita ambil tempo hari, seringkali telah dibabat orang. Kesempatan kedua belum tentu datang lagi. Atau coba kita renungkan berbagai masalah yang seringkali menjadi runyam dan menumpuk, gara-gara tugas-tugas kita tak selesai tepat waktu.
Maka, alangkah tepat bila kita berpikir tentang sebuah kebaikan kemudian serta-merta bergerak dan bekerja untuk mewujudkannya. Mulai detik ini juga. Right Now!

Rebutan Kursi


Terjaga jam dua malam. Melamun, berpikir, resah sendiri. Maka aku harus bangun dan menulis. Teringat aku kejadian tadi siang...
Seperti biasa, semester kedua, anak kelas enam mulai ada tambahan jam pelajaran, khususnya untuk mata pelajaran – mata pelajaran yang diUNkan. Kebetulan aku mengajar Bahasa Indonesia, hari Jum’at ada tambahan. Ketika anak-anak kelas tiga sampai lima kegiatan pramuka, kelas enam belajar Bahasa Indonesia.
Untuk menghindari kejenuhan, anak-anak minta pindah kelas, tidak di ruang kelas enam. Aku mengiyakan saja. “Silahkan mencari kelas sendiri,” kataku. Mereka pun masuk ke ruang kelas satu. Di kelas ini, anak-anak biasanya separuh duduk di kursi, separuh duduk lesehan. Karena kelas enam jumlahnya hanya 18, mereka semua duduk lesehan. Dalam posisi lesehan ini, mereka belajar menggunakan meja-mejak pendek panjang, persis seperti meja untuk pembelajaran Qiro’ati.
Ketika aku masuk, ternyata sedang ada keributan. Anak-anak itu rebutan meja. Tarik menarik meja, semacam tarik tambang tapi dengan media meja belajar. Mereka tak mempedulikan aku, ustadznya yang telah masuk dan duduk lesehan dalam kelas. Terus saja saling berebut. Anak putra merebut meja anak putri, ditaruh. Giliran anak putri mengambil meja anak putra, ditaruh. Anak putra yang lain, maju, merebut meja anak putri, ditaruh. Lalu anak putri yang lain maju, merebut meja anak putri, ditaruh. Anak putra yang lain lagi maju, merebut meja. Anak putri yang telah merasa memilikinya tak rela, dia pertahankan, tarik-tarikan.
Cukup lama adegan itu berlangsung, sampai ada anak putri yang memukuli anak laki-laki karena tak rela mejanya diambil. Anak itu putri itu matanya berkaca dan terlihat sangat marah. Sebagian anak tertawa-tawa menyaksikan adegan itu. Akan tetapi sebagian besar terlibat emosi. Ya, emosi...
Maka ada yang harus aku sampaikan. Kejadian ini sepertinya tidak sepele. Kuurungkan niat untuk segera melanjutkan pembelajaran Bahasa Indonesia. Urusan UN itu memang penting. Akan tetapi yang satu ini jauh-jauh lebih penting. Sepinta lalu langsung terpikir olehku, kayak’ orang-orang berduit pada rebutan kursi DPR aja...
Iya, sebenarnya tak jauh berbeda, hanya dalam sekala yang lebih kecil dan sederhana. Intinya saling berebut kekuasaan, dengan segala cara. Anak-anakku tadi, secara tidak sadar telah mementingkan diri sendiri. Menganggap meja yang sebenarnya kepunyaan sekolah itu adalah haknya, miliknya. Lalu menganggap kepemilikan meja itu begitu penting. Hingga bila tak punya, dia harus merebut orang lain. Bagi yang punya dan hendak diambil orang lain, dia tak rela. Iya, mereka secara tak sadar telah beranggapan bahwa menguasai meja itu sangatlah penting, tak peduli mendhalimi orang lain.
Insya Allah tidak akan terjadi, akan tetapi aku berpikir, jika sifat ini dibiarkan dan dipertahankan, kelak dapat menjadi suatu yang sangat berbahaya. Sekarang mungkin hanya rebutan meja. Kelak bisa jadi rebutan harga warisan, rebutan jabatan, rebutan kekuasaan di pemerintahan. Maka sekali lagi, ada yang harus segera kusampaikan.
“Anak-anakku, kalian seperti anak usia tiga tahun dan empat tahun,” aku memulai. Memang, si Lavy sama Mayluf kalau sudah rebutan sesuatu ya begitu. Sulit dilerai, maunya menang sendiri. Yang lebih besar dan yang kecil sama saja. Yang putra dan yang putri tidak berbeda. Rebutan ya rebutan. Tak ada yang mau mengalah.
Kusampaikan bahwa apa yang telah mereka lakukan sama sekali bukan hal baik. Hanyalah sifat ingin menangnya sendiri. Ingin menguasai, serakah. Kusampaikan pula bahwa mereka sudah harus mulai berpikir apa yang terbaik buta orang lain, bukan hanya untuk dirinya sendiri. Mereka harus mulai berpikir apa yang dapat diberi untuk orang lain, bagaimana membuat orang lain bahagia, bagaimana membuat orang lain nyaman dan seterusnya.
Butuh waktu cukup lama untuk menyampaikan nasihatku. Tak masalah, sekali lagi ini jauh lebih penting dari urusan Ujian Nasional. Semoga saja apa yang kusampaikan ada yang membekas di hati mereka. Amin ya Rabbal ‘alamin.
abcs