Hujan Kenangan Hadir Bersama Hujan



Sewaktu aku kecil, terkadang hujan datang tak pada musimnya. Adakalanya rintik hujan datang, sementara mentari masih nampak berseri. Ya, hujan, tapi cerah. Orang jawa menyebutnya Udan Kethek. Hujan Monyet. Tak perlu lah engkau bayangkan monyet-monyet berjatuhan dari langit.
Itu dulu. Sementara tahun-tahun terakhir ini, hujan sepertinya tak lagi bermusim. Tak jelas mana musim penghujan, mana musim kemarau. Sebab pada bulan-bulan yang dalam pelajaran IPA disebut musim kemarau, hujan acap kali masih mengguyur bumi dengan bertubi.
Pun dalam hidup kita, hujan memang tak pernah bermusim. Ada kala hati kita begitu cerah, malah berbunga-bunga. Namun tetiba mendung, gerimis, lalu hujan menderas. Hujan datang sewaktu-waktu, semau-maunya sendiri. Seperti ketika kekasih pergi. Ya, hanya pergi, dengan sebab entah. Dia tak meninggalkan apa-apa, hanya hujan..
Hujan, dalam artian yang sebenarnya, berjatuhannya air dari langit, dalam bahasa syukur seorang abdi, adalah rahmat bagi bumi, bagi tentumbuhan, bagi hewan, dan terutama bagi kita, manusia. Sementara bagiku, aku yakin juga bagimu, hujan bermakna pula taburan kenangan.
Kamu ingat, di saat sendiri, tiada teman atau keluarga bersamamu, sedang hujan datang dengan syahdu. Tiada kilat yang menyambar-nyambar, tiada geledek yang menggelegar. Sementara tiada pekerjaan untuk disibuki, tiada film menarik untuk ditonton, tiada novel menawan belum kau tuntaskan, sedang game pada gatget sudah bosan kau mainkan. Saat-saat seperti itu, apa yang kau lakukan? Bila aku yang ditanya, jawabku adalah; “Menghanyutkan diri dalam kenangan.”
Hujan begitu mudah memanggil kenangan. Bahkan bila sang hujan tak melakukan apa-apa, kenangan demi kenangan berduyun-duyun menghampiri. Ketika bumi diguyur air yang menhidupkan, hati kita dihujani kenangan.
Hujan kenangan hadir bersama hujan.

Hidup Adalah Kenangan



Menurutuku.., iya, memang hanya menurutku, sebagian besar hidup kita ini adalah kenangan. Sebab sebagian besar hal yang kita alami memang telah berlalu, panjang, sedari keluar dari rahim ibunda, hingga sedetik lalu. Sedang saat ini, akan segera pula berlalu, kemudian tumbuh menjadi kenangan. Sementara esok, masih belum pasti adanya. Maka, yang ada adalah kenangan dan kenangan.
Aku.., iya hanya aku – tak mengapa kan ngomongin diri sendir? – adalah pecinta kenangan. Dalam sendiri, ketika larut malam, saat turun hujan, sering kubiarkan anganku melayang, ke sana kemari menyusuri kenangan. Seringkali buat diri ini tersenyum, meski kadang juga jadi malu sendiri. Malu akan diriku yang dulu. Malu akan tingkahku yang sempat terlalu. Seringkali kepergianku ke alam kenangan itu menghadirkan perasaan bagaimana… gitu. Perasaan yang sulit kuungkapkan.
Pun baris-baris kalimat ini kutulis ketika hujan menyapa. Tanpa petir dan geledeknya, suasana saat ini sungguh syahdu, mengajakku bergegas, membuat lubang dan lorong angan, menuju dunia kenangan. Aku akan berpetualang ke sana.
Andai aku bisa pergi ke masa lalu... Ya, hanya andai. Sebab bila menjadi kenyataan, itu pasti hanya dalam film, dan film bukan kenyataan. Kenyataannya, aku suka berandai andai. Andaianku kali ini, tentang kembali ke masa lalu. Bukan back to the future, sebab kamu juga tahu, future itu kan masa depan.
Andai andaianku itu jadi kenyataan, barangkali aku akan lebih sering pergi ke masa lalu, dari pada menjalani hari ini. Bukankan telah kukatakan tadi, bahwa aku ini adalah pecinta kenangan. Meski hidupku terasa hari ini dan aku berjuang untuk hari esok, tapi kenangan demi kenangan itu sungguh sesuatu. Dialah yang membuatku hari ini merasa lebih hidup. Dialah yang tetap membuatku berdiri untuk menyongsong hari esok.
Lalu, bila kita dapat memaknai masa lalu dengan lebih mendalam, seringkali kita dapat berpetualang ke hutan-hutan yang lebih lebat, gunung-gunung yang lebih menjulang, menyusur sungai yang lebih deras arusnya, hingga samudera yang maha luas. Segala sesuatunya menjadi lebih dalam, lebih tinggi, lebih lapang, bahkan bila dibanding saat-saat peristiwa itu berlaku.
Seperti ketika perjumpaan dengan seseoarang, dulu terasa biasa saja. Orang itu hanya bukan siapa-siapa dalam hidup ini. Hadir, pergi, lalu segera dilupakan. Akan tetapi ketika masa berganti, pertemuan itu, orang itu, kepergiannya, ternyata menjadi bermakna. Mengenang senyumnya membuat kita kembali tersenyum. Mengenang saat-saat bersamanya menghadirkan bahagia. Lalu ketika teringat kepergianya, terasa betul ada yang hilang.
Atau waktu kecil, ketika itu bareng-bareng kawan satu sekolahan, kita jalan-jalan menyusuri perbukitan dekat kampong kita. Ah, dulu rasanya sungguh biasa. Tiada yang spesial. Akan tetapi setelah waktu berganti, tahun demi tahun berlalu, kegiatan sederhana itu ternyata menjadi kenangan yang menghanyutkan. Merenunginya, memaknaiknya, membuat kita ingin kembali ke sana. Ingin kecil lagi. Ingin bersama-sama mereka lagi.
abcs