Galau Tapi Narsis


Yah, akhirnya aku nulis lagi. Beberapan pekan enggan menulis. Bukan karena tak sempat. Kalau disempat-sempatkan pasti sempat ya? Akan tetapi beberapa hal yang menampar egoku memang membuat semangat menulis sempat ngedrop. Di samping, aku juga takut, emosi negatif akan terlalu banyak mempengaruhi tulisanku. Jangan-jangan bukan pahala yang akan kudapat, melainkan dosa.
Tapi ya... sudah terlanjur, sudah kecemplung di dunia tulis-menulis (sebenarnya sudah jatuh cinta), pada akhirnya toh aku nulis lagi. Kali ini ingin memuhasabahi diri saja. Entah ini kreatif atau sesungguhnya cuma pengen narsis. Lha muhasabah kok ditulis segala, disebarin via jejaring sosial pula? Ah, sekali lagi, sudah terlajur cinta sama dunia tulis-menulis.
Ceritanya, gebalau hati sempat melandaku beberapa waktu. Yah, penyakitnya anak muda barangkali, galau. Mudah-mudahan, seiring jemariku menari di atas laptop yang bukan punya sendiri ini, gebalau itu akan menyelinap pergi dari hati ini. Bukankan menulis dapat menjadi katarsis bagi jiwa? Ya, aku mempercayai teori itu, menulis dapat membantu kita membuang sampah-sampah jiwa yang menumpuk. Semoga..
Banyak sebab kegalauan menimpaku. Yah, hubungan muamalah seringkali menjadi sebab-musabab. Akan kuceritakan kegalauan yang positif saja. Galau-galau yang lain biarlah, kuhapus saja.
Tentang pandangan manusia dan pandangan Allah. Ah, sedikit lamban menuliskan ini. Takut niat belum betul-betul lurus, ikhlas demi mendapatkan ridha Allah. Takut, syetan kembali menyandra hati dan pikiranku. Allah..., hamba berlindung kepadamu.
Pandangan manusia. Bersyukur, bahwa banyak orang masih mempercayaiku, menghormatiku dan terkadang meninggikanku. Ramadhan tiga tahun yang lalu, juga dua tahun lalu, aku dipercaya warga Perumahan Taman Anggur Refaonda untuk jadi imam tarawih. Kebetulan di perumahan belum ada mushalla, jadi kita tarawihan di salah satu rumah warga. Ada jama’ah shalat khusus Ramadhan saja. Ramadhan terakhir aku tak jadi imam karena sudah ada imam baru, kebetulan namanya juga Pak Imam. Beliau belum lama membangun rumah persis di samping kiri rumahku.
Alhamdulillah, berkat gotong royong warga dan kesungguhan panitia pembangunan, mushalla di perumahanku kini telah berdiri dan dimanfaatkan. Malah sempat mengadakan acara peresmian sekaligus Mauludan. Ketika pak Imam absen jadi imam, ternyata aku masih pula dipercaya untuk menggantikan. Rupanya Pak Imam cukup sering absen. Jadinya aku sering juga jadi pengganti, menjadi imam shalat wajib. Malah, akhir-akhir ini, aku yang lebih sering jadi imam dari pada Pak Imam.
Padahal, jama’ahnya sebagian besar sudah matang usia. Empat puluh dan lima puluh ke atas. Cuma ada satu yang remaja, plus anak-anak. Sedang aku masih usia 31. Cukup tua juga sih. Akan tetapi mereka-mereka lebih mempercayakanku untuk jadi imam mushalla. Bacaan lebih bagus dan hapalan lebih banyak, kurasa itu sebabnya. Padahal, dua juz yang sebagian bubar lagi itu sesungguhnya, terlalu sedikit untuk orang setua diri ini. (Temen-temen SDIT Buah Hati, kita berlomba yuks tingkatin hapalan. Masak kalah sama muridnya...).
Seringkali terbersit... Ya Allah, aku jadi imam. Rasanya sungguh tak pantas. Teramat bertumpuk dosa. Mungkin aku lebih muda, tapi soal dosa, barangkali aku yang paling banyak menumpuknya. Bacaan lebih bagus kalau mengaburkan keikhlasan juga tiada arti. Hapalan yang dpada bubar itu juga bukan apa-apa. Malah tempo hari, di sekolah ada seorang gadis yang jualan sepatu. Dia tak berjilbab dan berpakain cukup seksi. Ketika melihatnya, langsung terlintas di benak, ‘ah, barangkali dalam pandangan Allah, dia jauh lebih baik dariku.’ Kembali teringat dosa-dosa yang menggunung...
Di SDIT Buah Hati, aku juga masih memegang amanah sebagai waka kurikulum. Kadang merasa sangat tak pantas. Dalam hal administrasi saja aku kalah dengan ustadz-ustadzah yang lain. Kadang merasa sangat tak bertanggung jawab. Banyak hal yang seharusnya kukerjakan, tapi belum atau bahkan enggan kulakukan. Atau mungkin sudah kulakukan, tapi belum sepenuh kesungguhan, belum maksimal. Barangkali juga banyak hal yang semestinya kulakukan, tapi aku  tak tahu kalau harus melakukannya. Sebaliknya, ada hal-hal yang tak semestinya kulakukan, tapi justru sering mengisi hari-hariku. Yang jelas, bila menengok tanggung jawab, rasanya aku tak cukup pantas untuk memikulnya. Aku masih dari yang penuh kelemahan dan kekurangan.
Sementara amanah di FLP Cabang Pemalang alhamdulillah sudah berkurang. Aku lengser dari jabatan ketua. Insya Allah, esok akan kuceritakan yang ini. Akan tetapi, dalam hal tulis-menulis, kayaknya aku juga masih jadi rujukan utama di Kota Pemalang. Aku tetap saja memikul tanggung jawab, untuk mengembangkan dakwah bil qolam. Khususnya di kota kecil ini.
Ah, sepertinya aku tak perlu galau lagi. Sudah saatnya untuk bersemangat. Menjadi diri yang baru. Menyongsong hari esok yang lebih cerah.
(he, ini nulis terasa sekenanya. Ngasih judulnya juga begitu)

Galau Tapi Narsis


Yah, akhirnya aku nulis lagi. Beberapan pekan enggan menulis. Bukan karena tak sempat. Kalau disempat-sempatkan pasti sempat ya? Akan tetapi beberapa hal yang menampar egoku memang membuat semangat menulis sempat ngedrop. Di samping, aku juga takut, emosi negatif akan terlalu banyak mempengaruhi tulisanku. Jangan-jangan bukan pahala yang akan kudapat, melainkan dosa.
Tapi ya... sudah terlanjur, sudah kecemplung di dunia tulis-menulis (sebenarnya sudah jatuh cinta), pada akhirnya toh aku nulis lagi. Kali ini ingin memuhasabahi diri saja. Entah ini kreatif atau sesungguhnya cuma pengen narsis. Lha muhasabah kok ditulis segala, disebarin via jejaring sosial pula? Ah, sekali lagi, sudah terlajur cinta sama dunia tulis-menulis.
Ceritanya, gebalau hati sempat melandaku beberapa waktu. Yah, penyakitnya anak muda barangkali, galau. Mudah-mudahan, seiring jemariku menari di atas laptop yang bukan punya sendiri ini, gebalau itu akan menyelinap pergi dari hati ini. Bukankan menulis dapat menjadi katarsis bagi jiwa? Ya, aku mempercayai teori itu, menulis dapat membantu kita membuang sampah-sampah jiwa yang menumpuk. Semoga..
Banyak sebab kegalauan menimpaku. Yah, hubungan muamalah seringkali menjadi sebab-musabab. Akan kuceritakan kegalauan yang positif saja. Galau-galau yang lain biarlah, kuhapus saja.
Tentang pandangan manusia dan pandangan Allah. Ah, sedikit lamban menuliskan ini. Takut niat belum betul-betul lurus, ikhlas demi mendapatkan ridha Allah. Takut, syetan kembali menyandra hati dan pikiranku. Allah..., hamba berlindung kepadamu.
Pandangan manusia. Bersyukur, bahwa banyak orang masih mempercayaiku, menghormatiku dan terkadang meninggikanku. Ramadhan tiga tahun yang lalu, juga dua tahun lalu, aku dipercaya warga Perumahan Taman Anggur Refaonda untuk jadi imam tarawih. Kebetulan di perumahan belum ada mushalla, jadi kita tarawihan di salah satu rumah warga. Ada jama’ah shalat khusus Ramadhan saja. Ramadhan terakhir aku tak jadi imam karena sudah ada imam baru, kebetulan namanya juga Pak Imam. Beliau belum lama membangun rumah persis di samping kiri rumahku.
Alhamdulillah, berkat gotong royong warga dan kesungguhan panitia pembangunan, mushalla di perumahanku kini telah berdiri dan dimanfaatkan. Malah sempat mengadakan acara peresmian sekaligus Mauludan. Ketika pak Imam absen jadi imam, ternyata aku masih pula dipercaya untuk menggantikan. Rupanya Pak Imam cukup sering absen. Jadinya aku sering juga jadi pengganti, menjadi imam shalat wajib. Malah, akhir-akhir ini, aku yang lebih sering jadi imam dari pada Pak Imam.
Padahal, jama’ahnya sebagian besar sudah matang usia. Empat puluh dan lima puluh ke atas. Cuma ada satu yang remaja, plus anak-anak. Sedang aku masih usia 31. Cukup tua juga sih. Akan tetapi mereka-mereka lebih mempercayakanku untuk jadi imam mushalla. Bacaan lebih bagus dan hapalan lebih banyak, kurasa itu sebabnya. Padahal, dua juz yang sebagian bubar lagi itu sesungguhnya, terlalu sedikit untuk orang setua diri ini. (Temen-temen SDIT Buah Hati, kita berlomba yuks tingkatin hapalan. Masak kalah sama muridnya...).
Seringkali terbersit... Ya Allah, aku jadi imam. Rasanya sungguh tak pantas. Teramat bertumpuk dosa. Mungkin aku lebih muda, tapi soal dosa, barangkali aku yang paling banyak menumpuknya. Bacaan lebih bagus kalau mengaburkan keikhlasan juga tiada arti. Hapalan yang dpada bubar itu juga bukan apa-apa. Malah tempo hari, di sekolah ada seorang gadis yang jualan sepatu. Dia tak berjilbab dan berpakain cukup seksi. Ketika melihatnya, langsung terlintas di benak, ‘ah, barangkali dalam pandangan Allah, dia jauh lebih baik dariku.’ Kembali teringat dosa-dosa yang menggunung...
Di SDIT Buah Hati, aku juga masih memegang amanah sebagai waka kurikulum. Kadang merasa sangat tak pantas. Dalam hal administrasi saja aku kalah dengan ustadz-ustadzah yang lain. Kadang merasa sangat tak bertanggung jawab. Banyak hal yang seharusnya kukerjakan, tapi belum atau bahkan enggan kulakukan. Atau mungkin sudah kulakukan, tapi belum sepenuh kesungguhan, belum maksimal. Barangkali juga banyak hal yang semestinya kulakukan, tapi aku  tak tahu kalau harus melakukannya. Sebaliknya, ada hal-hal yang tak semestinya kulakukan, tapi justru sering mengisi hari-hariku. Yang jelas, bila menengok tanggung jawab, rasanya aku tak cukup pantas untuk memikulnya. Aku masih dari yang penuh kelemahan dan kekurangan.
Sementara amanah di FLP Cabang Pemalang alhamdulillah sudah berkurang. Aku lengser dari jabatan ketua. Insya Allah, esok akan kuceritakan yang ini. Akan tetapi, dalam hal tulis-menulis, kayaknya aku juga masih jadi rujukan utama di Kota Pemalang. Aku tetap saja memikul tanggung jawab, untuk mengembangkan dakwah bil qolam. Khususnya di kota kecil ini.
Ah, sepertinya aku tak perlu galau lagi. Sudah saatnya untuk bersemangat. Menjadi diri yang baru. Menyongsong hari esok yang lebih cerah.
(he, ini nulis terasa sekenanya. Ngasih judulnya juga begitu)

Galau Tapi Narsis


Yah, akhirnya aku nulis lagi. Beberapan pekan enggan menulis. Bukan karena tak sempat. Kalau disempat-sempatkan pasti sempat ya? Akan tetapi beberapa hal yang menampar egoku memang membuat semangat menulis sempat ngedrop. Di samping, aku juga takut, emosi negatif akan terlalu banyak mempengaruhi tulisanku. Jangan-jangan bukan pahala yang akan kudapat, melainkan dosa.
Tapi ya... sudah terlanjur, sudah kecemplung di dunia tulis-menulis (sebenarnya sudah jatuh cinta), pada akhirnya toh aku nulis lagi. Kali ini ingin memuhasabahi diri saja. Entah ini kreatif atau sesungguhnya cuma pengen narsis. Lha muhasabah kok ditulis segala, disebarin via jejaring sosial pula? Ah, sekali lagi, sudah terlajur cinta sama dunia tulis-menulis.
Ceritanya, gebalau hati sempat melandaku beberapa waktu. Yah, penyakitnya anak muda barangkali, galau. Mudah-mudahan, seiring jemariku menari di atas laptop yang bukan punya sendiri ini, gebalau itu akan menyelinap pergi dari hati ini. Bukankan menulis dapat menjadi katarsis bagi jiwa? Ya, aku mempercayai teori itu, menulis dapat membantu kita membuang sampah-sampah jiwa yang menumpuk. Semoga..
Banyak sebab kegalauan menimpaku. Yah, hubungan muamalah seringkali menjadi sebab-musabab. Akan kuceritakan kegalauan yang positif saja. Galau-galau yang lain biarlah, kuhapus saja.
Tentang pandangan manusia dan pandangan Allah. Ah, sedikit lamban menuliskan ini. Takut niat belum betul-betul lurus, ikhlas demi mendapatkan ridha Allah. Takut, syetan kembali menyandra hati dan pikiranku. Allah..., hamba berlindung kepadamu.
Pandangan manusia. Bersyukur, bahwa banyak orang masih mempercayaiku, menghormatiku dan terkadang meninggikanku. Ramadhan tiga tahun yang lalu, juga dua tahun lalu, aku dipercaya warga Perumahan Taman Anggur Refaonda untuk jadi imam tarawih. Kebetulan di perumahan belum ada mushalla, jadi kita tarawihan di salah satu rumah warga. Ada jama’ah shalat khusus Ramadhan saja. Ramadhan terakhir aku tak jadi imam karena sudah ada imam baru, kebetulan namanya juga Pak Imam. Beliau belum lama membangun rumah persis di samping kiri rumahku.
Alhamdulillah, berkat gotong royong warga dan kesungguhan panitia pembangunan, mushalla di perumahanku kini telah berdiri dan dimanfaatkan. Malah sempat mengadakan acara peresmian sekaligus Mauludan. Ketika pak Imam absen jadi imam, ternyata aku masih pula dipercaya untuk menggantikan. Rupanya Pak Imam cukup sering absen. Jadinya aku sering juga jadi pengganti, menjadi imam shalat wajib. Malah, akhir-akhir ini, aku yang lebih sering jadi imam dari pada Pak Imam.
Padahal, jama’ahnya sebagian besar sudah matang usia. Empat puluh dan lima puluh ke atas. Cuma ada satu yang remaja, plus anak-anak. Sedang aku masih usia 31. Cukup tua juga sih. Akan tetapi mereka-mereka lebih mempercayakanku untuk jadi imam mushalla. Bacaan lebih bagus dan hapalan lebih banyak, kurasa itu sebabnya. Padahal, dua juz yang sebagian bubar lagi itu sesungguhnya, terlalu sedikit untuk orang setua diri ini. (Temen-temen SDIT Buah Hati, kita berlomba yuks tingkatin hapalan. Masak kalah sama muridnya...).
Seringkali terbersit... Ya Allah, aku jadi imam. Rasanya sungguh tak pantas. Teramat bertumpuk dosa. Mungkin aku lebih muda, tapi soal dosa, barangkali aku yang paling banyak menumpuknya. Bacaan lebih bagus kalau mengaburkan keikhlasan juga tiada arti. Hapalan yang dpada bubar itu juga bukan apa-apa. Malah tempo hari, di sekolah ada seorang gadis yang jualan sepatu. Dia tak berjilbab dan berpakain cukup seksi. Ketika melihatnya, langsung terlintas di benak, ‘ah, barangkali dalam pandangan Allah, dia jauh lebih baik dariku.’ Kembali teringat dosa-dosa yang menggunung...
Di SDIT Buah Hati, aku juga masih memegang amanah sebagai waka kurikulum. Kadang merasa sangat tak pantas. Dalam hal administrasi saja aku kalah dengan ustadz-ustadzah yang lain. Kadang merasa sangat tak bertanggung jawab. Banyak hal yang seharusnya kukerjakan, tapi belum atau bahkan enggan kulakukan. Atau mungkin sudah kulakukan, tapi belum sepenuh kesungguhan, belum maksimal. Barangkali juga banyak hal yang semestinya kulakukan, tapi aku  tak tahu kalau harus melakukannya. Sebaliknya, ada hal-hal yang tak semestinya kulakukan, tapi justru sering mengisi hari-hariku. Yang jelas, bila menengok tanggung jawab, rasanya aku tak cukup pantas untuk memikulnya. Aku masih dari yang penuh kelemahan dan kekurangan.
Sementara amanah di FLP Cabang Pemalang alhamdulillah sudah berkurang. Aku lengser dari jabatan ketua. Insya Allah, esok akan kuceritakan yang ini. Akan tetapi, dalam hal tulis-menulis, kayaknya aku juga masih jadi rujukan utama di Kota Pemalang. Aku tetap saja memikul tanggung jawab, untuk mengembangkan dakwah bil qolam. Khususnya di kota kecil ini.
Ah, sepertinya aku tak perlu galau lagi. Sudah saatnya untuk bersemangat. Menjadi diri yang baru. Menyongsong hari esok yang lebih cerah.
(he, ini nulis terasa sekenanya. Ngasih judulnya juga begitu)

Now!


“Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: ‘Bersegeralah kalian untuk beramal sebelum datangnya tujuh perkara. Apabkah kamu menantikan kemiskinan yang dapat melupakan, kekayaan yang dapat menimulkan kesombongan, sakit yang dapat mengendorkan, tua renta yang dapat melemahkan, mati yang dapat menyudahi segala-galanya, atau menunggu datangnya Dajjal, padahal ia adalah sejelek-jelek sesuatu yang ditunggu, atau menunggu datangnya hari kiamat, padahal kiamat adalah sesuatu yang amat berat dan amat menakutkan.’’” (HR. Tirmidzi)

Banyak orang ingin sukses, ingin kaya, ingin pintar dan sebagainya, tapi banyak pula yang tidak segera bertindak. Maka keinginan tetap menjadi keinginan, cinta-cita tak pernah tercapai, dan mimpi tak pernah menjadi kenyataan. Banyak orang benar-benar mengubur mimpi, tak pernah mencoba untuk meraihnya. Entah karena takut gagal, tak percaya diri, atau sekedar malas. Sebagian orang berusaha mengejar mimpi besarnya. Sayangnya selalu menunda-nunda, dengan berbagai alasan yang hampir sama dengan mereka yang tak bergerak. Akan menyalahkan siapa, bila sukses sudah di depan mata, tapi tak jadi dapat diraih karena segera tutup usia?
Boleh dibilang, menunda-nunda telah kebiasaan umum yang membudaya. Acara yang dijadwalkan pukul delapan pagi, baru dapat dimulai pukul setengah sepuluh, atau lebih siang lagi. Pekerjaan yang harusnya selesai minggu lalu, baru mulai dikerjakan hari ini. Tugas yang seharusnya dapat diselesaikan dalam sepekan, tak rampung dalam sebulan. Bila kau memperoleh undangan mengikuti acara tertentu, datanglah tepat waktu, niscaya kau akan lama menunggu. Bukan kepastian memang, tapi biasanya begitu.
Banyak lagi contohnya. Ketika ingin belajar; ah, nanti saja kalau mau ada ujian. Ketika ingin membuka usaha; ah nanti dulu, tunggu modal terkumpul. Ketika punya niat bersedekah; ah, tunggu sampai bisa menabung lebih banyak. Ketika hendak membantu orang lain; ah, tungguh sampai dia mengulurkan tangan. Ketika ingin beramal shalih; ah nanti saja kalau sudah mau mati. Ketika ingin menikah; ah nanti saja kalau sudah kempot! (Tentu, yang terakhir ini tak berlaku, kebanyakan juga pengen cepet-cepet. Bahkan banyak yang terpaksa putus sekolah lantaran terlanjur “kecelakaan”. MBA gitu loh)
Sungguh, sikap-sikap yang menyedihkan, tapi menjadi kebiasaan. Bahkan ketika ada seorang yang mencoba bersikap profesional, seringkali justru dianggap terlalu. Misalnya, dalam rapat sebuah organisasi, seorang sahabat, sebut saja Fadli dianggap punya pribadi yang sulit dipahami. “Susah,” kata salah seorang peserta rapat. Karena itu Fadli jarang diundang ikut rapat. Apa pasal? Sebabnya Fadli biasa datang tepat waktu. Bila setengah jam peserta rapat yang lain belum datang, maka Fadli memilih untuk meninggalkan tempat dan melakukan aktifitas lain. Nah, yang lain hanya berpikir; “Kok begitu-begitu amat?” Sebenarnya siapa yang terlalu?
Dalam kajian manapun, sikap menunda-nunda aktifitas kebaikan pastilah dianggap negatif. Sebaliknya, bersegera sangat dianjurkan. Tak perlu berpikir keras dan mencari-cari dalil, secara pasti kita dapat meyakininya. Pun bila ada yang menginginkan dalil dari al-Qur’an, hadits, maupun kisah-kisah orang shalih, kita akan sangat mudah mendapatinya.
Dalam surah Ali Imran Allah berfirman, yang artinya:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran: 133)
Dalam ayat yang surah yang lain Allah juga berfirman, yang artinya:
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS At-Taubah: 41)
Maka bila kita membaca riwayat, kita jumpai Rasulullah selalu bergegas dalam beramal shalih. Suatu ketika, Rasulullah baru selesai mengimami shalat ashar. Setelah salah, beliau cepat-cepat bangkit melangkahi barisan para sahabat menuju kamar salah seorang istrinya. Para sahabat terkejut karena melihat beliau tergesa-gesa. Setelah itu Rasulullah keluar. Beliau terkeheran-heran melihat para sahabat yang terkejut. Rasulullah kemudian bersabda; “Aku teringat sepotong emas dan aku tidak ingin terganggu karenanya. Maka aku menyuruh untuk membaginya.” Dalam riwayat lain disebutkan; “Aku meninggalkan sepotong emas yang harus kusedekahkan, tetapi tertinggal di rumah. Maka aku tidak ingin emas itu menginap di tempatku.” (HR. Bukhari)
Diriwayatkan Abu Hurairah ra. pada kesempatan lain beliau pernah bersabda: “Bersegeralah kalian untuk mengerjakan amal-amal shalih, karena akan terjadi bencana yang menyerupai malam yang gelap gulita, yaitu seorang pada waktu pagi dia beriman, tetapi pada waktu sore dia kafir. Atau pada waktu sore dia beriman, tetapi pada waktu paginya dia kafir. Dia rela menukar agamanya dengan sedikit keuntungan dunia.” (HR. Muslim)
Meneladani sikap Rasulullah ini, kita jumpai pula kisah-kisah yang luar biasa dari para sahabat dalam bersegera melakukan amal shalih. Pada waktu perang Uhud, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah; “Apakah engkau tahu dimanakah tempatku seandainya aku terbunuh?” Beliau menjawab; “Di dalam surga.” Sahabat tersebut kemudian melemparkan biji-biji korma yang ada di tangannya, lalu berperang hingga syahid.
Sahabat yang lain punya kisah tak kalah menarik. Hanzalah ketika itu sedang menikmati malam pengantinya. Akan tetapi memenuhi seruan jihad lebih disukainya. Karena itu ia meninggalkan istrinya, maju berperang dan syahid dalam keadaan junub.
Secara berjama’ah, kita dapati pula kisa-kisah yang mengagumpkan, ketika turun perintah berjilbab bagi wanita, para shahabiyah mencari apa saja untuk dipakai sebagai kerudung. Bahkan bila ada yang harus merobek sebagian bajunya untuk kerudung, hal itu dilakukan juga. Ketika arah kiblat bagi umat Islam diganti dari masjidil aqsa ke masjidil haram, para sahabat yang sedang shalat dan mendengar kabar tersebut langsung berbalik arah.
Begitupun dalam meninggalkan keburukan. Ketika turun ayat yang mengharamkan khamr, dipecahkanlah botol-botol dan tempat-tempat arak lainnya. Dari itu terbentuklah parit-parit yang mengalir arak. Para sahabat yang sedang meneguk arak, memuntahkan apa yang masih di mulutnya demi menjaga diri dari yang keharaman.
Dalam berbagai hal lainnya, hampir selalu sama. Ketika Rasulullah memerintahkan untuk mengerjakan ini atau meninggalkan itu, para sahabat selalu sigap untuk segera mengerjakannya. Nah, luar biasa bukan kesungguhan mereka dalam bersegera? Satu contoh lagi yang mengagumkan akan kau jumpai, segera setelah kita beralih pada tema berikut yang masih berkait erat dengan perbincangan kita kali ini.
Sekarang, mari kita tengok diri kita. Sejauh mana kita dalam bersegera mengerjakan amal shalih? Bila masih suka menunda-nunda, saatnya kita ubah kebiasaan kita. Bisa kita lihat kerugian akibat menunda-nuda. Kesempatan yang tidak kita ambil tempo hari, seringkali telah dibabat orang. Kesempatan kedua belum tentu datang lagi. Atau coba kita renungkan berbagai masalah yang seringkali menjadi runyam dan menumpuk, gara-gara tugas-tugas kita tak selesai tepat waktu.
Maka, alangkah tepat bila kita berpikir tentang sebuah kebaikan kemudian serta-merta bergerak dan bekerja untuk mewujudkannya. Mulai detik ini juga. Right Now!

Rebutan Kursi


Terjaga jam dua malam. Melamun, berpikir, resah sendiri. Maka aku harus bangun dan menulis. Teringat aku kejadian tadi siang...
Seperti biasa, semester kedua, anak kelas enam mulai ada tambahan jam pelajaran, khususnya untuk mata pelajaran – mata pelajaran yang diUNkan. Kebetulan aku mengajar Bahasa Indonesia, hari Jum’at ada tambahan. Ketika anak-anak kelas tiga sampai lima kegiatan pramuka, kelas enam belajar Bahasa Indonesia.
Untuk menghindari kejenuhan, anak-anak minta pindah kelas, tidak di ruang kelas enam. Aku mengiyakan saja. “Silahkan mencari kelas sendiri,” kataku. Mereka pun masuk ke ruang kelas satu. Di kelas ini, anak-anak biasanya separuh duduk di kursi, separuh duduk lesehan. Karena kelas enam jumlahnya hanya 18, mereka semua duduk lesehan. Dalam posisi lesehan ini, mereka belajar menggunakan meja-mejak pendek panjang, persis seperti meja untuk pembelajaran Qiro’ati.
Ketika aku masuk, ternyata sedang ada keributan. Anak-anak itu rebutan meja. Tarik menarik meja, semacam tarik tambang tapi dengan media meja belajar. Mereka tak mempedulikan aku, ustadznya yang telah masuk dan duduk lesehan dalam kelas. Terus saja saling berebut. Anak putra merebut meja anak putri, ditaruh. Giliran anak putri mengambil meja anak putra, ditaruh. Anak putra yang lain, maju, merebut meja anak putri, ditaruh. Lalu anak putri yang lain maju, merebut meja anak putri, ditaruh. Anak putra yang lain lagi maju, merebut meja. Anak putri yang telah merasa memilikinya tak rela, dia pertahankan, tarik-tarikan.
Cukup lama adegan itu berlangsung, sampai ada anak putri yang memukuli anak laki-laki karena tak rela mejanya diambil. Anak itu putri itu matanya berkaca dan terlihat sangat marah. Sebagian anak tertawa-tawa menyaksikan adegan itu. Akan tetapi sebagian besar terlibat emosi. Ya, emosi...
Maka ada yang harus aku sampaikan. Kejadian ini sepertinya tidak sepele. Kuurungkan niat untuk segera melanjutkan pembelajaran Bahasa Indonesia. Urusan UN itu memang penting. Akan tetapi yang satu ini jauh-jauh lebih penting. Sepinta lalu langsung terpikir olehku, kayak’ orang-orang berduit pada rebutan kursi DPR aja...
Iya, sebenarnya tak jauh berbeda, hanya dalam sekala yang lebih kecil dan sederhana. Intinya saling berebut kekuasaan, dengan segala cara. Anak-anakku tadi, secara tidak sadar telah mementingkan diri sendiri. Menganggap meja yang sebenarnya kepunyaan sekolah itu adalah haknya, miliknya. Lalu menganggap kepemilikan meja itu begitu penting. Hingga bila tak punya, dia harus merebut orang lain. Bagi yang punya dan hendak diambil orang lain, dia tak rela. Iya, mereka secara tak sadar telah beranggapan bahwa menguasai meja itu sangatlah penting, tak peduli mendhalimi orang lain.
Insya Allah tidak akan terjadi, akan tetapi aku berpikir, jika sifat ini dibiarkan dan dipertahankan, kelak dapat menjadi suatu yang sangat berbahaya. Sekarang mungkin hanya rebutan meja. Kelak bisa jadi rebutan harga warisan, rebutan jabatan, rebutan kekuasaan di pemerintahan. Maka sekali lagi, ada yang harus segera kusampaikan.
“Anak-anakku, kalian seperti anak usia tiga tahun dan empat tahun,” aku memulai. Memang, si Lavy sama Mayluf kalau sudah rebutan sesuatu ya begitu. Sulit dilerai, maunya menang sendiri. Yang lebih besar dan yang kecil sama saja. Yang putra dan yang putri tidak berbeda. Rebutan ya rebutan. Tak ada yang mau mengalah.
Kusampaikan bahwa apa yang telah mereka lakukan sama sekali bukan hal baik. Hanyalah sifat ingin menangnya sendiri. Ingin menguasai, serakah. Kusampaikan pula bahwa mereka sudah harus mulai berpikir apa yang terbaik buta orang lain, bukan hanya untuk dirinya sendiri. Mereka harus mulai berpikir apa yang dapat diberi untuk orang lain, bagaimana membuat orang lain bahagia, bagaimana membuat orang lain nyaman dan seterusnya.
Butuh waktu cukup lama untuk menyampaikan nasihatku. Tak masalah, sekali lagi ini jauh lebih penting dari urusan Ujian Nasional. Semoga saja apa yang kusampaikan ada yang membekas di hati mereka. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Ajak Mereka Bermimpi


Belajar dari pengalaman pribadi, ketika diri sudah termotivasi untuk maju, maka keinginan untuk belajar semakin menggelegar, bergelora dalam jiwa. Sewaktu SMP, semangatku bangkit setelah prestasiku terpuruk-puruk di akhir masa SD. Aku malu melihat dua kakakku yang terus berprestasi di sekolah masing-masing. Mereka selalu jadi juara dan mendapat beasiswa. Di SMK, prestasiku pun cukup terjaga. Menjadi juara kelas hal biasa. Beasiswa untuk siswa berprestasi pun telah kuraih. Untuk mempertahankan prestasi ini, aku pun belajar lebih keras dari teman-teman.
Menjelang kelulusan, semangatku semakin meraja. Aku ingin buktikan, bahwa anak asli kampung yang tinggal di pelosoknya pelosok seperti diriku, yang orang tuanya bisa dibilang tak mampu, bisa juga kuliah. Ya, waktu itu aku berpikir, bagaimanapun caranya aku harus bisa kuliah. Maka aku terus berusaha meningkatkan prestasi, hingga aku lulus dari SMK dengan nilai tertinggi satu jurusan. Kelak, Allah mewujudkan mimpiku dengan indah. Aku kuliah. Dengan mudah. Tidak bayar uang SPP. Tidak bayar uang SKS. GRATIS.
Kini, sebagai guru, saatnya belajar untuk membangkitkan semangat anak-anak didik. Bila mereka sudah termotivasi, insya Allah prestasi akan datang sendiri. Bagaimana caranya? Beri mereka harapan-harapan yang lebih tinggi, ajak mereka ikut BERMIMPI.
Bila mereka telah menemukan harapan-harapan yang membumbung, bila mereka telah merajut mimpi-mimpi yang tinggi, bila mereka telah yakin dengan mimpinya, maka semangat belajar itu akan tergugah. Yang semula malas menjadi semangat, yang sudah semangat semakin terlecut untuk meraih prestasi tertinggi.
Maka, sesekali, mari kita sediakan waktu untuk mengajak mereka bermimpi. Beri mereka dorongan agar berani memilih mimpi paling tinggi, paling indah. Ajak mereka menuliskannya. Agar tulisan itu mengafirmasi, semakin menggelorakan semangat mereka.
Satu cara insya Allah efektiv, beri mereka cerita-cerita inspiring. Ceritakan kepada mereka tentang orang-orang yang berani bermpimpi. Ceritakan kepada mereka orang-orang yang SUKSES. Ceritakan kepada mereka orang-orang yang gagal, lalu BANGKIT dan BERJAYA. Ceritakan kepada mereka orang-orang yang memiliki kekurangan, tapi tetap semangat, tapi tetap berjuang keras, tapi tetap BERPRESTASI. Lalu sekali lagi, ajak mereka bermimpi.
Alhamdulillah, di antara anak-anakku, beberapa telah bermimpi untuk menjadi penulis. Calon penerusku barangkali. Mereka bahkan masih Sekolah Dasar. Dulu, hingga kuliah, aku masih belum ngeh kalau di dunia ini ada profesi PENULIS. Kini anak-anak SD sudah bercinta-cinta menjadi penulis, mereka telah belajar menulis sebagaimana mana aku mulai belajar menulis jauh setelah lulus kuliah. Mereka telah meraih keasyikan membaca dan menulis. Salah satu anak didikku bahkan baru saja menjadi juara satu lomba menulis cerpen. Betapa dahsyat. Kelak mereka akan jauh lebih hebat dari diriku yang masih terus belajar ini. Mudah-mudahan, dari sini akan lahir penulis-penulis besar yang mengguncang dunia.
Mudah-mudahan juga, diriku cukup menginspirasi.
Tentu saja, jangan terlupa akan mimpi-mimpi akhirati. Seperti tinggal di surga paling tinggi, Firdaus. Diberi kesempatan untuk bertatap muka dengan Allah dan kekasih-kekasihNya.  

Beri Mereka Kesempatan Menghadapi Tantangan



Semula tema ini akan aku tulis sebagai lanjutan Serial Travelan. Akan tetapi karena travel-annya sudah cukup lama berlalu, maka aku ganti untuk serial Belajar Jadi Guru saja. Kebetulan menyangkut pendidikan anak juga.
Ceritanya, waktu kami di Magelang, di kampung halaman, tiap pagi kami biasa menengok tempat embah (embahnya Lavy dan Mayluf) menggelar dagangan. Kebetulan embah berjualan di pinggir kali, dekat jembatan. Suatu pagi, aku lihat dua anak sedang sigap membantu bapak dari salah seorang anak itu. Bukan pekerjaan ringan. Dua anak itu sedang memindahkan tumpukan pasir. Mereka dengan sigap mengambil pasir dengan sekop, lalu melemparnya ke tempat yang lebih jauh dari sungai. Berulang-ulang, hingga bersimpah peluh. Sekilas, cara kerja mereka sudah mirip sekali dengan apa yang dilakukan orang dewasa. Hanya tentu, soal kekuatan pasti kalah, mereka tak mampu melempar pasir dengan jarak yang jauh.
Apa yang unik? Bukankah di kampung-kampung tertinggal seperti Karanggeneng, tempat lahirku itu, sudah biasa bila ada pemuda-pemuda atau remaja-remaja yang membantu orang tuanya mencari pasir? Bahkan ada juga yang mencari pasir sendiri untuk dijual, tanpa campur orang tua. Kalau yang satu ini aku kira bukan hal biasa. Karena dua anak yang aku ceritakan tadi bukanlah remaja, apa lagi pemuda. Mereka benar-benar anak-anak. Kecil.
Kalau dilihat dari ukuran fisik, besar tubuh mereka sepertinya masih seukuran baju dengan Lavy yang saat ini umur lima tahun. Mungkin memang masih TK, sama seperti Lavy. Kalau tidak paling juga baru kelas satu SD. Akan tetapi dalam hal bekarja memindahkan pasir tadi, mereka benar-benar sudah luwes, seperti orang dewasa. Sigap dan cekatan. Kalau Lavy yang disuruh melakukan itu, cara pegang skopnya saja dia pasti bingung.
Satu lagi, salah satu di antaranya kemudian disuruh mengambil kelapa oleh bapaknya. Kebetulan di pinggir sungai, berseberangan dengan tempat memindahkan pasir terlihat ada buah kelapa. Pastilah buah kelapa yang jatuh, hanyut di sungai dan nyangkut di situ. Si anak itu pun kemudia meloncat-loncat di atas bebatuan. Ketika tak ada batu yang dekat untuk di tapaki, anak itu pun terun ke air yang cukup deras. Dia ambil kelapa itu, lalu kembali dengan cukup susah payah. Sampai-sampai di terpeleset dalam air, hingga hampir seluruh badannya kecuali kepala masuk ke air. Toh dia berhasil kembali dengan memegang buah kelapa.
Anak yang hebat. Kalau Lavy, takkan mungkin berani bila disuruh melakukan hal demikian. Jangankan menyebarang, menahan arus sungai, turun ke sungai itu juga pasti tak mau dan tak berani. Medannya tidak mudah untuk dilalui anak kecil. Jangankan Lavy, embah bilang; “Kalau Riyan, meski dipaksa seribu kali dan dikasih hadian gak bakalan mau turun ke sungai.”  Riyan itu sepupu Lavy yang sudah SD. Umurnya tiga tahunan lebih tua dari Lavy.
Nah, mengapa demikian? Padahal si Riyan juga tinggal di lingkungan yang sama. Tak jauh dari sungai itu. Sebabnya, Riyan memang tidak biasa melakukan hal-hal semacam itu. Tak pernah mencari pasir, tak pernah turun ke sungai. Di luar jam sekolah, Riyan lebih banyak bermain di rumah dan sekitar rumah. Nonton film, main leptop, main mobil-mobilan dan semacamnya. Bila ada kesulitan tertentu, ada bapak, emak dan mbah uti dan mbah akung  yang selalu siap membantu. Riyan tak pernah melakukan pekerjaan yang berat semacam mengambil buah kelapa di kali.
Satu lai cerita. Kali ini tentang Lavy yang belajar bersepada. Mulanya di sepeda Lavy dipasang dua roda bantu di belakang. Meski Lavy belum dapat menyeimbangkan diri, sepeda takkan roboh. Akan tetapi roda bantu tersebut tentu tak boleh dipasang terus-menerus. Bila demikian, Lavy takkan benar-benar mampu naik sepeda. Aku pun mencopot dua roda kecil itu.
Aku atau bundanya harus memagangi dan setengah berlari mengikuti Lavy. Miring ke kanan ke kiri. Hendak ambruk melulu. Tak apa. Lama-lama keseimbangan tercipta, aku tak harus memagangnya kuat-kuat. Sesekali aku dapat melepasnya. Lavy sudah dapat menjaga keseimbangan untuk berapa detik. Semakin dia berlatih, semakin lama Lavy dapat menjaga keseimbangan. Dan pada saatnya, kami harus melepasnya. Dia harus belajar mengayuh sepedanya tanpa dipegangi. Awalnya dia terjatuh dan terjatuh lagi. Dia pun sebal ketika berkali-kali kesusuhan untuk memulai. Baru saja digenjot, sepeda sudah oleng. Terkadang Lavy marah-marah sendiri dan hendak menangis. Akan tetapi aku terus berusaha menyemangatinya, sambil menunjukkan cara yang lebih mudah. Akhirnya, Lavy pun lancar mengayuh bersepeda, meski harus mengalami jatuh berkali, luka di sana sini. Kini dia sudah berani sendirian berkeliling perumahan menggunakan sepeda birunya.
Satu pelajaran dari dua kisah tadi, biarkan anak-anak kita menghadapi tantangan dan memecahkan persoalannya sendiri. Ketika mereka melakukan usaha-usaha tertentu tanpa bantuan orang tua, mereka akan belajar. Mereka akan punya kemampuan baru.
Kesalahan orang tua, kadang terlalu ingin melindungi dan tak rela melihat anaknya kesusahan. Main pisau dilarang, takut akan mengenai tubuhnya. Naik pohon dilarang agar tak jatuh. Hujan-hujanan tak pernah diperbolehkan, nanti sakit. Main di sungai haram hukumnya, nanti kena duri, kena pecahan kaca, jatuh, tenggelam... Ingin mainan tertentu terus dibelikan atau dibuatin, tak pernah didorong untuk membuat mainannya sendiri.
Nah, terlalu melindungi dan banyak memberi bantuan seringkali justru menghambat anak-anak kita untuk berkembang secara alami. Mereka tak punya kesempatan berkreasi, tak banyak kesempatan untuk belajar dari kesalahan sendiri. Mereka pun jarang mengalami bahagianya meraih keberhasilan setelah melewati berbagai tantangan dan kesulitan.
Oke, beri anak-anak kita kesempatan untuk menghadapi tantangan dan belajar. Terkadang mereka lebih memerlukan sekedar dorongan dan kepercayaan daripada bantuan dan berlindungan. Wallahu a’lam bi showab. Semoga bermanfaat. Silahkan bila bersedia membagi catatan ini pada yang lain.

MUDAH tapi SUSAH




Mudah tapi susah, bayak hal masuk kategori ini. Seperti kata cinta. Mengucapkan kata cinta tentu saja mudah, semudah mengucap kata-kata lainnya. But, dalam ruang-ruang keluarga, seringkali satu kata itu pun susah dikeluarkan. Seorang istri harus menangis-nangis menunggu kata cinta dari suaminya. Ya, tak jarang seorang suami sulit berkata cinta pada istri sendiri. Padahal jelas-jelas dia cinta. Tapi untuk  mengungkapkannya dengan kata-kata, ah susah. Ada saja yang membuat lidah menjadi kaku dan kelu.
Iya, Mudah tapi susah, banyak hal masuk kategori ini. Seperti juga senyuman terhadap saudara kita. Tersenyum itu mudah, semudah menarik dua bibir kita ke samping kanan dan kiri. Dan kita tahu, senyum tulus kita terhadap saudara sesama muslim akan mendatangkan pahala. Lagi pula banyak manfaatnya. Bagi diri, senyuman akan menghadirkan energi positif, suasana nyaman dan rasa optimis. Bagi orang lain, senyuman mendatangkan kenyamanan, keteduhan dan rasa persahabatan. Komunikasi pun dapat terjalin dengan baik, dihias senyuman. Tapi itu tadi, seringkali, yang mudah itu menjadi susah. Bibir jadi tak mudah tergerak ke samping, malah ke depan, manyun. Apa lagi bila sedang ada masalah, susah.
Mudah tapi susah. Memang, banyak hal masuk kategori ini. Seperti menahan diri untuk tidak mengungkap keburukan dan kekurangan orang lain. Mudah, semudah kita untuk diam, tidak bicara, tidak menggerakkan bibir dan lidah. Nyatanya hal ini seringkali menjadi susah. Betapa mulut manusia seringkali gatal bila belum membicarakan keburukan dan kekurangan orang lain. Mulut sulit ditahan untuk membuka dan menutup. Klimat demi kalimat pun membanjir, tentang aib orang lain. Bahkan bila keburukan dan kekurangan orang lain itu sebenarnya sifatnya masih dugaan. Diduga dia begini dan begitu, yang jelek-jelek. Manusia-manusai ini lupa bahwa mereka sedang berbuat keji. Iya, keji, sekeji memakan daging saudaranya sendiri yang sudah mati. Hiii..., ngeri.
Mudah tapi susah. Sekali lagi, memang banyak hal masuk kategori ini. Seperti menahan diri untuk tidak menulis setatus di FB atau ngetwit dengan tulisan-tulisan galau, atau tulisan-tulisan yang jelas tiada mendatangkan kebaikan. Jelas-jelas tidak jelas. Mudah, tinggal tidak usah menulis saja. Nyatanya jadi susah. Pikiran, perasaan dan tangan begitu mudah terdorong untuk menulis. Menulis yang tidak jelas. Asal. Malah tulisan galau. Tanpa sadar, bahwa kalau toh tidak mendatangkan dosa, setidaknya tulisan itu sia-sia. Tiada manfaatnya. Belum lagi bila ternyata, tulisan-tulisan itu menunjukkan bahwa diri kita kurang bersyukur atas nikmat Allah. Menunjukkan bahwa kita orang yang tidak jelas, tak punya visi dan mimpi yang menjulang. Atau setidaknya, menunjukkan bahwa kita sedang terlena, lupa.
Masih banyak lagi perkara-perkara yang sejatinya mudah tetapi menjadi susah. Barangkali karena tidak kokohnya jiwa, keruhnya hati. Hingga hal-hal yang semestinya sangat mudah menjadi sulit kita lakukan. Maka, mari terus-menerus benahi diri. Mudah-mudahan saja, dalam hal semacam itu kita dapat fokus pada kata ‘mudah’ dan menjauh dari kata ‘susah.’ Iya, tidak udah susah-susah, dibuat mudah saja.

Pendidikan Asexual


Pernah dengar Potamopyrgus Antipodarum?
Itu bukan nama planet, bukan nama bintang, bukan jenis manusia purba, juga bukan makanan, he. Potamopyrgus Antipodarum atau dikenal juga sebagai Potamopyrgus Jenkinsi, adalah satu jenis siput yang hidup di New Zaeland. Siput ini unik, karena dapat berkembang biak dengan dua cara. Yang pertama dengan cara hubungan suami istri. Eh, kayak manusia aja. Maksud saya dengan cara sexual. Dan yang kedua tanpa perlu pasangan atau asexual. Dengan cara kedua ini, si siput Potamopyrgus Antipodarum dapat mengkloning dirinya sendiri.
Kita tidak akan berpanjang-panjang membahas mengenai si siput yang unik itu. Biarlah itu menjadi kajian biologi saja. Karena kali ini kita akan perbincangkan tentang pendidikan asexual. Jangan salah dulu, kita juga tak akan berbincang tentang seks, kecuali seksnya si siput tadi. Bukan. Bukan ingin memperbincangkan tentang bagaimana kita dapat berkembangbiak tanpa pasangan, sebagaimana Maryam melahirkan Isa tanpa ayah. Itu mustahil kan?
Nah, kita akan berbincang tentang model pendidikan. Apa kaitannya dengan siput? Apa kaitannya dengan asexsual? Ada kok. Model pendidikan sebenarnya dapat dibagi menjadi dua; pendidikan asexsual dan pendidikan sexual. Ini analogi menurut Sabrang. Engkau kenal Sabrang? Ah, sepertinya tidak ya? Baiklah, kalau engkau penikmat musik, Sabrang itu lebih dikenal dengan si Noe. Vokalisnya Letto itu loh...
Lalu apa maksudnya pendidikan asexsual dan pendidikan sexual? Kita kembali dulu ke biologi. Dalam perkembangbiakan asexual, berarti sang ibu menurunkan Gen-nya seratus persen kepada anaknya. Jadi si anak merupakan fotokopian ibunya. Dia mewarisi segala sifat ibunya. Sedang dalam perkembangbiakan asexual, tentu anak akan mewarisi gen dari ibu dan bapaknya. Sifat-sifatnya tak akan persis sama dengan ibunya ataupun sama persis dengan bapaknya, melainkan campuran dari keduanya. Mungkin juga muncul sifat baru yang sama sekali berbeda.
Dengan demikian perkembangbiakan asexual dapat juga disebut model reproduksi. Sedang perkembangbiakan sexual dapat disebut model produksi. Hemm..., masih belum nyambung dengan pendidikan ya? Oke, pendidikan, esensinya adalah proses transfer informasi seperti dalam perkembangbiakan makhluk hidup yang mentransfer informasi genetika. Bedanya yang ditransfer adalah ilmu pengetahuan, bukan gen.
Masih menurut Sabrang, model reproduksi (asexual) bila digunakan dalam sistem pendidikan, sangat sesuai dengan bidang kajian ilmu-ilmu eksak seperti matematika, fisika atau kimia. Sebab ilmu-ilmu eksak sangat membutuhkan temuan-temuan terdahulu untuk mendukung kajian-kajian selanjutnya.
Sedang model produksi (sexual) akan cocok untu kajian-kajian sosial dan kemanusiaan, seperti sosiologi, ilmu politik, psikologi dan sebagainya. Sebab ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan membutuhkan penyesuaian-penyesuaian terus-menerus dengan perubahan lingkungan, gaya hidup dab sebagainya. Sangat mungkin teori-teori yang telah berkembang gugur oleh penemuan baru. Maka model sexual insya Allah ini mampu melahirkan cara berpikir kritis dan analitis.
Sayangnya, pendidikan di negeri ini sepertinya lebih fokus pada model pertama, model produksi atau sexual. Guru mentransfer penuh ilmunya kepada murid-muridnya. Guru kurang mendorong murid-muridnya untuk berpikir kritis dan analitis. Dalam ujian misalnya, murid diberikan soal-soal yang jawabannya pasti. Malam umumnya tinggal memilih salah satu di antara poin a, b, c atau d. Terkadang kata-kata yang digunakan pun persis seperti yang ada di buku.
Nah, model ini dapat menghasilkan orang-orang pintar yang mampu menjuarai olimpiade matematika atau science. Tapi sekali lagi, kurang mendukung cara berpikir kritis dan analitis. Padahal hal itu sama pentingnya dengan menjadi pintar.
Mungkin memang semenjak dulu kala, pendidikan di negeri ini lebih fokus pada model reproduksi (asexual). Terbukti dalam pendirian berbagai macam organisasi di Indonesia, dari organisasi massa sampai partai politik, kebanyakan mengopi Barat. Kali ini menurut bapaknya si Sabrang, alias Emha Ainun Nadjib. Menurutnya, bahkan pendirian negara ini juga mengopi Barat. KUHP-nya fotokopian, undang-undangnya fotokopian, peraturannya fotokopian, dan seterusnya. Semua mengopi dari Barat.
Maka, model pendidikan reproduksi (asexual) tentu harus diimbangi dengan model pendidikan produkse (sexsual).  Untuk model kedua ini, Emha mengkiyaskan dengan satu istilah dalam ilmu fiqih, yaitu ijtihad. Dalam Ensiklopedia Islam, istihad berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istimbat-kan) hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an dengan syarat-syarat tertentu.
Dalam ijtihad ini seorang ulama atau penuntut ilmu memerlukan pemikiran mendalam, pertimbangan yang adil dan matang serta referensi yang kaya, tak hanya memadai tapi juga harus kuat untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Jadi tak sekedar mengopi ilmu yang sudah ada.
Nah, bagaimana kita mengembangkan model pendidikan reproduksi, sexual atau ijtihad ini di lingkungan sekolah? Sekali lagi menjadi PR yang terus menerus mesti kita garap. Wallahu a’lam bi shawab. Semoga ada manfaatnya. Silahkan di-share bila engkau merasa artikel ini bermanfaat.
Disarikan dari Buku Spiritual Journey; Pemikiran dan Perenungan Emha Ainun Nadjib karya Prayogi R. Saputra.

Bukan Karena Fun Teaching



Engkau seorang guru? Bagaimana engkau mengajar di kelas? Apakah engkau yakin anak di kelas menyenangi cara mengajar yang engkau lakukan? Atau mungkin mereka sering merasa bosan, jenuh dan tak tertarik mengikuti pelajaran. Atau anak-anak itu justru seringkali ramai, mengobrol seenak mereka, lalu sebagian lagi melamun, sedang yang lainnya terkantuk-kantuk?
Bagaimana kira-kira pendapat mereka tentangmu? Guru teladan, guru menyenangkan, guru gaul, guru mbosenin, guru killer, atau guru gak jelas?
Iya, sebagai guru kita perlu menengok diri, apakah benar sudah menjadi guru yang patut diteladani dan menyenangkan bagi anak-anak didik kita. Atau justru mereka lebih banyak menangkap kesan negatif tentang kita. Bila menengok di sekolah-sekolah, di kelas-kelas, kita akan mendapati banyak guru yang mengajar sekedarnya saja, kalau tidak mau dibilang sekenanya. Monoton, membosankan bagi anak. Setiap masuk kelas begitu-begitu saja. Memberi salam, menjelaskan, memberikan soal, sudah. Dari hari ke hari tak ada hal baru. Materinya pelajarannya saja yang berganti-ganti sesuai silabus dan RPP yang dia copy, paste dan print. Tahun depan, ketika mengajar materi yang sama, dia mereka akan bawakan dengan gaya yang nyaris sama persis.
Tentu saja, kita tak boleh menjadi guru semacam itu. Bagaimana anak-anak didik kita akan kreatif, inovatif dan rajin belajar, bila gurunya saja tak pernah mengasah kreatifitas, tak pernah berinovasi dalam mengajar, juga jarang sekali belajar untuk mengembangkan diri. Malah hampir tak pernah belajar bagaimana menjadi guru yang lebih baik. Tak pernah belajar bagaimana menyajikan pengajaran yang menyenangkan dan efektif.
Tentu, sebagai guru kita wajib terus belajar untuk memperbaiki kualitas pembelajaran. Jangan sampai menjadi guru yang mengajar secara monoton dan membuat anak didik bosan dan tak bergairah belajar.
Telah banyak orang yang membahas Fun Teaching. Guru harus dapat memberikan pengajaran yang menyenangkan. Harus dapat membagkitkan gairah belajar, merangsang keterlibatan penuh anak didik, serta menciptakan pemahaman atas apa yang sedang dipelajari. Maka seorang guru benar-benar harus kreatif dan inovatif secara terus-menerus. Satu cara pengajaran yang menggairahkan anak didik pun, bila diterapkan terus-menerus, lama-lama dapat menjadi hal yang membosankan bagi mereka.
Nah, sudahkah engkau menjadi guru yang kreatif dan inovatif? Sudahkah engkau mengajar dengan menyenangkan?
Bukan hendak, melemahkan gairah untuk dapat menyajikan Fun Teaching. Akan tetapi, Fun Teaching – yang sebenarnya belum banyak diterakpan itu – sesungguhnya tak cukup. Iya, tak cukup seorang guru mengajar secara menyenangkan di kelas. Dengan Fun Teaching, anak-anak memang akan lebih bergairah, lebih fokus, lebih konsentrasi, lebih terlibat dan lebih terkendali. Akan tetapi itu sama sekali tak cukup. Tak cukup membuat anak didik semangat belajar karena melihat “acting” gurunya yang lucu dan menyenangkan.
Sungguh ada yang jauh lebih penting.  Yaitu bagaimana membuat anak-anak didik kita haus akan ilmu. Bagaimana membuat mereka benar-benar bergairah setiap waktu untuk menuntut ilmu. Tentu dengan niat yang benar. Niat beribadah, niat untuk menolong agama Allah dengan ilmunya. Jadi mereka belajar karena motivasi dari dalam diri, bukan karena motivasi dari luar seperti guru yang mengasyikkan.
Fun Teaching memang bagus. Akan tetapi sepertinya orang-orang besar tak terlahir karena Fun Teaching. Lagi pula istilah Fun Teaching sepertinya belum lama-lama amat menyebar di bumi ini. Banyak ulama besar yang ilmunya insya Allah barakah hingga kini, sama sekali tak mengenal istilah Fun Teaching. Abu Ayyub Al-Anshari misalnya, pergi dari Madinah ke Mesir menemui Uqbah bin Nafi untuk mendengar sebuah hadist. Di Mesir, setibanya di tempat Uqbah, kudanya tidaklah ditambat. Setelah mendapatkan hadist yang diburunya, Abu Ayyub langsung pulang ke Madinah. Jelas Abu Ayyub begitu bersemangat menempuh jarak yang jauh hanya untuk memperolah satu hadits bukan karena Fun Teching, bukan karena seorang guru yang menyenangkan ada di Mesir.
Seorang penuntut ilmu yang lain Ibnu Thahir Al-Muqaddasi pernah menuturkan pengalamannya seperti berikut ini;
“Saya dua kali mengeluarkan kencing darah dalam mencari hadits, sekali di Baghdad dan sekali di Mekkah. Waktu itu saya berjalan tanpa alas kaki di siang hari, sehingga hal itu terjadi. Saya tidak pernah mengendarai kendaraan dalam mencari hadits. Saya juga selalu memikul buku-buku saya di atas pundak dan tidak pernah meminta-minta kepada siapapun selama mencari hadits. Untuk menyambung hidup, saya hanya bergantung pada apa yang saya dapatkan!
Nah, jelas bukan karena Fun Teaching bukan?
Demikian Imam Bukhari, melawat selama 16 tahun untuk memperoleh hadits. Dari Basrah beliau menuju Makkah, Madinah, Kufah, Bagdad dan seterusnya. Beliau menemuwi para perawi – kabarnya beliau bertemu dengan sekitar 80.000 perawi – berguru pada 1.080 ahli hadits, mengumpulkan  sekitar 600.000 hadits dan kemudian menyeleksinya. Beliau menyeleksi hadits dengan sangat teliti dan ketat, sehingga ketika ada perawi yang diragukan, maka ditinggalkan hadits yang diriwayatkannya. Bahkan untuk mengecek kekurangan sebuah hadits, beliau bisa berkali-kali melawat lagi untuk menemui para ulama dan perawi hadits, seperti yang beliau lakukan ke Bagdad dan Kufah. Maka al-Jami’ Ash-Shahih atau yang lebih dikenal dengan Shahih Bukhari menjadi kitab rujukan utama tentang hadits hingga kini.
Nah, sekali lagi, jelas bukan karena Fun Teaching kan?
Sekarang, kita punya PR besar, bagaimana membuat anak-anak didik kita butuh dan haus akan ilmu. Hingga apapun kesulitan dalam menuntut ilmu, dia mereka akan terus berburu. Tak harus dibersamai oleh seorang guru yang mengajar secara menyenangkan. Wallahu a’lam bishawab. Semoga bermanfaat.
abcs