Bermimpilah!


“Jika kalian memohon kepada Allah, mohonlah kepada-Nya Jannatul Firdaus yang paling tinggi, karena sesungguhnya di sanalah intinya Surga.”(HR Thabrani)

Amirul Mukminin Umar bin Khattab pada suatu ketika meminta para sahabat untuk mengungapkan cinta-cita mereka. “Bercita-citalah kalian!” Seorang sahabat kemudian menyahut: “Aku ingin sekali seluruh bangunan ini terisi emas yang aku infakkan di jalan Allah. Umar berkata lagi: “Bercita-citalah kalian!” Seseorang mengatakan: Aku ingin ruangan ini penuh dengan permata dan mutiara yang bisa aku infakkan di jalan Allah.” Umar berkata: “Bercita-citalah lagi.” Mereka mengatakan: “Kami tidak tahu lagi apa yang bisa kami cita-citakan selain itu ya Amirul Mukmini. Umar lalu berkata: “Aku bercita-cita kalau ruangan ini penuh didatangi orang-orang besar antara lain seperti Abu Ubaidah, sehinga aku bisa berjihad di jalan Allah bersama mereka.”
Orang besar selalu punya mimpi besar. Iya, karena sebagaimana pepatah Arab, kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin. Haqaiq al yaum, umniyyat al ams. Orang-orang besar telah membuktikan ungkapan ini.
Engkau kenal Muhammad al-Fatih? Dialah penakluk Konstantinopel yang menjadi salah satu bukti kebenaran Rasulullah itu. Tidaklah mudah menaklukkan kota Konstantinopel. Pada masa Khalifah pertama Bani Umayyah, kota ini pernah coba ditaklukkan, tetapi gagal. Bayazid Yildrim, penakluk negeri Eropa juga hampir menguasai Konstantinopel. Namun gagal karena kekalahannya oleh Taimerlance (Timur Leng), seorang penakluk lain. Ya, tidak mudah menaklukkan Konstantinopel, karena waktu itu dijaga pasukan gabungan dari Eropa Timur dan Selatan.
Tentu bukan sembarang orang dapat menaklukkan kota bersejarah itu. Muhammad al-Fatih benar-benar orang yang tangguh. Asal engkau tahu saja, Muhammad al-Fatih telah memiliki cita-cita untuk menaklukkan kota itu sedari masih kecil. Ia telah terdidik oleh orang tuanya dalam berjuang. Muhammad al-Fatih kecil sering terilibat dalam pertempuran, sehingga ia tahu bagaimana perang itu sejatinya. Gurunya, Syamsuddin, pernah mengajaknya berjalan-jalan di tepi pantai dan menunjukkan benteng Konstantinopel. “Itulah benteng konstantinopel yang pernah diberitakan Rasulullah akan ditaklukkan oleh salah seorang umatnya bersama pasukan kaum muslimin, sampai akhirnya penduduknya memeluk agama tauhid.” Sejak itulah Muhammad al-Fatih bertekad untuk menaklukkan Konstantinopel. Kita tahu, mimpinya kemudian menjadi nyata. Konstantinopel telah takluk oleh Muhammad al-Fatih dan pasukannya.
Satu riwayat lagi. Suatu kali Abdullah bin Umar, Urwah bin Zubair, Mush’ab bin Zubair, Abdul Malik bin Marwan yang merupakan generasi Tabi’in sedang duduk-duduk di pelataran Ka’bah. Mush’ab mengangkat pembicaraan dengan mengatakan: “Bercita-citalah kalian.”
Para sahabat masih enggan menyampaikan cita-cita mereka, hingga Mush’ab diminta untuk menyampaikan cita-citanya pertama kali. “Mulailah dari dirimu.” Ujar mereka. Mush’ab pun menjawab: “Aku ingin kaum Muslimin dapat menaklukkan wilayah Irak, aku ingin menikahi Sakinan puteri perempuan Husein dan Aisyah binti Thalhah bin Ubaidillah.” Beberapa tahun ke depan, Mush’ab berhasil meraih apa yang dicita-citakannya.
Urwah bin Zubair lalu mengungapkan keinginannya. Ia berkata bahwa dirinya ingin menguasai ilmu fiqh dan hadits. Urwah kemudian dikenal menjadi salah satu tokoh ulama fiqh dan banyak meriwayakan hadits.
Abdullah Malik bin Marwan tak mau ketinggalan. Ia mengatakan bahwa ingin menjadi khalifah. Kelak ia dilantik menjadi khalifah pada masa Daulah Umawiyah. Ia bukan hanya khalifah yang memiliki ilmu luas dan banyak beribadah, tapi juga tokoh yang berhasil menyatukan kembali wilayah kekhalifahan sepeninggal dua putera Zubair bin Awan. Ia juga menjadi perintis system post, menerjemahkan banyak kitab dan membuat uang logam dari emas.
Nah yang terakhir, Abdullah bin Umar juga menegaskan cita-citanya. Ia ingin masuk Surga.
Bermimpilah, karena orang yang kehilangan mimpi akan hilang semangat, lalu tiada lagi prestasi. Kau pernah baca novel “Sang Pemimpi” dari tetralogi “Laskar Pelangi”nya Andrea Hirata? Ketika mimpi untuk terbang meneruskan pendidikannya di Paris melemah, prestasi Ikal terpuruk. Ikal, satu dari tokoh utama dalam novel itu terpaksan menempatkan ayahnya pada bangku nomor 75. Padahal sebelunya duduk di bangku nomor 3. Bangku-bangku tersebut telah diberi nomor urut sesuai rengking anaknya di sekolah. Namun cinta pada sang ayah telah mengembalikan mimpinya, hingga Ikal dapat menempuh pascasarjana di Univesité de Paris, Sorbonne, Prancis.
Nah, bila engkau juga ingin menjadi orang besar, maka bermimpilah. Hanya orang yang punya mimpi layak menyandang gelar kebesaran. Lagipulah Rasulullah telah memberi perintah: “Jika kalian memohon kepada Allah, mohonlah kepada-Nya Jannatul Firdaus yang paling tinggi, karena sesungguhnya di sanalah intinya Surga.”
Mengapa kita perlu mimpi? Banyak yang menjadi alasan. Dia antaranya mimpi akan mengembalikan semangat ketika kita menjadi lemah dan larut dalam perbuatan sia-sia. Bila punya mimpi jadi ulama besar, mana boleh tidak belajar. Bila mimpi jadi pengusaha sukses, mana boleh menganggur. Bila punya mimpi masuk Surga Firdaus, mana bisa malas beribadah dan suka berbuat dosa.
Selanjutnya mimpi akan mengarahkan hidup kita. Bila bercita menjadi dokter, maka engkau akan kuliah pada fakultas kedokteran. Salah jurusan bila kau kuliah di fakultas ekonomi. Sebaliknya, bila kau ingin jadi akuntan, tak mungkin kau kuliah di fakultas kedokteran.
Mimpi juga akan memaksa diri kita agar tidak terjebak pada rutinitas dan kemapanan. Jadi pegawai tetap pada salah satu Bank Nasional tentu memperoleh gaji yang lumayan. Orang kebanyakan akan menganggap pekerjaannya itu cukup prestisius. Akan tetapi bila punya mimpi menjadi pengusaha sukses di bidang penerbitan, maka orang itu takkan selamanya kerja di bank. Ia akan mengundurkan diri, lalu merintis bisnisnya dari awal. Itu bila ia punya keberanian untuk mengejar mimpi.
Maka, insya Allah dengan bermimpi kita akan meraih yang terbaik dalam hidup ini. Kita tak berhenti ketika mencapai posisi tertentu. Setiap satu mimpi menjadi realita, kita masih memiliki mimpi yang lebih membumbung. Maka kita harus terus berjuang, agar semua mpimpi menjadi nyata. Kalau pun ada yang belum terwujud ketika nyawa telah meninggalkan pergi dari jasad, tak ada ruginya punya mimpi. Minimal, mimpi yang kita bangun telah memotivasi kita untuk bekerja dan melakukan yang terbaik.

Rekening Emosi


Iman, semangat, kesabaran, dan segala sifat positif yang kita miliki tak bisa selalu berada dalam kondisi paling prima. Ada kalanya naik, sesekali turun pula. Maka sesabar-sabar kita menjalani aktifitas sebagai guru, ada kalanya dibuat jengkel pula oleh ulah anak didik. Bila kondisi hati sedang menurun, sementara polah anak mulai tak bisa ditolerir, terkadang otak secara otomatis memerintahkan mulut untuk berteriak, marah.
Dalam kondisi seperti itu, hanya guru yang kuatlah akan tetap mampu memberikan teladan yang baik. Kuat, bukan dari segi fisik, otot yang tebal dan mampu mengangkat beban berat, melainkan seperti disampaikan Rasulullah. Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang memiliki jiwanya ketika marah.” (HR. Bukhari)
Nah, kita harus terus belajar agar menjadi guru yang kuat, guru yang tetap memiliki jiwanya ketika marah, terkendali ketika emosi meluap. Dengan begitu, ketika marah pun kita tetap mampu mengisyaratkan cinta, menunjukkan kasih sayang. Tidak meledak-ledak dengan semburan kata-kata pedas.
Lebih dari itu, satu hal menarik saya temui di buku The Relationship Cure oleh John M. Gottman, Ph.D dan asistennya, Hoan De Claire. Mereka menuturkan tentang 'rekening emosi'. Simpelnya begini. Bila kita telah menabung emosi-emosi positif pada jiwa sesorang, hal ini akan sangat membantu terjaganya hubungan ketika terjadi konflik.
Misalnya dua orang kawan yang biasa saling bercanda, tertawa bersama-sama. Ketika mereka berkonflik, barangkali di antaranya kan berpikir; "Saat ini aku memang jengkel sekali terhadapnya, tapi toh dia teman yang selalu membuatku tertawa. Kurasa aku harus berusaha mengerti dirinya."
Hal ini tentu berlaku juga untuk hubungan guru dan anak didik. Maka, kita harus memperbanyak tabungan emosi positif pada rekening perasaan di jiwa anak. Kemauan untuk bercanda, memberi sentuhan fisik juga sentuhan-sentuhan qalbu terhadap anak didik, insya Allah dapat mengurangi dampak buruk ketika suatu saat kita terpaksa marah. Justru bila terbiasa sabar, bisa bercanda dan berdekat-dekat dengan anak, marah kita akan lebih bertenaga, insya Allah. Kadang tak perlu teriakan, sorot mata yang berbeda dari biasanya sudah cukup untuk menunjukkan kemarahan.
Teringat aku ketika masih menjabat kepengurusan di Jama'ah Fatahillah, Lembaga Dakwah Kampus di STIS Yogyakarta. Di sebuah rapat aku pernah marah. Sehabis itu sedikit gempar dalam lingkup sahabat-sahabat dekatku. Beberapa sahabat yang kebetulan tak hadir pada rapat itu justru penasaran. Pengen melihat Rahman marah, kata mereka. Ah, ada-ada saja. Intinya, ketika tak biasa terlihat marah, dapat menjadi perhatian tersendiri ketika hal itu ternyata terjadi.
Kembali ke rekening emosi. Mari kita ciptakan kedekatan dengan anak didik. Kita usahakan sebanyak-banyak pencitraan positif terhadap mereka. Kita perbanyak tabungan emosi positif pada rekening perasaan di jiwa anak. Dengan demikian, nasihat yang kita berikan tak menjadi beban untuk didengar, juga dilaksanakan. Larangan yang kita berikan pun lebih mudah untuk dituruti. Juga tadi, ketika suatu saat kita berkonflik dengan anak tertentu, akibat negatifnya dapat diminimalisir.
Insya Allah anak akan mengerti, bahwa ketika kita marah misalnya, bukan berarti kita membencinya, akan tetapi justru merupakan ungkapan sayang. Ungkapan sayang yang diberikan tidak seperti biasanya.

Kata


Kominikasi. Selalu saja komunikasi. Kupikir, aku telah banyak belajar. Nyatanya belum. Sedikit sekali yang aku mengerti.
Kata
Kata
Kata-kata
Betapa mudah kata-kata membuat luka. Bahkan kata-kata tanpa suara. Pun nyaring terdengar, menusuk-nusuk jantung. Lebih tajam dari belati yang baru diasah.
Kata-kata, seorang novelis atau puitikus akan mampu menyusunnya dengan indah, menyentuh hati. Akan tetapi dalam dunia nyata, menyusun kata-kata ternyata tak mudah.
Kata-kata, terkedang menggaung, terkadang menggema. Sekali salah berkata-kata, gaungnya memekakkan telinga. Gemanya kembali, menghujam si pemilik kata.

Hem, aku jadi sulit berkata-kata, seperti lagu yang begitu saja tercipta

Aku tak bisa bicara
Aku tak sanggup berkata
Kar’na kata-kataku ‘kan buatmu luka

Tuhan, beri kami cinta
Cinta yang sembuhkan luka
Kar’na aku hanya si pembawa luka
Kar’na aku hanya sang pembawa luka

Maafkanku cinta
‘ku hanya manusia
Bisa juga terluka
Meski ‘ku yang berdosa
Aku tak kuasa

abcs