Bukan Lagi Pesaing





Masih tentang Malioboro, apa sih menariknya?

Bila mendapat pertanyaan itu, jawaban orang pasti berbeda-beda. Tergantung, dari sudut mana mereka memandang. Kalau menurutmu, apanya yang menarik?

Pertanyaan semacam itu tiba-tiba menggelitik hatiku. Sebenarnya, kenapa Malioboro menjadi sedemikian populer dan menarik untuk dikunjungi? Aku sendiri, kali ini bersama istri dan dua anakku sengaja menginap di dekat Malioboro, guna menikmati suasananya, terutama di malam hari. Sebenarnya aku masih punya beberapa sahabat di Jogja. Demikian pula istri. Kalau mau, kita bisa singgah di salah satu rumah mereka. Tinggal kontak-kontak saja. Mungkin malah akan dijemput. Malah aku juga punya paman yang tinggal di kawasan Pathuk yang terkenal dengan bakpianya itu. Akan tetapi, tujuan kami kali ini memang Malioboro. Jadi kami putuskan untuk menginap dekat situ, seperti turis beneran.

Iya, seperti namanya yang dalam Bahasa Sansekerta berarti karangan bunga, Malioboro memang memiliki daya tarik yang kuat.

Nah, ada apa saja di Malioboro? Ada beberapa mall. Tentu saja di banyak tempat, ada juga banyak Mall. Ada penjual pernak-pernik – dari gelang-gelangan hingga miniatur sepeda Onta – dan pakaian di depan mall-mall dan toko-toko di sepanjang jalan Malioboro. Tentu, penjual serupa juga banyak, tak hanya di Malioboro. Ada pasar Beringharjo yang luas dengan aneka barang dagangan yang komplit. Tentu saja, pasar yang luas dan komplit juga tak hanya pasar Beringharjo yang terletak di samping jalan Malioboro itu. Ada berbagai kuliner lesehan, seperti gudeg. Tentu saja, di banyak tempat, wisata kuliner juga banyak.

Maka, bagiku Malioboro menarik secara keseluruhan. Tidak untuk dipisah-pisahkan. Termasuk lokasinya yang setrategis. Di sebelah utara terdapat stasiun Tugu. Di Selatan ada Kraton. Masih di dekat Malioboro, ada pusat-pusat jajanan, Bakpia Pathuk. Ada pasar buku Shoping. Ada Taman Pintar. Ada Hotel Melia Purosani yang Menjulang. Aku rasa, semua itu saling mendukung, hingga Malioboro dan sekitarnya menjadi kawasan wisata yang semakin populer.

Ada satu hal yang kali ini ingin aku perbincangan. Ada kaitanya dengan dunia bisnis, marketing. Di Malioboro ada beberapa Mall besar, seperti Malioboro Mall, Ramai, Ramayana dan beberapa lainnya. Apa saja yang ada di Mall? Ah, tak perlu aku rinci, kita semua sudah mafhum. Intinya apa yang ada di Mall ya seperti itu, mirip-mirip. Akan tetapi tak satu pun Mall yang ada di Malioboro sepi pengunjung.

Di bahu jalan Malioboro, terdapat banyak sekali penjual cinderamata, seperti telah kusinggung. Ada penjual gelang rotan dan sejenisnya, bandul kunci, kerajinan  perak, wayang kulit, blangkon, miniatur kendaraan, pakain batik, kaos  dan sebagainya. Tentu saja, banyak pedagang yang menjual barang yang sama dengan pedagan lainnya. Mereka menjual di tempat yang berdekatan, masih di sepanjang jalan Malioboro itu. Akan tetapi, banyaknya ‘pesaing’ tak membuat mereka kekurangan pembeli. Buktinya mereka masih bertahan berjualan di situ. Dan memang, di sepanjang jalan Malioboro itu selalu saja ramai. Kita harus berdesak-desakan jika lewat di antara para penjual cinderamata itu.

Demikian pula di Pasar Beringharjo, banyak sekali pedagang menggelar dagangan yang sama. Ketika memasuki pasar tersebut dari pintu Malioboro, maka kita akan bertemu ratusan kios yang menjual pakaian. Ramai, semua mendapat pengunjung dan pembeli masing-masing. Banyaknya ‘pesaing’ lagi-lagi bukan berarti mengurangi jumlah customer.

Demikian pula, ketika esok paginya, untuk pertama kali kami mencoba sarapan di kawasan wisata kuliner Gudeg Wijilan, di sebelah timur Kraton. Berderet warung makan. Yang dijual sama, gudeg. Akan tetapi lagi-lagi, semua memperoleh pengunjung masing-masing. Tak ‘kesepian,’ tak gulung tikar.  

Nah, ketika kawasan tertentu telah menjadi komplek, tempat yang terkenal menjadi pusat tertentu, entah pusat jajanan, pusat mainan, pusat kerajinan, pusat meuble, atau pusat apa saja, kawasan itu seringkali menjadi lebih terkenal. Menjadi alternatif utama ketika seseorang hendak mencari sesuatu yang dapat diperoleh di kawasan tersebut. Maka pedangang yang menjual barang dagangan yang sama atau serupa bukan lagi menjadi pesaing. Akan tetapi mereka bersama-sama menarik pengunjung dan pelanggan yang lebih banyak.

Teringat aku ketika dulu, jaman kuliah, aku kerja di sebuah rental komputer dan fotokopian. Pak Hamid, pemilik rental komputer itu sengaja memilih tempat di samping rental komputer yang sudah ada. Prinsipnya itu, mengundang pelanggan yang lebih banyak. Pelanggan mungkin akan berpikir; “Di situ ada dua rental komputer, kalau satunya tutup bisa langsung ke sebelahnya.”

Nah, ini dulu. Semoga ada manfaatnya. Sampai jumpa kawan.

Membawa Suasana Prancis Ke Malioboro



Jalan-jalan di Malioboro, baik malam maupun siang, sebenarnya sudah cukup sering kulakukan. Terutama dulu, waktu masih kuliah dan bekerja di Jogja. Akan tetapi, baru kali ini kami sengaja menginap dekat Malioboro, untuk menikmati suasana malam di sana.
Alhamdulillah, rencana ke Bonbin Jurug terlaksana. Yang kami batalkan adalah wisata kuliner malam di Solo dan menengok Candi Prambanan. Usai berkeliling di Jurug kami langsung menuju Jogja. Satu bust elf, satu bus besar antar kota, satu bus trans dan satu becak kami naiki. Tentu dengan berbagai kesulitan dan kenikmatannya. Sampailah kami di sebuah Hotel di sebelah Kali Code – kabarnya Kali Code jadi tempat wisata pula, tak tahu sebelah mana. Tentu saja, hotel bertarif murah, dengan fasilitas parah. Sengaja, biar irit. Yang penting bisa buat istirahat.
 Anehnya, si penjaga hotel, melihat kami membawa dua krucil, langsung bilang. “Wah, kalau di sini tidak ada Tvnya. Nanti anaknya pasti minta TV. Mending di Hotel sebelah saja, ada TVnya.” Bukannya berusaha dengan segala cara agar mau nginep di situ, malah ditawari hotel sebelah. 
Kami lihat juga hotel sebelah itu. Lumayan, cukup luas, double bed, kamar mandi dalam, TV. Tapi pada akhirnya kami kembali ke Hotel yang tadi, yang tak ada TVnya. Lha di rumah juga gak ada TV kok. Sudah biasa. Malah, sejak dulu memang kami coba berkomitmen untuk tak memelihara TV. Kabarnya,mudharat TV jauh lebih banyak dari manfaatnya. “TV itu justru akan bermanfaat jika dimatikan,” kata ustadz Fauzil Adhim.
 Usai bersih diri dan shalat, kami keluar hotel, jalan kaki menuju Malioboro. Si Lavy berkali-kali minta balek lagi ke hotel. Bukan masalah kelelahan jalan kaki. Tapi karena mainan mobil-mobilan yang baru dibeli dijurug ditinggal di hotel. Baru sempat mainkan itu sebentar, masih pengen mainan. Kami bujuk, mau juga dia jalan. Dalam kondisi lelah, dari Code ke Malioboro terasa lebih jauh. Tak apa. Tadinya sebenarnya pengen nginem di sekitar jalan Malioboro. Malah di FB ada seorang kawan yang telah memberi alternatif wisma murah meriah di samping Malioboro Mall. Tapi karena si becak terlanjur mengantar kami ke dekat Kali Code, ya sudah, nginep di situ saja.
 Sampai juga kami di Malioboro. Masih seperti dulu. Malah sepertinya tak ada yang berubah. Tetap saja rame..., he. Ya iyalah...
 Tapi ada satu yang sepertinya baru. Di jalan becak, pinggir jalan utama Malioboro ada sekelompok pemuda. Seniman, musisi. Mereka  tampil di situ menggunnakan berbagai alat musik, termasuk angklung. Enak di dengar juga. Kami terus berjalan ke selatan sambil melihat-lihat dan mendengarkan musik jalan itu.  Tak jauh dari situ, ternyata ada sekelompok seniman lainnya. Mirip dengan yang tadi. Hanya, di depan para pemain musik itu, terdapat beberapa pemuda yang menari-nari seiring gamelan. Salah satunya bersolek dan mengenakan pakaian yang rada aneh.
 Aku tak tahu, mereka itu mengamen atau sekedar pengen tampil di jalanan. Pengen dilihat banyak orang. Atau mereka pengen membawa suasana Prancis ke Malioboro. Kabarnya di negeri tempat berdirinya Eifel itu masyarakatnya sangat menghargai seni, hingga beragam seni tampil bebas di jalanan. Seni-sening yang mencengangkan. Apa saja.
 Yang jelas, kuanggap mereka itu seniman, tak sekedar pengamen, bila toh mereka mengamen. Apa bedanya? Ini definisiku sendiri. Kalau pengamen, ya orang atau sekelompok orang yang bernyanyanyi dan memainkan musik sekenanya, lalu meminta-minta dari orang-orang yang melihat dan mendengarnya.
 Sedangkan seniman, meskipun mereka mengamen, fokus mereka adalah seni itu sendiri. Jadi mereka serius terhadap seni yang digelutinya. Mereka belajar dan terus meningkatkan kualitas. Jadi ketika tampil di mana pun, mereka tak sekedar mengamen, tapi menggelar seni. Tentu saja lebih enak dinikmati.
 Aku dan istri jadi ingat pengamen setengah seniman yang sering mangkal di Terminal Jombor. Biasanya dua orang, satu peang gitar, satunya biola. Biasanya menyanyikan lagunya Ebit G Ade. Kebetulan aku dan istri juga suka Ebit. Musiknya enak, tak sekedar genjreng-genjreng sekenanya. Benar-benar musik yang hidup. Mendendangkan lagunya juga bagus. Mereka berdua bernyanyi, suara satu suara dua, tak sekedar teriak-teriak bersama. Entah, dua pengamen setengah seniman itu masih ada apat tidak. 
Nah, ke selatan sedikit kami ketemu penjual gudeng. Mampir lah kami di situ. Makan gudeg Jogja sambil menikmati Malioboro dan Kesenian Jalanan yang baru kami lihat kali ini. Oke, ini dulu, sampai jumpa di serial travel-an berikutnya.

Antara Bonbin Jurug dengan Mangkang



Pernah suatu ketika, di masa mudaku, he, aku dah dan sahabatku, Ayi syafaat, nyasar ke Kopeng. Padahal kita mau ke Taman Kyai Langgeng. Puluhan kilo meter kami tempuhi, naik gunung, tinggi. Sampai di Kopeng, tempat wisata yang dituju, kami kecele, lha koq... “Begini doang?!” “Wah, hasil yang diperoleh tak sedahsyat perjuangan.” Begitu kira-kira pikiran kami.
Nah, tempo hari, ketika tiba di Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ), pikiran itu sempat pula singgah di benak. Ketika mulai memasuki Taman itu.. “Lha koq?”
Kesan pertama, sepi. Kesan kedua, semrawut. Ketiga, gak terawat ini bonbin. Keempat, mana hewannya?
Oke, mulai dari kesan keempat dulu. Beberapa saat setelah masuk TSTJ, kami melihat ada tiga ekor gaja, terikat kaki depan dan belakangnya. Masak diikat depan belakang begitu, mau balik kanan saja susah, pikirku. Apa tujuannya diikat begitu? Kemudian terlihat ada beberapa kurungan burung. Tapi setelah itu.., mana hewan-hewannya? Gak ada lagi?
Rupanya, hewan-hawan lain terletak jauh dari pintu masuk. Kami harus menyusuri jalan mengitari danau yang cukup luas, baru dapat melihat koleksi hewan yang lebih banyak. Tentang koleksi hewan di Bonbin Jurug ini, sesungguhnya tak sedikit-sedikit amat. Standar lah untuk ukuran bonbin kecil. Ada harimau, singa, buaya, berbagai macam kera, orang utan dan sejenisnya, beruang, onta, rusa, kudanil dan sebagainya. Tak jauh berbeda jika dibanding koleksi kebon binatang Mangkang, Semarang. Tentu tak adil jika harus kubandingkan dengan Gimbira Loka di Jogja atau Cisarua Bogor.
Itu tentang koleksi. Akan tetapi soal fasilitas dan pelayanan terhadap pengunjung, TSTJ jelas kalah jauh dengan pelayanan di Bonbin Mangkang. Kebetulan aku, istri dan anak-anak sempat pula berkunjung ke sana. Setelah masuk Bonbin Mangkang, melalui jalur masuk, kita langsung disuguhi dengan fasilitas naik gajah. Siapapun boleh naik gajah dengan membayar uang tertentu. Setelah itu, melalui jalur masuk ini, sepanjang jalan macam-macam hewan langsung dapat kita lihat; gajah, berbagai macam burung, rusa dan seterusnya. Kita tak harus berjalan jauh sekali terlebih dahulu seperti di Jurug untuk melihat koleksi hewan.
Di Mangkang juga terdapat danau yang luas. Terdapat fasilitas kapal genjot yang dapat disewa pengunjug untuk berputar-putar di danau tersebut. Di Jurug sebenarnya juga ada kapal, akan tetapi tak beroperasi lagi. Kapal itu teronggok, tempat pembelian karcisnya pun tak ditunggui lagi. Di Mangkang, untuk mengelilingi danau dan wilayah kebun binatang, terdapat pula kereta kuda dan mobil kereta yang dapat dinaiki. Sedang di Jurug, kita harus berjalan kaki secara total untuk menuju setiap sisi kebon binatang. Di dekat pintu masuk sebenarnya terlihat mobil odong-odong. Akan tetapi nasib mobil itu sepertinya lebih parah dari nasib si kapal. Tak hanya teronggok, tapi juga telah terliihat hancur. Roda-rodanya sebagian kempes, sebagian lagi entah ke mana. Badannya terlihat berkarat dan berantakan. Sudah jelas tak dapat dijalankan lagi. Repotnya lagi, di TSTJ ini jalan tak terdapat jalur exit. Jalan masuk dan jalan keluar sama saja. Jadi setelah melihat koleksi binatang, kita kembali harus berjalan mengitari danau yang luas tadi. Untuk anak kecil tentu melelahkan, bisa jadi harus minta digendong orang tuanya.
Selain itu, di Mangkang pengunjung yang merasa tertantang juga dapat menikmati meluncur di atas danau, Flying Fox. Kemudian dibangun pula waterboom untuk arena bermain. Terutama keluarga yang mengajak anak-anak berkunjung ke bonbin Mangkang dapat sekaligus berenang dan bermain air setelah puas melihat hewan dan menikmati fasilitas lain di bonbin tersebut.
Kesan kedua dan ketiga terhadap TSTJ tadi, semrawut dan tak terawat, cukup terasa juga. Selain yang sudah kusebutkan; ada kapal tak beroperasi lagi, mobil odong-odong yang rusak parah dan dibiarkan teronggok, beberapa hal lain semakin menambah kesan itu. Ada Rungga, rumah serangga – sepertinya Rungga sempat menjadi unggulan bonbin ini. Terlihat cukup banyak iklan mengenai Rungga ini di areah bonbin – yang tutup, tak beroperasi. Beberapa peralatan teronggok berantakan di depan Rungga ini. Di danau, ada pula jembatan bambu yang tak lagi dipakai. Di tepi jembatan diberi penghalang, di terdapat tulisan; “Maaf, bukan jalan untuk umum.”
Nah, pokoknya aku merasa eman dengan kondisi bonbin ini. Kandang-kandang binatangnya pun terlihat tua dan tak pernah ada pembaruan lagi. Padahal, andai dikelola dengan lebih baik, bonbin ini akan menjadi salah satu aset Solo yang sangat berharga. Ngomong-ngomong soal pengeloaan, kabarnya bonbin ini telah berkali pindah tangan.
Taman Satwa Taru Jurug Solo pada awalnya merupakan pindahan Kebun Binatang Sriwedari yang lebih dikenal dengan sebutan “ Kebun Rojo“ yang didirikan Sri Susuhunan Paku Buwono X pada tanggal 20 Tahun Dal 1381 atau 17 Juli 1901 dan merupakan Kebun Binatang tertua. Pada awalnya merupakan tempat hiburan bagi keluarga Raja (berisi koleksi satwa).  Pada perkembangannya menjadi tempat rekreasi untuk masyarakat.
Pada tahun 1983 Masehi, Kebun Rojo Sriwedari dipindahkan ke Taman Jurug karena posisinya yang berada di pusat Kota Surakarta dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kota. Dipindahkanya Kebun Binatang Sriwedari ke Taman Jurug pada mulanya bersifat titipan dari pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta, pada tempat rekreasi Taman Jurug yang merupakan salah satu taman rekreasi yang berada di Kota Surakarta bagian timur, didirikan Tahun 1975 yang dikelola oleh PT. Bengawan Permai.
Sayangnya PT. Bengawan Permai tidak mampu mengelola satwa titipan tersebut dan pada tahun 1986 pengelolaannya diserahkan kembali kepada Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta. Melalui Surat Keputusan Walikota Kepada Daerah Tingkat II Surakarta No. 556/96/1986, pengelolaannya diserahkan kepada Dinas Pariwisata Daerah Tingkat II Surakarta.
Agar pengelolaannya lebih professional, dibentuklah Yayasan Bina Satwa Taru Surakarta yang anggotanya terdiri dari berbagai unsur Pemerintah, profesional, tokoh masyarakat, usahawan dan unsur pendidikan. Akan tetapi Yayasan Bina Satwa Taru ternyata belum dapat memenuhi harapan masyarakat, sehingga pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta bekerjasama dengan investor PT. Solo Citra Perkasa. Lagi-lagi, Taman Jurug masih belum berjalan seperti yang diharapkan, bahkan PT. SCP selaku pengelola tidak dapat memenuhi kewajiban seperti yang tertuang dalam Surat Perjanjian. Selain itu PT. SCP tidak dapat menjalin kerjasama dengan masyarakat.
Maka pada tanggal 8 Nopember 2000 Pemerintah Kota Surakarta mengambil alih pengelolaan TSTJ dan dibentuklah Tim Pengelola Sementara TSTJ Surakarta yang diketuai oleh Asisten I Tata Praja dan beranggotakan Instansi terkait dibantu dari Kebun Binatang Gembiraloka Yogyakarta.
Setelah Tim Pengelola Sementara TSTJ berjalan kurang lebih 2 tahun, kemudian Walikota Surakarta membentuk pengelolaan menjadi Unit Pengelolaan Taman Satwa Taru Jurug. Ternyata Unit Pengelolaan ini dipandang kurang sesuai pula, hingga perlu untuk disempurnakan menjadi BUMD.
Nah, terus berpindah tangan dan tidak beres terus. Mudah-mudahan saja TSTJ tidak semakin terbengkelai dan semakin sepi pengunjung. Mudah-mudahan BUMD yang sekarang mengelola bonbin tersebut segera dapat melakukan terobosan-terobosan baru, mengadakan berbagai pembaruan di bonbin tersebut. Semoga TSTJ akan menjadi taman satwa yang semakin menarik untuk dikunjungi, menjadi pilihan keluarga-keluarga –Indonesia terutama – untuk berwisata. Syukur-syukur dapat menarik wisatawan manca negara.  

Engkau Bertanya, Mereka Menjawab Lebih





Tulisan ini, insya Allah akan menjadi serial travel-an kali ini. Catatan ini adalah tulisan kedua, setelah Travel-an Plan yang kuposting beberapa hari lalu. Saat ini jam tiga pagi di sebuah hotel (Namanya memang hotel, tapi kondisi kamarnya jauh lebih parah dari kos-kosan mahasiswa yang gak banyak duit. Maklumlah, kita nyari yang murah meriah. Ternyata benar, ada pula tempat-tempat menginap sekitar sini, yang tarif sehari kurang dari 100 ribu) di dekat Malioboro. Engkau yang cukup mengenal Jogja pasti tahu, di dekat Malioboro, ada Hotel yang megah, Melia Purosani. Nah, di dekat situ kami menginap saat ini, he.
Ini baru sempat nulis, setelah tempo hari kita full jalan-jalan. Seingatku, kami berempat – tentu saja aku, istri , Lavy dan Mayluf -  tempo hari sempat naik kereta, naik 7 Bus, plus sekali mbecak. Pemalang-Semarang naik Kaligung, Semarang-Salatiga, Salatiga-Semarang naik Bus. Setelah empat bus ditumpangi, barulah kami sampai di tujuan pertama kali, Taman Satwa Taru Jurug yang berdampingan dengan Bengawan Solo. Kami batalkan wisata kuliner malam dan menginap di Solo, kami langsung menuju jogja dengan Bus. Dari terminal Giwangan naik Trans, rencananya langsung ke Malioboro. Kata mbak kondektur bisa turun di Taman Pintar. Setelah mbak kondektur bilang; “Yang Malioboro, yang Taman pintar....” kami pun turun. Lha koq... entah di mana. Taman Pintar, Malioboro, sama sekali tak kelihatan. Maksudnya apa? Setelah bertanya orang di situ, ternyata kami harus naik Trans lagi untuk sampai taman pintar. Lah....
Akhirnya kami pilih mbecak, sekalian minta di antar ke penginapan yang murah....
Tentang Bonbin di Jurug, Solo, insya Allah akan menjadi serial berikutnya. Kali ini, kita berbincang dulu tentang..., sesuai judul lah, tentang bertanya dan menjawab. Ketika kita bepergian menggunakan transportasi umum, itu adalah kesempatan bagi kita untuk memperoleh kenalan dan teman perjalanan yang baru. Apa lagi bila kita bepergian sendirian, selalu ada tempat untuk di duduki orang lain di samping kita, entah di bus entah kereta. Nah, kita bisa kenalan, ngobrol dengan orang tersebut.
Walaupun tidak sering, tapi tak dapat dibilang jarang pula aku bepergian menggunakan angkutan umum. Maka tak jarang pula aku harus duduk berdampingan dengan orang tak kukenal. Terkadang aku enggan menyapa, merasa tak ada gunanya. Apa lagi bila orang di sampingku itu juga acuh, kelihatan orang cuek. Kali ini, karena selain menikmati liburan, tujuan travel-an ini memang untuk mendapatkan hikmah perjalanan, maka aku harus gunakan kesempatan apa saja menggali dan memperoehnya. Termasuk bertanya-tanya pada orang di sampingku.
Ketika naik kereta Kaligung, Pemalang-Poncol, kami menggunakan tiga tiket dewasa dan satu tiket anak-anak. Tiket anak-anak berarti tanpa bangku. Nah kami dapat tiga sit. Karena itu aku duduk terpisah dari istriku. Si Mayluf-lah yang seringkali duduk di pangkuan, main-main, pindah ke bangku kosong samping bundanya, bersama lavy, pindah lagi ke pangkuanku. Nah, di sampingku ada penumpang lain. Aku harus menyapanya.
Orang ini, sepertinya tipe tak banyak bicara, mirip denganku barangkali. Ketika aku bertanya beberapa hal, dia menjawab, tapi dengan jawaban pendek-pendek. Ibarat soal untuk ujian di SDIT-ku, maka jawabannya adalah jawaban singkat dalam soal isilah titik-titik. Sama sekali bukan jawaban uraian. Ketika kutanya: “Ke Semarang dalam rangka apa?” misalnya, dia pun hanya menjawab “main aja.” Jawaban itu, bagiku adalah basa-basi orang Jawa, untuk menyembunyikan maksud sebenarnya. Iya, dari beberapa pertanyaan yang kuberikan, dia selalu saja memberi jawaban singkat seperti itu. Dia juga tak sekali pun bertanya balik kepadaku. Ah, sepertinya memang tipe pendiam. Entah pendiam secara umum atau pendiam terhadap orang baru yang dikenal.
Untung, kursi yang kududuki itu no 10 B, sebenarnya bukan untukku. Hanya karena masih kosong, aku duduki saja. Tempat duduk itu berhadap-hadapan dengan tempat duduk istriku dan Lavy, sedang tempat dudukku yang sebenarnya no 12 A, di belakang tempat duduk istri dan Lavy, saling membelakangi. Ketika para penumpang dari stasiun Pekalongan naik, aku pun terusir dari tempat duduk no 10 dan harus pindah ke 12 A. Nah, kesempatan untuk berbincang dengan orang baru lagi.
Sama seperti yang pertama, orang yang duduk di sampingku kali ini adalah lelaki paruh baya. Barangkali 5 sampai 10 tahunan lebih tua dariku. Bedanya orang ini jauh lebih ramah. Ketika aku menyapa dan bertanya, jawabannya tak sekedar jawaban-jawaban yang sangat singkat. Ada lah embel-embelnya. Setelah beberapa pertanyaan kuajukan, dia pun bertanya balik. Tidak cuek. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan yang kuberikan hampir sama dengan yang kuberikan pada orang pertama yang duduk di sampingku. Masih seputar asal dari mana, hendak ke mana, dalam rangka apa... Itu saja. Akan tetapi karena tanggapannya berbeda, kali ini benar-benar menjadi perbincangan. Tak seperti wawancara dengan seorang yang tak ingin diwawancarai, aku bertanya dia menjawab singkat.
Informasi yang aku dapat dari perbincangan kali ini tentu lebih dari yang kudapat dari orang pertama. Dia asli Tasik, tapi sudah menetap di Tegal. Pengusaha gorden. Saat ini sedang mengantar adiknya yang ingin mencari informasi tentang kampus-kampus di Semarang. Adiknya itu saat ini masih kelas 3 di SMA 1 Tegal, rencananya tahun depat kuliah di Semarang.
Nah, orang ini juga memberikan beberapa informasi yang sama sekali tak kutanya. Seperti, orang sunda yang tinggal di kota lain seringkali punya usaha sepertinya; gorden. Sebagian lagi jual air minum, lalu bubur kacang ijo, dan satu lagi aku lupa. Dia juga bercerita tentang tempat-tempat yang membuka usaha gorden seperti dirinya di Pemalang.Intinya, dia tak enggan dan tak segan-segan bercerita.
Aku rasa, tipe orang kedua yang kuajak bicara ini masih lebih banyak dari tipe yang pertama. Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang suka berbagi, meski hanya berbagi cerita. Karena berbagi dapat menjadi kenikmatan tersendiri. Ketika kita tak enggan bertanya, orang pun akan berbagi lebih banyak dari hal-hal yang kita tanyakan. Obrolan tercipta, di kita dapat memperoleh banyak tambahan ilmu dan informasi, bahkan dari orang yang baru saja kita kenal dan melah belum sempat menanyakan namanya.
Iya, mulai hari ini, sepertinya aku harus lebih banyak belajar, agar tak enggan bertegur sapa. Belajar untuk lebih banyak menggali hikmah dari siapa saja. Termasuk orang-orang tak kukenal yang beru sekali kutemui dan mungkin untuk sekali-kalinya itu aku bertemu dengannya. Semoga saja aku bisa.

Travel Plan



“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu  dibangkitkan” (QS Al-Mulk: 15)

Membaca buku TE-WE-nya Gol A Gong, jadi iri. Di usia mudanya beliau telah keliling Indonesia, bahkan keliling Asia. Subhanallah.  Iri, aku malah belum ke mana-mana. Keluar Jawa belum pernah. Ke timur, paling banter baru ke Bondowoso, Situbondo. Ke Barat juga baru sekitar Depok, Bogor. Ya aku belum ke mana-mana.

Padahal, sangat ingin juga menjelajah bumi. Mengukur tingginya Everest, menyesap dinginnya kutub utara, memandang jauh di pusat Sahara. Menyusur sungai dengan gedung-gedung mengambang di Venezia, menengok Eifel yang menjulang, menjelajah uniknya kota-kota dan di Inggris, lalu nyungsep ke kampung-kampungnya yang juga memukau, mencoba menemukan bahasa Inggrisnya orang Inggris yang medok.

Pulang ke Asia. Mekah dulu barangkali, haji. Lalu mendekat ke rumah, melongok sibuknya Mombay, membuktikan panjangnya Tembok Cina, mencicipi budaya Jepang yang beragam sekaligus unik, mencoba skytrain atau kereta bawah tanah di Thailand. Tetangga dekat, Malaysia, Brunai, boleh juga untuk di singgahi. Dan tentu saja, Amerika, Australia, bahkan Afrika, berikut negara-negara yang tak kusebut, semua akan menjadi tantangan, pengalaman dan dan lautan hikmah untuk merasai betapa indahnya hidup di dunia ini.

Semoga saja, kelililing dunia itu akan menjadi nyata bagiku.

Maka, liburan sekolah pekan depan, aku dan istri berencana mengajak anak-anak untuk travel-an. Tak keliling dunia memang, masih yang dekat-dekat saja. Karena yang dekat itu pun masih jarang kami lakukan. Biasanya paling keliling alun-alun, atau jalan-jalan di Widuri. Nah, rencana untuk pekan depan, kita naik kereta ke Semarang, naik bus ke Salatiga, terus ke Solo. Bermalam di sana. Esoknya ke Prambanan, lalu bernostalgia di sekitar Malioboro. Rencana bermalam di Jogja pula, entah nginepnya di mana. Nah, paginya ke Magelang. Pulang.

Iya, memang dekat-dekat saja. Tapi tetap akan menjadi hal menarik. Untuk perta kalinya kita merencanakan akan singgah di beberapa kota dalam sekali travel-an. Biasanya paling menuju satu kota, menikmati wisata atau kegiatan tertentu, lalu pulang. Kali ini, kita merencanakan untuk berwisata, berjalan-jalan di muka bumi, menyusur beberapa kota. Tentu saja, secara kecil-kecilan belajar jadi travel writer. Coba menggali hikmah dan menuang kisah-kisah yang kami temui di perjalanan.

Nah, teman-teman yang di Solo, di Prambanan, di Jogja, di Magelang, barangkali ada yang mau bersilaturahmi, sedia menjadi guid tanpa bayaran – atau sebut saja teman perjalanan – atau hendak menawarkan tempat singgah, boleh lah kabar-kabari. Atau ada yang mau ‘memanfaatkan’ perjalanan kami, boleh-boleh saja, barangkali kami bisa. Misalnya ada yang mau meminta kami berbagi tentang dunia tulis-menulis, insya Allah, semoga dapat diagendakan.

Moga ada dana. Semoga terlaksana... 

Ujian Anak Ujian Guru



Untuk mengetahui tingkat keberhasilan Kegiatan Belajar Mengajar, setiap sekolah selalu mengadakan evaluasi. Di antaranya dengan mengadakan ulangan dan ujian. Ada Ulangan Harian, Ulangan Tengah Semester, Ulangan Akhir Semester, Ujian Sekolah, hingga Ujian Nasional.
Untuk mempermudah perbincangan, kita sebut saja semua dengan kata ujian. Rupanya, ujian-ujian itu tak hanya menguji mereka, anak didik kita, tapi juga para gurunya. Aku sangat merasakannya akhir-akhir ini. Pada Ulangan Akhir Semester yang telah berlalu, pekan kemarin, seperti biasa, aku kebagian tugas menjaga, mendampingi guru wali.
Tak kutemukan masalah berarti ketika menjaga di kelas tiga. Soal dan lembar jawab dibagi, melayani beberapa anak yang bertanya, sudah. Akan tetapi giliran menjaga kelas empat, satu anak sungguh menguji kesabaran. Si A, sebut saja begitu, terlihat tidak antusias mengerjakan soal. Tidak antusias itu adalah bahasa halusnya. Bahasa yang lebih tegas bolehlah engkau pikir-pikir sendiri.
Nah, si A ini, setelah mengerjakan satu dua soal, lalu berhenti, mainan, jalan-jalan, mengganggu teman. Aku dan guru walinya berulang menegur, tapi berulang pula dia lakukan hal itu. Kalau pun segera kembali ke tempat duduknya, dia hanya diam, tak mengerjakan soal. Masih mending kalau cuma diam, anak yang duduk dekat dengannya dia usili pula.
Malah, karena tempat duduknya dekat dengan bangku ustadz-ustadzah, dia usili pula guru walinya sendiri. Dia tendang-tendang kaki ustadzahnya, tanpa rusa takut, rasa bersalah, apalagi sekedar rasa malu. Si ustadzah pun sepertinya sudah cukup pasrah menerima perlakuan itu dari muridnya sendiri. Dia hanya menergur biasa, seolah hal itu bukan persoalan besar. Membentak, memelototi, sepertinya takkan ada gunanya untuk anak yang satu ini. Teguran itu pun rupanya tak digubris si A. Ia masih saja menendangi kaki ustadzahnya di bawah meja. Hingga aku berreaksi pula.
“A...., sama ustadzahnya kok begitu..!” Tentu dengan suara yang cukup keras.
Nah, inilah sebagian ujian bagi guru, menghadapi tingkah polah peserta didik yang unik dan tidak biasa, kalau tidak boleh dibilang “nakal” atau bahkan “tidak masuk akal.”
Cerita tetang si A pun tak berhenti di situ. Pada akhirnya, toh si A, mengisi juga lembar jawab pelajaran matematika itu. Entah, dengan melihat, membaca, dan menganalisis soalnya atau diisi sekenanya. Yang kedua sepertinya lebih tepat. Buktinya lembar jawab itu lebih banyak terisi kata-kata dari pada angka-angka. Padahal yang dikerjakan adalah soal matematika. Malah yang sangat unik – kata unik ini tentu kiasan belaka – salah satu jawaban dari soal matematika itu adalah kalimat “kakek harus mati.”
Nah, bahwa soal yang semestinya dijawab dengan angka-angka tapi dijawab dengan kata-kata dan kalimat adalah persoalan, ujian bagi gurunya. Sedang kalimat “kakek harus mati,” mengundang tanda tanya besar. Apa yang telah terjadi pada anak ini? Kok bisa sedemikian rupa?
 Ini ujian bagi guru dengan bobot yang lebih berat. Kalau si A begitu sulit diminta mengerjakan soal adalah soal pilihan ganda dengan bobot nilai 1 bagi gurunya, maka kalimat “kakek harus mati” tadi adalah soal uraian dengan bobot nilai 3. Guru mana yang tak miris bila anak didiknya menuliskan kalimat itu pada lembar jawab pelajaran matematika, bukan Bahasa Indonesia?
Ujian berikutnya bagi guru adalah ketika mengoreksi hasil ulangan atau ujian peserta didiknya. Bila tenyata nilai-nilai peserta didik jauh dari harapan, sungguh akan jadi problema. KKM 70 tapi ada juga anak yang hanya memperoleh nilaih 20. Malah lebih dari separo tak lolos KKM. Nah, masalah. Ujian bagi guru.
Pun ketika aku mengoreksi tugas membuat karangan untuk anak-anak kelas lima, kudapati pula masalah, ujian bagiku. Pada salah satu karangan kutemukan anak menulis “Mereka berpelukan seperti anjing buldok,” lalu “Panjul dan Belia akhirnya bersahabat, mereka menjadi suami istri...” Ah, cerita anak kelas lima.
Pada cerita lain, seorang anak mengeluh, curhat. Dia sering disuruh teman-temannya mencucikan tempat makan. Kadang tak satu orang, tapi beberapa temannya minta dicucikan tempat makannya. Sampai dia lelah. Walau pun tulisan ini adalah cerita untuk memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia yang saya ampu, tapi jelas, itu adalah curhat yang nyata. Si anak pasti pernah mengalaminya, bukan fiksi belaka.  Nah, ini juga permasalahan, ujian bagi guru.
Pada tahap selanjutnya, ketika Ujian Nasional menghadang, ujian bagi guru juga sama dahsyatnya. Setiap guru, terutama guru kelas enam, termasuk juga kepala sekolah, semua diuji dengan hadirnya Ujian Nasional. Peserta Didik diuji kemapuannya, bagaimana harus mendapatkan nilai, yang kalau tidak bisa bagus, minimal harus memenuhi kriteria kelulusan.
Sedang para gurunya diuji, bagaimana agar seluruh peserta didik kelas enam lulus, tanpa satu pun tertinggal. Ujian ini berat, karena taruhannya harga diri. Bukan hanya harga diri guru wali kelas enam, tapi juga harga diri sekolah. Bagaima seluruh peserta didik bisa lulus, tanpa curang, tanpa trik-trik yang tidak halal, itu adalah ujian bagi guru dan seluruh civitas akademik sekolah. Nyatanya, banyak guru, banyak kepala sekolah yang gagal menghadapi ujian ini. Semoga kita lulus.
Baiklah, selamat menempuh ujian, para guru, para pendidik.

Cantikku main musik

Depend on Yourself


Dari Abu Firas Rabi’ah bin Ka’ab Al-Aslamiy, ia termasuk pelayan Rasulullah Saw. Dan termasuk Ahli Suffah, ia berkata: “Saya bermalam bersama Rasulullah Saw., kemudian saya menyediakan air untuk wudhu dan kepentingan beliau yang lain, kemudian beliau bersabda: “Mintalah sesuatu kepadaku!” “Saya berharap agar dapat menemani engkau di surga.” Beliau bertanya: “Apa ada permintaan lain?” saya menjawab: “Hanya itu saja wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Bantulah saya untuk mengabulkan permintaanmu itu dengan memperbanyak sujud.” (HR. Muslim)

Ingin masuk Surga, ingin bertemu Rasulullah di sana? Perbanyaklah sujud. Begitulah, mau jadi orang seperti apa, kita sendiri yang menjadi penentu. Sama sekali tak boleh kita menggantungkan diri sepenuhnya pada orang lain. Meski sahabat dan lingkungan memencarkan hado-hado positif maupun negatif, mereka bukan penentu, hanya pendorong. Meski takdir manusia telah dicatat dan pena telah diangkat, bukan berarti kita boleh berhenti berusaha, lalu pasrah pada nasib.
Orang lain dapat memberi motivasi. Ketika mengikuti sebuah training pengembangan diri, engkau barangkali menemukan semangat yang berkobar. Kau ingin segera berubah, bekerja dan berprestasi. Pulang dari training itu kau segera memperbaruhi rencana pribadimu. Kau catat hal-hal penting yang hendak dilakukan. Bahkan kau membuat jadwal dengan terinci. Tapi apa yang terjadi seminggu kemudian? Semangat itu mulai kendor, kalau tidak hilang sama sekali. Rencana yang telah kau susun dan jadwal yang telah kau buat hanyalah menjadi catatan tak berfungsi.
Motivasi eksternal hanyalah pemantik, akan tetapi api semangat dapat membara hanya jika ada dorongan dari dalam diri. Orang tua boleh saja memberi nasihat setiap hari agar anaknya rajin sekolah. Ia pun memberikan segala fasilitas untuk kepentingan sekolah anaknya. Tapi bila belum muncul kesadaran pada diri anak akan pentingnya sekolah, tak perlu heran kalau dia memecahkan rekor absen dan bolos.
Jadi, bila kita ingin sukses, berprestasi dan menjadi luar biasa, kuncinya ada pada usaha kita sendiri. Sejauh apa kegigihan usaha kita, setingkat itulah prestasi yang akan kita raih. Sungguh, Allah takkan merubah keadaan kita, kecuali kita bersungguh-sungguh dalam merubah diri. Innallaaha laa yughayyiru maa biqaumin hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim.
Orang boleh jadi berargumen tentang takdir, bahwa apapun yang kita alami di dunia ini telah tercatat dalam kitab lauh mahfuzh. Maka seperti apapun usaha manusia, takkan mampu ia melawan paksaan takdir. Begitu pendapat mereka. SALAH BESAR.
Harap diingat bahwa Allah menjalankan takdir sesuai dengan sunnah-Nya; sunnataullah. Takdir Allah bukan merupakan garis lurus fertikal sebagaimana akar tunggal dalam pelajaran biologi, tapi penuh cabang bagaikan akar serabut.
Mudahnya, mari kita angkat satu contoh. Seorang sarjana akan menempuh takdir yang berbeda bila ia terus-menerus mengirim lamaran kerja atau memutuskan untuk mendirikan usaha sendiri. Bila ia membuka usaha sendiri, maka hasil yang diperoleh akan berbeda bila ia memulai dengan modal 5 juta dibanding bila memulainya dengan modal 20 juta. Bila ia memulai dengan modal 20 juta, akan beda pula perkembangan usaha itu sesuai dengan profesionalistas kerja yang dilakukan. Bila ia sungguh-sungguh, insya Allah akan sukses. Tapi bila usaha itu dijalankan dengan setengah hati, ya tunggu saja kebangkrutannya.
Begitulah sunnatullah. Begitulah takdir. Bukan berarti setiap manusia dapat menentukan takdirnya sendiri. Akan tetapi manusia memiliki kesempatan untuk memilih takdir terbaik yang telah ditetapkan Allah baginya. Bila terserang penyakit, maka berobat adalah perlu, karena dengan itu kita dapat berpindah dari satu takdir buruk ke takdir yang baik. Bila ingin pintar, maka belajar adalah kewajiban. Bila ingin sukses, maka berusaha dengan sungguh-sungguh menjadi keniscayaan. Begitu seterusnya, kita pilih takdir-takdir terbaik yang telah di tetapkan Allah bagi kita.
Berkait dengan takdir ini, Ust. Didik Purwodarsono membedakannya menjadi dua. Yang pertama takdir berupa apa yang dikehendaki Allah BAGI kita. Dalam hal ini ketetapan Allah mutlak tak bisa ditawar. Kalau si Busro telah ditakdirkan lahir dari orang tua yang tinggal di Kalimantan Selatan mepet hutan, dengan warna kulit coklat agak kehitaman, badan gemuk tapi sedikit kependekan, muka bulat plus rambut krebo seperti orang pedalaman, ya memang harus begitu. Tak ada gunanya Busro minta pada Allah agar dilahirkan kembali di Jakarta dengan tinggi badan sedang, kulit putih mulus, muka cakep, hidung bangir juga tubuh yang atletis. Apa lagi minta dijadikan Leonardo Decaprio atau Andy Lau!
“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." "  (QS.  At-Taubah: 51)
Sedang yang kedua, takdir dalam arti apa yang dikehendaki Allah DARI kita. Dalam konteks yang kedua inilah kita memiliki pilihan-pilihan. Allah menghendaki agar kita menjadi hamba-Nya yang taat. Tapi bila ada yang memilih untuk kafir, durhaka dan gemar menumpuk dosa, ya salah sendiri kalau nanti jatuh ke neraka. Allah menghendaki agar kita bersungguh-sungguh dalam menjemput rezki. Tapi bila ada yang malas bekerja, ya salah sendiri kalau miskin.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan  itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96)

Ikutan ya....


Berburu Ilmu


Aku tulis catatan ini sambil nunggu kajian di Masjid Abu Bakar. Hem...., jadi ingat masa muda. Dulu.. Ah, bentar. Aku cerita yang di sini dulu.
Sesungguhnya aku mulai rindu. Rindu kajian-kajian yang menggugah. Masalahnya, ketika ada kajian, yang ketemunya itu-itu lagi. Ustadz pemala ya itu-itu. Dangan gaya seperti itu. Cukup kuhapal.
Nah, mulai sebulan atau dua bulan lalu, di masjid ini ada kajian yang baru. Kajian tafsir al-Quran, tiap Sabtu malam ahad. Kebetulan LQ-ku sebagai penggerak berlangsungnya kajian rutin ini. Sesuatu yang baru. Mesti bagiku terasa lucu. Seperti kata ustadznya, belajarnya kayak anak TK, atau anak SD. Kalau yang ini mengingatku pada masa mudaaaaku dulu. Muda banget. Waktu itu aku masih semangat ngaji kitab kuning. Bismillahi, kelawan nyebut asmane gusti Allah. Iku sopo? Ar-Rahmani, Dzat kang paring welas asih ing dalem dunyo lan akherat. Sopo? Ar-Rahimi, Dzatkang paring welas asih ing dalem akherat bloko. Nah, lucu kan?
Kali ini, malam ini ada Mabit. Tentu ada kajiannya. Kabarnya Ustadz Rahmani dari Jakarta bakal datang ke sini. Mudah-mudahan, sesuatu. Sesuatu yang baru dan benar-benar menggugahku. Mengobati kerinduanku. Hem..., ya, sekali lagi, cukup sering aku merindu. Rindu masa-masa yang dulu.
Kala itu, aku masih semangat-semangatnya memburu ilmu. Bukan dengan membaca buku, tapi ikut kajian rutin. Di Jogja kala itu, banyak sekali kajian rutin. Paling sering kuikuti kajian jumat pagi dan ahad pagi di Masjid Syuhada, kebetulan dekat dengan kampusku. Juga kajian Kamis pagi di Masjid Mardliyah UGM. Apa kabar kajian-kajian rutin itu tahun ini, bulan ini ya? Masihkan seperti dulu? Masihkah berjalan rutin, satu pekan sekali? Masihkah diburu pemuda-pemudi – bolehlah kau sebut ikhwan akhwat – yang  haus ilmu, rindu selalu untuk berkumpul dengan saudara-saudara seperjuangan, di masjid-masjid yang lapang, teduh, tenang dan menyejukkan?
Hem... teringat, ustadz-ustadz luar biasa, dengan berbagai keunikan, gaya dan sepesifikasi ilmu. Ada Ustadz Cahyadi Takariawan, Ustadz Didik Purwordasono, Ustadz Moh. Fauzil Adhim. Ustadz Natsir Haris, Ustadz Syatori Abdurrauf, Ustadz Basuki Abdurrahman, dan banyak lagi. Masing-masing memberi warna dan cahaya sendiri-sendiri. Siapapun ustadznya, yang jelas, jadwal-jadwal kajian itu selalu saja membuatku rindu untuk datang ke masjid. Baru datang saja sudah ada suasana yang menyejukkan. Nikmat. Belum lagi ilmu-ilmu baru yang dibagi-bagi gratis oleh ustadz-ustadz yang luar biasa itu. Bila satu kali tak bisa datang, rasanya ada yang hilang, ada yang kurang.
Yach, aku rindu masa-masa itu. Mudah-mudahan, kerinduan ini selalu membangkitkan semangatku untuk memburu ilmu. Meski tidak dengan cara seperti dulu. Saat ini, di Pemalang ini, untuk hal-hal baru, memang lebih mudah kuperoleh via buku, atau internet. Lebih cepat updatenya. Buku pun juga harus beli online. Beli di Pemalang langsung? Ah.., sulitnya....
Ah, no matter what, yang penting tetap tumbuh gairah memburu ilmu, juga senantiasa berkumpul dengan majelis-majelis ilmu. Mudah-mudahan..

Terkenang Aku.... (Bukan Untuk Menyerah)


Bila Orang-orang Piawai Gagal, berulang kali telah kubaca buku ini. Membaca kisah orang-orang yang pernah gagal, bangkit dan kemudian sukses selalu membuatku termotivasi. Akan tetapi, rupanya tak mudah. Iya, sama sekali tak mudah, ketika kegagalan itu giliran menghampiri diri.
Demi membuka Rental komputer, patungan dengan kakak, aku korbakan pekerjaanku. Dengan penuh optimisme aku mengundurkan diri dari perusahaan. Melupakan gaji bulanan, untuk meraih penghasilan yang lebih besar dari wiraswasta.
Karena kakak tak meninggalkan pekerjaan lamanya, maka akulah pemeran utama di rental komputer. Sepanjang hari aku berada di rental komputer, menanti orang-orang yang datang untuk mengetik atau minta diketikan. Tak tanggung-tanggung jam kerjaku, dua kali lipat dari jam kerja standar. Aku membuka rental komputer jam tujuh pagi, tutup jam sebelas malam. Iya, enam belas jam dalam sehari. Tak ada pergantian sip, karena aku memang bekerja sendiri. Sesekali saja kakakku datang dan membantu.
Akan tetapi, kesuksesan rupanya belum berpihak padaku, juga pada kakakku. Selama beberapa bulan, rental komputer itu masih saja sepi pengunjung. Pemasukan hanya cukup untuk membayar listrik setelah kuambil untuk beli maka setiap hari. Bila terus begini, aku takut, usaha ini akan cepat tamat. Aku dan kakak tak lagi punya tabungan, setelah uang kami ludes untuk beli komputer dan membayar sewa tempat usaha. Bila telah jatuh tempo, kami takkan mampu memperpanjang kontrak sewa tempat.
Dan benar, hingga setahun berjalan, usaha rental komputer kami tak memberikan peningkatan pendapatan yang signifikan. Kami bangkrut. Rental komputer harus kami tutup.
Betapa.... Setahun aku memenjara diri di rental komputer. Dari bangun tidur hingga tidur lagi. Bergelut dengan tulisan-tulisan yang harus diketik, juga komputer yang lagi-lagi kena virus dan minta diinstal ulang. Semua itu hanya kulalui untuk memperoleh luka dan perih.
Betapa... Pagi itu seorang mahasiswi minta diketikan makalah. Sorenya akan diambil. Untuk memberi pelayanan maksimal pada pelanggan, biasanya pesanan ketikan aku print setelah pemiliknya datang. Barangkali ada bagian-bagian yang hendak dirubah atau dibetulkan. Begitupun kali ini. Makalah telah selesai aku ketik, tinggal diprint ketika mahasiswi itu datang. Akan tetapi, hingga maghrib, mahasiswi itu tak datang. Hingga isyak, belum datang juga dan bahkan sampai rental aku tutup, mahasiswi itu tak datang.
Esok pagi, belum juga jam tujuh, ketika kubuka pintu untuk mendapatkan udara segar, mahasiswi itu muncul. Aku mempersilahkannya masuk, lalu kuhidupkan komputer. Tahu makalahnya belum aku print, mahasiswa itu marah besar. ”Belum diprint?! Sudah, tidak jadi saja!” bentaknya. Mahasiswi itu berlalu, meninggalkan mahakalahnya dan lubang di hatiku. Betapa aku terluka. Berniat memberi pelayanan terbaik, malah begini jadinya. Lelahku sama sekali tak dibayar, justru diganjar umpatan. Betapa...
Untunglah, di samping kegagalan yang menyayat, Allah juga mengaruniaku pengobat luka. Selain menjaga rental kamputer, aku menulis buku. Dua buku pertamaku telah terbit, kutulis saat di rental. Hal ini cukup membuatku bangga, meski royalti dari dua buku tersebut juga telah ludes untuk bayar hutang.
Setelah rental komputer benar-benar tutup, beberapa bulan aku menganggur. Aku coba melamar kerja, tapi gagal dan gagal lagi. Hingga aku bertemu Firman, seorang sahabat yang aku kenal karena sering bertemu ketika mengikuti kajian Minggu pagi di Masjid Syuhada Jogjakarta. Dia bilang mau main ke Bandung. Dia mengajakku ikut serta. Sekalian mencari kerja di sana, bujuknya. Benar, akhirnya aku ikut ke Bandung dengan beberapa fotocopy ijazah untuk melamar kerja, juga naskah buku yang siap untuk diterbitkan.
Beruntung, ketika mengantarkan naskah buku ke penerbit Percikan Iman, aku mendapat informasi bahwa lini majalah di perusahaan tersebut sedang membuka lowongan kerja sebagai wartawan. Maka di hari berikutnya, aku masukkan juga lamaran kerja.
Setelah bosan, seminggu lebih keliling Bandung, aku pamit pada Firman untuk pulang. Kutinggalkan dia di Bandung. Firman sebenarnya asli Tasikmalaya, tapi banyak kerabat di Bandung. Selama di Bandung, aku dan Firman menginap di rumah sepupu Firman yang kebetulan tak ditempati.
Seminggu kemudian aku dibel dari Bandung. Panggilan untuk mengikuti tes seleksi menjadi wartawan majalah Percikan Iman. Maka dengan penuh semangat, menjelang waktunya aku berangkat lagi ke Bandung. Kali ini naik kereta, ekonomi pula, biar irit.
Tes seleksi itu kujalani dengan mudah. Aku optimis diterima. Ada tiga macam tes yang diberikan. Yang pertama, soal-soal pilihan ganda yang campur-campur, dari Bahasa Indonesia sampai Bahasa Inggris, mulai dari jurnalisme hingga soal agama. Bentuk tes kedua, kami diminta membuat sepuluh pertanyaan yang paling urgen untuk ditanyakan apabila bertemu dengan seorang tokoh yang terkenal di Bandung. Sedang bentuk tes ketiga, kami diminta memberikan komentar tentang penggalan film yang telah diputar, tentu dalam bentuk tulisan. Film itu kesukaanku, bintangnya Jacky Chen.
Aku merasa tak ada kesulitan berarti mengerjakan tiga macam tes tersebut. Aku semakin optimis. Peserta tes hanya sebelas, akan diterima dua. Peluangku cukup besar. Belum lagi, aku yakin, di antara peserta tes, hanya aku yang telah menulis buku. Pihak Percikan Iman pun telah mengetahui kualifikasiku ini. Portofolio yang sangat mendukung profesi kewartawanan.  
Usai tes, pimred majalah Percikan Imam memberikan keterangan, bahwa peserta tes yang diterima akan dihubungi langsung via telepon dalam satu minggu ke depan. Dia menerengkankan, kemungkinan besar orang yang diterima akan dihubungi pada tanggal 5 Maret, tepat semingguh setelah hari ini. Bila tak ada yang menghubungi, berarti tak diterima.
Hingga tanggal empat, masih tak ada telepon dari Bandung. Tapi tak masalah. Masih ada waktu sehari. Tanggal limanya, aku bersantai, tak banyak aktifitas yang kulakukan. Malah aktifitas utamaku hanyalah menungguh telepon dari Bandung. Tak lupa, ketika mentari mulai meninggi, aku pun shalat dhuha, agar dilapangkan rezki.
Aku menunggu dan terus menunggu. Resah, penasaran. Aku tak tahan. Maka kuhubungi saja pimred majalah tersebut. Aku sudah mencatat nomornya. Alhamdulillah, masih ada peluang. “Belum diputuskan mas,” katanya. “Ini sedang kami rapatkan. Kalau Mas Rahman diterima, insya Allah nanti segera kami kabari.”
Aku kembali menunggu, ditemani resah yang semakin meraja. Sore pun menjelang, aku mulai ragu. Optimismeku luntur. Waktu ashar telah berlalu, kemudian datang Maghrib, lalu isyak. Tak ada telepon dari Bandung dan takkan ada lagi telepon dari kantor majalah Percikan Iman tersebut. Ternyata kali ini aku gagal.
Sebagai pelipur lara, kunyanyikan lagu ciptaan sahabatku:

Putus asa itu hal yang biasa
Tapi jangan dirawat lama-lama
Karena bisa melemahkan jiwa
Jadinya batin sendiri tersiksa

Sakit memang rasanya kegagalan
Sakitnya bukan main menyesatkan
Tapi bukan berarti beralasan
Menghukum diri sebagai orang gagal

Keluh kesah itu sifat manusia
Di kala sempit menghimpit nafas di dada
Tapi bila giliran lapang yang datang, tiba-tiba manusia sombong
Apabila memanjakan perasaan, jadinya badan dan batin kurus kerontang
Lebih baik mencoba untuk mencinta
Penderitaan

Derita itu mematangkan jiwa
Pribadipun menjadi lebih dewasa
Tapi itu tak pada semua orang
Hanya pada yang rindu pengalaman

Bagaimanapun. Aku harus bangkit kembali, karena hidup bukan untuk menyerah pada kegagalan. Kuyakin, jalan sukses membentang. Maju terus!!

Mudah Tapi Susah


Mudah tapi susah, bayak hal masuk kategori ini. Seperti kata cinta. Mengucapkan kata cinta tentu saja mudah, semudah mengucap kata-kata lainnya. But, dalam ruang-ruang keluarga, seringkali satu kata itu pun susah dikeluarkan. Seorang istri harus menangis-nangis menunggu kata cinta dari suaminya. Ya, tak jarang seorang suami sulit berkata cinta pada istri sendiri. Padahal jelas-jelas dia cinta. Tapi untuk  mengungkapkannya dengan kata-kata, ah susah. Ada saja yang membuat lidah menjadi kaku dan kelu.
Iya, Mudah tapi susah, banyak hal masuk kategori ini. Seperti juga senyuman terhadap saudara kita. Tersenyum itu mudah, semudah menarik dua bibir kita ke samping kanan dan kiri. Dan kita tahu, senyum tulus kita terhadap saudara sesama muslim akan mendatangkan pahala. Lagi pula banyak manfaatnya. Bagi diri, senyuman akan menghadirkan energi positif, suasana nyaman dan rasa optimis. Bagi orang lain, senyuman mendatangkan kenyamanan, keteduhan dan rasa persahabatan. Komunikasi pun dapat terjalin dengan baik, dihias senyuman. Tapi itu tadi, seringkali, yang mudah itu menjadi susah. Bibir jadi tak mudah tergerak ke samping, malah ke depan, manyun. Apa lagi bila sedang ada masalah, susah.
Mudah tapi susah. Memang, banyak hal masuk kategori ini. Seperti menahan diri untuk tidak mengungkap keburukan dan kekurangan orang lain. Mudah, semudah kita untuk diam, tidak bicara, tidak menggerakkan bibir dan lidah. Nyatanya hal ini seringkali menjadi susah. Betapa mulut manusia seringkali gatil bila belum membicarakan keburukan dan kekurangan orang lain. Mulut sulit ditahan untuk membuka dan menutup. Klimat demi kalimat pun membanjir, tentang aib orang lain. Bahkan bila keburukan dan kekurangan orang lain itu sebenarnya sifatnya masih dugaan. Diduga dia begini dan begitu, yang jelek-jelek. Manusia-manusai ini lupa bahwa mereka sedang berbuat keji. Iya, keji, sekeji memakan daging saudaranya sendiri yang sudah mati. Hiii..., ngeri.
Mudah tapi susah. Sekali lagi, memang banyak hal masuk kategori ini. Seperti menahan diri untuk tidak menulis setatus di FB atau ngetwit dengan tulisan-tulisan galau, atau tulisan-tulisan yang jelas tiada mendatangkan kebaikan. Jelas-jelas tidak jelas. Mudah, tinggal tidak usah menulis saja. Nyatanya jadi susah. Pikiran, perasaan dan tangan begitu mudah terdorong untuk menulis. Menulis yang tidak jelas. Asal. Malah tulisan galau. Tanpa sadar, bahwa kalau toh tidak mendatangkan dosa, setidaknya tulisan itu sia-sia. Tiada manfaatnya. Belum lagi bila ternyata, tulisan-tulisan itu menunjukkan bahwa diri kita kurang bersyukur atas nikmat Allah. Menunjukkan bahwa kita orang yang tidak jelas, tak punya visi dan mimpi yang menjulang. Atau setidaknya, menunjukkan bahwa kita sedang terlena, lupa.
Masih banyak lagi perkara-perkara yang sejatinya mudah tetapi menjadi susah. Barangkali karena tidak kokohnya jiwa, keruhnya hati. Hingga hal-hal yang semestinya sangat mudah menjadi sulit kita lakukan. Maka, mari terus-menerus benahi diri. Mudah-mudahan saja, dalam hal semacam itu kita dapat fokus pada kata ‘mudah’ dan menjauh dari kata ‘susah.’ Iya, tidak udah susah-susah, dibuat mudah saja.

Bermimpilah!


“Jika kalian memohon kepada Allah, mohonlah kepada-Nya Jannatul Firdaus yang paling tinggi, karena sesungguhnya di sanalah intinya Surga.”(HR Thabrani)

Amirul Mukminin Umar bin Khattab pada suatu ketika meminta para sahabat untuk mengungapkan cinta-cita mereka. “Bercita-citalah kalian!” Seorang sahabat kemudian menyahut: “Aku ingin sekali seluruh bangunan ini terisi emas yang aku infakkan di jalan Allah. Umar berkata lagi: “Bercita-citalah kalian!” Seseorang mengatakan: Aku ingin ruangan ini penuh dengan permata dan mutiara yang bisa aku infakkan di jalan Allah.” Umar berkata: “Bercita-citalah lagi.” Mereka mengatakan: “Kami tidak tahu lagi apa yang bisa kami cita-citakan selain itu ya Amirul Mukmini. Umar lalu berkata: “Aku bercita-cita kalau ruangan ini penuh didatangi orang-orang besar antara lain seperti Abu Ubaidah, sehinga aku bisa berjihad di jalan Allah bersama mereka.”
Orang besar selalu punya mimpi besar. Iya, karena sebagaimana pepatah Arab, kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin. Haqaiq al yaum, umniyyat al ams. Orang-orang besar telah membuktikan ungkapan ini.
Engkau kenal Muhammad al-Fatih? Dialah penakluk Konstantinopel yang menjadi salah satu bukti kebenaran Rasulullah itu. Tidaklah mudah menaklukkan kota Konstantinopel. Pada masa Khalifah pertama Bani Umayyah, kota ini pernah coba ditaklukkan, tetapi gagal. Bayazid Yildrim, penakluk negeri Eropa juga hampir menguasai Konstantinopel. Namun gagal karena kekalahannya oleh Taimerlance (Timur Leng), seorang penakluk lain. Ya, tidak mudah menaklukkan Konstantinopel, karena waktu itu dijaga pasukan gabungan dari Eropa Timur dan Selatan.
Tentu bukan sembarang orang dapat menaklukkan kota bersejarah itu. Muhammad al-Fatih benar-benar orang yang tangguh. Asal engkau tahu saja, Muhammad al-Fatih telah memiliki cita-cita untuk menaklukkan kota itu sedari masih kecil. Ia telah terdidik oleh orang tuanya dalam berjuang. Muhammad al-Fatih kecil sering terilibat dalam pertempuran, sehingga ia tahu bagaimana perang itu sejatinya. Gurunya, Syamsuddin, pernah mengajaknya berjalan-jalan di tepi pantai dan menunjukkan benteng Konstantinopel. “Itulah benteng konstantinopel yang pernah diberitakan Rasulullah akan ditaklukkan oleh salah seorang umatnya bersama pasukan kaum muslimin, sampai akhirnya penduduknya memeluk agama tauhid.” Sejak itulah Muhammad al-Fatih bertekad untuk menaklukkan Konstantinopel. Kita tahu, mimpinya kemudian menjadi nyata. Konstantinopel telah takluk oleh Muhammad al-Fatih dan pasukannya.
Satu riwayat lagi. Suatu kali Abdullah bin Umar, Urwah bin Zubair, Mush’ab bin Zubair, Abdul Malik bin Marwan yang merupakan generasi Tabi’in sedang duduk-duduk di pelataran Ka’bah. Mush’ab mengangkat pembicaraan dengan mengatakan: “Bercita-citalah kalian.”
Para sahabat masih enggan menyampaikan cita-cita mereka, hingga Mush’ab diminta untuk menyampaikan cita-citanya pertama kali. “Mulailah dari dirimu.” Ujar mereka. Mush’ab pun menjawab: “Aku ingin kaum Muslimin dapat menaklukkan wilayah Irak, aku ingin menikahi Sakinan puteri perempuan Husein dan Aisyah binti Thalhah bin Ubaidillah.” Beberapa tahun ke depan, Mush’ab berhasil meraih apa yang dicita-citakannya.
Urwah bin Zubair lalu mengungapkan keinginannya. Ia berkata bahwa dirinya ingin menguasai ilmu fiqh dan hadits. Urwah kemudian dikenal menjadi salah satu tokoh ulama fiqh dan banyak meriwayakan hadits.
Abdullah Malik bin Marwan tak mau ketinggalan. Ia mengatakan bahwa ingin menjadi khalifah. Kelak ia dilantik menjadi khalifah pada masa Daulah Umawiyah. Ia bukan hanya khalifah yang memiliki ilmu luas dan banyak beribadah, tapi juga tokoh yang berhasil menyatukan kembali wilayah kekhalifahan sepeninggal dua putera Zubair bin Awan. Ia juga menjadi perintis system post, menerjemahkan banyak kitab dan membuat uang logam dari emas.
Nah yang terakhir, Abdullah bin Umar juga menegaskan cita-citanya. Ia ingin masuk Surga.
Bermimpilah, karena orang yang kehilangan mimpi akan hilang semangat, lalu tiada lagi prestasi. Kau pernah baca novel “Sang Pemimpi” dari tetralogi “Laskar Pelangi”nya Andrea Hirata? Ketika mimpi untuk terbang meneruskan pendidikannya di Paris melemah, prestasi Ikal terpuruk. Ikal, satu dari tokoh utama dalam novel itu terpaksan menempatkan ayahnya pada bangku nomor 75. Padahal sebelunya duduk di bangku nomor 3. Bangku-bangku tersebut telah diberi nomor urut sesuai rengking anaknya di sekolah. Namun cinta pada sang ayah telah mengembalikan mimpinya, hingga Ikal dapat menempuh pascasarjana di Univesité de Paris, Sorbonne, Prancis.
Nah, bila engkau juga ingin menjadi orang besar, maka bermimpilah. Hanya orang yang punya mimpi layak menyandang gelar kebesaran. Lagipulah Rasulullah telah memberi perintah: “Jika kalian memohon kepada Allah, mohonlah kepada-Nya Jannatul Firdaus yang paling tinggi, karena sesungguhnya di sanalah intinya Surga.”
Mengapa kita perlu mimpi? Banyak yang menjadi alasan. Dia antaranya mimpi akan mengembalikan semangat ketika kita menjadi lemah dan larut dalam perbuatan sia-sia. Bila punya mimpi jadi ulama besar, mana boleh tidak belajar. Bila mimpi jadi pengusaha sukses, mana boleh menganggur. Bila punya mimpi masuk Surga Firdaus, mana bisa malas beribadah dan suka berbuat dosa.
Selanjutnya mimpi akan mengarahkan hidup kita. Bila bercita menjadi dokter, maka engkau akan kuliah pada fakultas kedokteran. Salah jurusan bila kau kuliah di fakultas ekonomi. Sebaliknya, bila kau ingin jadi akuntan, tak mungkin kau kuliah di fakultas kedokteran.
Mimpi juga akan memaksa diri kita agar tidak terjebak pada rutinitas dan kemapanan. Jadi pegawai tetap pada salah satu Bank Nasional tentu memperoleh gaji yang lumayan. Orang kebanyakan akan menganggap pekerjaannya itu cukup prestisius. Akan tetapi bila punya mimpi menjadi pengusaha sukses di bidang penerbitan, maka orang itu takkan selamanya kerja di bank. Ia akan mengundurkan diri, lalu merintis bisnisnya dari awal. Itu bila ia punya keberanian untuk mengejar mimpi.
Maka, insya Allah dengan bermimpi kita akan meraih yang terbaik dalam hidup ini. Kita tak berhenti ketika mencapai posisi tertentu. Setiap satu mimpi menjadi realita, kita masih memiliki mimpi yang lebih membumbung. Maka kita harus terus berjuang, agar semua mpimpi menjadi nyata. Kalau pun ada yang belum terwujud ketika nyawa telah meninggalkan pergi dari jasad, tak ada ruginya punya mimpi. Minimal, mimpi yang kita bangun telah memotivasi kita untuk bekerja dan melakukan yang terbaik.
abcs