Hidup Tanpa Kenangan



Dalam dunia kedokteran, ada beberapa penyakit terkait memori otak manusia. Tersebut amnesia, demensia, delirium, alzheimer, atau semacamnya. Sebenarnya aku tidak paham juga yang begitu-begituan. Tapi intinya, semua terkait kinerja otak yang tak beres lalu berefek pada terganggunya ingatan, hingga mental seseorang.
Nah, para seniman film telah menghasilkan cerita-cerita menarik seputar hilangnya memori seseorang. Lakon-lakon dalam film itu kehilangan ingatanya secara hampir menyeluruh, bahkan sampai terlupa akan jati dirinya. Tiba-tiba terbangun, lalu tak ingat segala sesuatu yang telah dilaluinya. Anehnya, biasanya mereka tak lupa cara berbahasa, masih dapat berkomunikasi seperti biasa. Entah hal itu terjadi begitu saja, tersebab kecelakaan, kepala terbentur, atau disengaja oleh pihak-pihak terntentu, memorinya diambil. Lalu secara bertahap, sedikit demi sedikit lakon-lakon dalam film itu mulai menemukan kembali ingatannya, dengan cara-cara yang membuat penonton semakin penasaran. Seru lah mengikuti alur cerita-cerita itu
Pernahkah terbayang olehmu, bila engkau yang mengalami hal semacam itu. Tiba-tiba engkau tak ingat memiliki ibu, ayah, saudara, teman… Engkau tak lagi mengenal siapapun di dunia ini. Bahkan dirimu sendiri engkau lupa. Siapa namamu, di mana kau tinggal, siapa orang tuamu, engkau sedang melakukan apa.. lupa semua. Aih, itu ngeri.., pasti.
Sungguh sempurna Allah menciptkan segala sesuatu. Andai seluruh manusia dicipta dengan satu kekurangan, tak dapat mengingat masa lalu, kehidupan di dunia ini pasti sangat berbeda. Kacau barangkali. Atau manusia segera musnah. Takkan pernah ada teknologi, apalah lagi modernitas. Bagaimana seoarng akan menciptkan mobil, HP atau komputer, jikalau selalu lupa apa-apa yang telah diteliti dan diamatinya.
Ah, itu terlalu ekstrim barangkali. Atau begini. Manusia tetap punya memori, memiliki kecerdasan yang terus berkembang. Manusia mampu menemukan berbagai teknologi, dunia pun terus berubah, rata-rata telah modern seperti saat ini. Perkembangan pesat, alat transportasi, internet.., serba maju. Akan tetapi bagaimana bila memori manusia itu terbatas selama lima belas tahun saja. Kecerdasan tetap berkembang, akan tetapi lupa segala sesuatu yang pernah dialami lima belas tahun lalu ke belakang. Orang dewasa sepertiku, berarti tak lagi punya kenangan masa kecil. Orang-orang yang sudah beranjak tua tak lagi punya kenangan masa muda, apa lah lagi masa kanak-kanaknya. Masa-masa itu semua hilang, gelap. Foto-foto atau video jaman dulu masih ada, tapi sama sekali lupa, itu kapan diambilnya, waktu sedang apa, bagaimana perasaan saat itu.
Tiada kenangan waktu di sekolah pernah dimarahi pak guru gegara terlupa tak mengerjakan PR matematika. Tak sedikit pun kenangan saat menjadi juara pada lomba cerdas-cermat agama. Sama sekali lupa bahwa dulu sempat sungguh terpesona oleh dia yang begitu menawan hati, dari kelas sebelah yang jadi rebutan teman-teman satu sekolahan. Bagaimana bila demikian? Hidup jadi kurang indah bukan?

Rindu yang Bergulung



Dia di sana, terus di sana. Duduk, berdiri, duduk, lalu berdiri lagi. Menunggu. Matanya kosong, setengah isi, menatap tarian ombak. Bila mendekat ke sana, engkau akan melihat tatapannya itu. Sendu tatapan rindu. Rindu yang bergulung-gulung. Rindu tanpa ujung.
Tiga tahun sudah, setiap pagi dan sore, dia selalu menyempatkan diri ke sana, ke pantai sunyi itu. Dia duduk di sana, berdiri, duduk, lalu berdiri lagi. Menunggu. Matanya kosong, setengah isi, menatap tarian ombak. Bila mendekat ke sana, engkau akan melihat tatapannya itu. Sendu tatapan rindu. Rindu yang bergulung-gulung. Rindu tanpa ujung.
Tiga tahun sudah, setiap pagi dan sore, dia selalu menyempatkan diri ke sana, ke pantai sunyi itu. Dia menunggu Tini, istrinya yang hilang. Ah Paijo ingat, lima tahun silam, ada hari paling indah, hari yang membuat hatinya membumbung. Di pantai sunyi itulah Paijo dan Tini bermadu, setelah akad yang sakral dan haru sehari sebelumnya. Untuk pertama kalinya Paijo bermanja, melupakan lelah, membuang hidup yang keras. Dia sandarkan diri ke tubuh Tini. Tak puas, dia berbaring, kepalanya bersandar di pangkuan Tini. Mereka bercerita, berbagi kisah, ketawa-tawa, lalu menangis karena haru.
Tiga tahun hilang dan Paijo terus berharap Tini akan datang. Kalau saja engkau dapat melihat ke sana, ke dalam dadanya. Kau akan temui, hati yang telah dilumat rindu. Rindu yang bergulung-gulung. Rindu tanpa ujung. Betapa ingin dia melihat Tini, datang melenggang. Dengan senyum manis tiada tanding. Lalu mereka bergandeng tangan, mendekat ke laut dan duduk di pasir putih, saling menempel, tiada jarak. Ingin sekali Paijo mengulang hari madu itu. Bermanja, melupakan lelah, membuang hidup yang keras. Dia sandarkan diri ke tubuh Tini. Lalu berbaring, kepalanya bersandar di pangkuan Tini. Mereka lalu bercerita, berbagi kisah, ketawa-tawa, dan bila perlu, sama-sama menagis haru.
Tiga tahun hilang dan Paijo terus berharap Tini akan datang. Kalau saja engkau dapat melihat ke sana, ke dalam dadanya. Kau akan temui, hati yang telah dilumat rindu. Rindu yang bergulung-gulung. Rindu tanpa ujung. Meski dalam hati kecil yang telah dilumat rindu itu, Paijo tahu, Tini takkan pernah benar-benar kembali datang. Sebab dia tak gila. Peristiwa itu terlalu lekat di ingatannya, tak mungkin bisa hilang. Tiga tahun lalu, hatinya sedang ditawan amarah. Dia geber motor tua itu sekencang-kencang kemampuannya. Gas mentok. Sedang Tini menangis pada boncengannya. Sedetik Paijo khilaf dan semua terjadilah. “Bruak!!” Hilang segala yang indah. Tinggal luka yang menusuk, penyesalan tanpa bentuk.
Dan kini, setelah tiga tahun berlalu, Paijo masih pergi ke Pantai. Duduk, berdiri, duduk, lalu berdiri lagi. Menunggu. Matanya kosong, setengah isi, menatap tarian ombak. Bila mendekat ke sana, engkau akan melihat tatapannya itu. Sendu tatapan rindu. Rindu yang bergulung-gulung. Rindu tanpa ujung. Meski dalam hati kecil yang telah dilumat rindu, Paijo tahu, Tini takkan pernah benar-benar kembali datang. Sebab dia tak gila. Hanya tak kuasa oleh rindu.
Pagi ini, sesuatu mungkin telah menembus gulungan rindu itu, merasuk ke hati Paijo. “Cukup!” katanya. Dia berwudzu dengan air pantai, bersujud di atas pasir, menumpahkan air mata yang masih tersisa. “Allaahu akbar,” dia bangkit, menjalani shalat dhuha, rakaat kedua.
abcs