Berguru Pada Guru


Kusadari bahwa aku bukan orang yang pandai berbakti kepada guru. Jangankan membalas jasa-jasa mereka yang tak bertanda, mengingat wajah-wajah dan nama-nama mereka saja begitu sulit. Benar, aku sudah lupa sebagian besar nama-nama mereka yang pernah resmi menjadi guruku. Aku hanya mampu mengingat guru-guru yang kuanggap unik atau spesial.
Misalnya, guru yang, hem.... cantik. Bila kebanyakan guru sudah menjelang pensiun, sementara ada satu guru yang muda dan cantik, tentu aku akan lebih mudah mengingatnya. Seperti Bu Haryanti di SD N Baturono 1, Salam, Magelang. Entah saat ini, dua puluh tahun sejak aku mengenalnya sebagai bu guru, apakah masih cantik juga. Yang pasti takkan lagi muda. Ah, apa kabar beliau?
Sekali lagi, tak banyak yang dapat kuingat. Malah seringkali aku mengingat nama guruku karena keunikan-keunikan tertentu yang tak bisa dibilang 'positif.' Seperti Bu Bariyah, juga di SD N Baturono 1. Masih cukup jelas di benakku, beliau mutasi ke SD N Baturono 1 beberapa saat setelah aku pindah juga ke SD itu. Horor, kesan utamaku terhadap beliau. Apa lagi bila sudah mengadakan ulangan..., menyeramkan bagiku. Bagaimana tidak, jawaban kurang titik di belakang tulisan sudah pasti dianggap salah. Kalau pada setiap jawaban lupa memberi titik, ya salah semua, nilainya nol. Karena kesan horor ini, malah terkadang teman-teman menambahkan kata 'jalan' setelah nama panggilannya, Bu Bar. Bubar jalan!
Di SMP Negeri Ngluwar ada Bu Siti Sundari. Bu guru yang satu ini telah mengenaliku sejak permulaan aku masuk SMP. Itu karena dua kakakku yang pinta-pintar pernah juga sekolah di situ. Sayangnya beliau sering lupa namaku, maka aku sering dipanggilnya 'Mas Adiknya Supriyadi.' Maklum lah, waktu itu aku tak sepintar dan setenar dua kakakku.
Kesanku terhadap Bu Sundari mirip dengan Bu Bariyah, horor. Hanya karena Bu Sundari sering memperhatikanku, maka aku lebih menyukainya. Guru sejarah ini, tiap kali habis mengajar selalu saja mengadakan ulangan. Iya, setiap kali pertemuan. Maka setiap siswa harus benar-benar memperhatikan apa yang disampaikannya, kecuali mau dapat nilai jelek. Satu yang sangat kuingat, pernah aku mencontek, lalu ketahuan. Bu Sundari tak menegurku secara langsung, hanya menyindir saja. Begitu pun aku sudah panas dingin. Jelas sekali beliau menyindirku. Biasanya kalau ada yang ketahuan mencontek langsung dilabrak.
Ah, tetap saja, kesan horor lebih melekat di benakku. Maka aku juga lebih mengingatnya sebagai bundari. Itu panggilan singkatnya, Bu nDari. Ah, maafkan, anakmu yang tak berbakti ini...
Oh iya, masih ada juga yang sangat kuingat dari SMP Negeri Ngluwar. Namanya Bu Agnes Monica. Eh, maksud saya Monica saja, tanpa Agnes. Mengapa aku masih ingat nama bu guru biologi ini? Karena waktu itu masih muda... dan cantik. Tentu saja, masih ada nama-nama lain yang kuingat, seperti Pak Daladi, Pak Martono atau Pak Bahrudin. Akan tetapi belum kuingat hal-hal khusus yang menarik untuk dituliskan tentang mereka.
Di SMK Negeri 1 Tempel, beberapa nama guru juga masih kuingat. Ada Pak Parpun Ismoyo, guru mata pelajaran Pemasaran. Di kelas dua, pertama kali siswa jurusan Manajemen Bisnis mendapat pelajaran Pemasaran, pasti akan mengenal beliau sebagai guru yang angker. Beliau sangat tegas. Kalau ada yang terlambat selalu disuruh menunggu di luar, setelah satu jam pelajaran berlalu baru boleh masuk. Aku pernah pula telat sekali.
Pertama kali ulangan, nilai teman-teman hancur. Ada yang dapat nilai tiga, dua, satu, bahkan nol. Untunglah, nilaiku paling moncer, delapan. Memang, saat itu aku telah menjadi 'anak emas' di jurusan Manajemen Bisnis. He, nyombong sedikit.
Makin lama, kesan horor terhadap Pak Parpun pasti akan berkurang. Dari segi pembelajaran, teman-teman juga sudah mampu menyesuaikan diri. Di kelas tiga, sudah banyak yang mendapat nilai delapan, sembilan, bahkan sepuluh ketika ulangan. Selain karena teman-teman sudah bisa menebak-nebak soal yang akan keluar, juga karena mereka sudah lihai mencontek.
Dari SMK ini, aku juga masih ingat Pak Baginda. Ada singkatan A.H. Di depan nama itu. Dalam hal ini aku sudah lupa, kepanjangan dari apakah itu. Pak guru yang satu ini juga sangat unik. Beliau biasanya hanya mengajar selama 15 menit. Paling panjang 30 menit. Setelah itu diam saja di tempat dudunya. Anak juga diam, lama-lama ngobrol, lalu rada gaduh. Sampai jam pelajaran berakhir Pak Baginda akan terus duduk di bangku guru. Apapun yang dilakukan anak-anak, no comment deh.
Satu lagi keunikannya, kalau bikin soal ulangan catur wulan, jawabannya selalu zigzag. Misalnya jawaban nomor satu b, nomor dua c, nomor tiga d nomor empat c lagi, nomor lima b, nomor eman a, nomor tujuh b lagi..., begitu seterusnya, sampai nomor terakhir. Jadi, kalau muridnya pintar sedikit, ya tinggil ngurutin saja. Ketemu baris pertama, beres.
Satu hal yang positif, aku kagum karena beliau menyusun sendiri buku ajarnya. Dalam buku Dasar-dasar Asuransi yang menjadi pegangan kami, tertoreh nama A.H. Baginda sebagai penulisnya. Pastilah, beliau memperoleh keuntungan dari setiap buku yang terjual, setiap tahun. Pasalnya setiap siswa harus punya buku pegangan. Untuk pelajaran Asuransi, tak ada cara lain selain membeli buku yang disusun Pak Baginda tersebut.
Sementara itu ada satu guru yang benar-benar masih kuingat secara positif. Bu Tini, wali kelasku di SMK N 1 Tempel. Beliau tegas, sekilas agak horor, tapi terlihat jelas kecintaan beliau terhadap murid-muridnya. Di kelas beliau mengajar akuntansi. Uniknya, kami tak pernah diperbolehkan menggunakan kalkulator. Bahkan ketika mengerjakan laporan akuntansi, seperti Neraca, Laporan Rugi Laba dan sebagainya, kami juga harus menghitungnya secara manual.
Setelah lulus, beberapa kali aku sempat mampir ke rumah beliau. Dari dorongan beliau, aku punya tekad lebih kuat untuk bisa kuliah. Dan setelah kuliah, bahkan setelah lulus kuliah, aku juga masih sempat main ke rumah Bu Tini. Aku cukup banyak mendapat wejangan di situ. Seingatku, hanya ke rumah Bu Tini-lah aku pernah sengaja bersilaturahim. Ke rumah guru-guruku yang lain rasanya tak pernah.
Satu lagi yang sangat kuhafal dari SMK N 1 Tempel, Bu Hanik Rosyada. Selain karena waktu itu masih muda dan cantik (he, peace Bu...), juga karena aku menemukan nama beliau di Facebook. Jarang-jarang kutemui nama guruku di FB. Semoga Allah memberi banyak kemudahan dan kemanfaatan bagi guru-guru yang masih berekenan menyempatkan diri FB-an.
Ah, sekali lagi, aku bukan orang yang berbakti kepada guru. Maka bagi guru-guruku yang barangkali sempat membaca tulisan ini, mohon maafkan aku... Tulisan ini sama sekali bukan untuk memperlihatkan ’kekurangan-kekurangan’, apa lagi sekedar olok-olok. Hanya berharap, semoga ada khikmah yang dapat dipetik. Bila ada keburukan dan kekurangan tersirat, semoga menjadi pelajaran bagi guru-guru yang lain seperti saya, agar tak melakukan hal serupa. Sekali lagi, mohon maaf atas segala khilaf.
Doaku, semoga segala amal baik akan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semoga ilmunya barakah dan semoga senantiasanya diberikan kemudahan hidup, baik di dunia fana ini, lebih-lebih di akhirat nanti.
Hem... hari ini, anak-anak SDIT Buah Hati juga mengenalku sebagai pak guru. Dua puluh tahun mendatang, entah, adakah satu dua di antara mereka yang masih mengenangku. Dan bila ada, entah kesan seperti apa yang mereka kenang dariku. Tentu saja, aku ingin mereka semua mengingatku dari sisi positif, sebagaimana Andrea Hirata mengenang Bu Muslimah. Syukur-syukur ada yang menyebut-nyebut namaku dalam novelnya yang best seller. He he.

Memberi Itu Ternyata Nikmat


Peminta-minta, rasanya semakin banyak saja. Bahkan di kota kecilku ini. Setrateginya rupa-rupa, tetapi motif utamanya sama, meminta. Sebagian mungkin benar-benar terpaksa. Akan tetapi sebagian lainnya, aku yakin banyak jumlahnya, telah menjadikan meminta-minta sebagai pekerjaan. Ah, na’udzubillahi min dzaalik.
Ketika datang seorang peminta-minta pada kita, terkadang sulit membedakan, orang itu kepepet, atau pekerjaan utamanya memang menengadahkan tangan. Mungkin ketularan istri, menghadapi peminta-minta yang menyodorkan tangan di jalan, di bus atau di alon-alon, aku lebih sering melambakan tangan, alias tak memberi.
Terkadang ada rasa tak enak hati juga. Rasanya jadi orang kok terlalu pelit. Dimintai betul-betul tapi malah tak memberi. Padahal seribu rupiah cukup untuk membuat orang itu berterima kasih dan segera berlalu. Tapi di sisi lain, aku juga sering berpikir, kalau orang-orang seperti itu terus ditolelir dan diberi, maka peminta-minta akan benar-benar terus menjamur. Toh yang meminta-minta seringkali terlihat fisiknya masih kokok dan bugar.
Lain halnya bila si peminta memiliki kekurangan fisik, seperti tak mampu melihat atau tak memiliki sepasang kaki. Dalam hal ini, hatiku masih lebih dapat mentolelir. Mereka mengingatkanku untuk banyak-banyak bersyukur kepada Allah. Maka, sekedar ber-dada ketika mereka menjulurkan tangan rasanya terlalu. Meski tentu saja, aku lebih salut pada orang-orang yang memiliki kekurangan fisik, tapi tetap bekerja dan sukses.
Ah, bila peminta-minta memang semakin banyak, mungkin solusinya adalah kebalikannya, memberi. Iya, perbanyak memberi, sehingga tiada lagi orang yang sempat meminta. Tentu saja, maksudku bukan hanya memberi uang receh ketika diminta. Akan tetapi memberi dalam arti lebih luas. Memberi pemahaman, memberi semangat, memberi harapan, memberi peluang usaha, memberi pekerjaan, syukur-syukur juga memberi modal.
Memberi itu nikmat. Akhir-akhir ini aku baru merasakannya. Terlambat sekali mungkin, karena belum lama aku berniat dan tergerak untuk selalu menyisihkan penghasilan bulanan untuk orang yang berhak. Shadaqah acak, itu yang kemudian aku lakukan. Aku menyisihkan sebagaian penghasilan, lalu memberikan uang itu secara acak. Seperti kepada tukang becak yang sedang ngetem di pinggir jalan. Pokoknya ketika bertemu orang yang kira-kira membutuhkan dan layak diberi, kasih saja. Jadi semacam uang kaget dalam jumlah kecil. Aku belum tahu, secara fiqih kontemporer, shadaqah macam ini bagus apa tidak. Yang jelas, aku berharap pahala dan balasan dari Allah.
Rupanya ada kenikmatan tersendiri ketika aku dapat memberi. Menerima ucapan terima kasih dan senyum gembira dari seorang tukang becak misalnya, hati jadi terasa lapang. Bahkan ketika seseorang yang diberi ternyata tidak menunjukkan sikap ramah dan terima kasih, hanya bilang “ya,” tetap saja hati ini bahagia. Apa yang tadi ada pada genggaman telah berpindah kepada orang yang berhak.
Malah, ketika sejumlah uang tertentu yang tak seberapa itu masih ada di tas, atau saku celanaku rasanya tidak enak. Ini hak orang lain, aku harus segera menemukan orang itu. Dan ketika uang itu telah berpindah tangan, lepaslah sudah..., lega.
Iya, dapat memberi itu ternyata nikmat. Pasti jauh sekali bedanya dengan meminta. Bahkan tanpa mengingat bahwa Allah akan mengganti dengan balasan yang berlipat ganda, memberi akan selalu mendatangkan rasa nikmat di hati kita. Mudah-mudahan saja, Allah senantiasa memberi kelapangan rezki, sehingga tangan kita lebih sering di atas. Dan yang terpenting, kita bisa ikhlas dan tergerak untuk memberi dengan sebaik-baik pemberian. Semoga, Allah juga senantiasa melimpahi kita rasa nikmat. Nikmat karena dapat memberi. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Semoga, tulisan ini tak menggusur keikhlasanku, hanya ingin berbagi, bahwa memberi itu ternyata nikmat.
abcs