Aku Bukan Guru, Hanya Teman Bermain


Menyaksikan SID the Science Kid, film pendek berseri hadiah dari Dancow membuatku berpikir; keren sekali kalau benar-benar ada sekolah semacam itu.
Di sekolah khayali itu, anak-anak hanya bermain sesuka hati, tapi banyak ilmu yeng mereka serap. Mereka diberi kebebasan untuk bereksplorasi, bertanya tentang apa saja yang ingin diketahui, lalu berusaha mencari jawabannya sendiri. Guru hanya mengarahkan dan memberi kesimpulan.
Untuk mengetahui satu hal, anak-anak cerdas di sekolah itu selalu belajar berpindah-pindah. Dari ruang kelas, ke ruang laboratorium, lalu keluar ke laboritorium alam, lalu kembali ke kelas. Terakhir, guru bernyanyi. Bukan sembarang lagu, tapi nyanyian yang berkait erat dengan apa yang sedang mereka pelajari.
Ah, teringat aku ketika jiwa sedang lelah. Bentak-bentak anak, tapi yang dibentak gak ngerti-ngerti juga. Sudah tahu guru sedang marah besar, bersuara keras dan mata melotot, tapi yang dipelototi justru tertawa. Lalu kuteriaki lagi, baru ngeh, lalu diam. Aku lanjutkan mengajar. Baru beberapa detik saja, anak yang tadi kupelototi sudah berdiri, lari-lari, bermain lagi...
Ah, marah memang sama sekali bukan cara tepat untuk mendidik.
Ketika pun harus marah, mestinya adalah marah cinta. Marah benar-benar karena ingin memberi pemahaman, bukan hanya karena dibuat repot oleh ulah mereka. Maka dalam marah yang demikian, aku lebih memilih diam sesaat, lalu mengeluarkan amarah dari hati, ke hati. Tak perlu membentak, tak perlu melotot, apa lagi memukul. Anak-anak pun diam mendengarkan, tak berani macam-macam. Tapi juga entahlah. Apakah yang aku sampaikan dapat tersimpan pada jiwa mereka?
Yang demikian memang tak sering terjadi, dan mudah-mudahan takkan menjadi sering. Sejujurnya, aku lebih suka bermain-main dengan mereka, anak-anakku yang lucu, lugu... dan kadang pengen aku "gigit" semua....
Tak pernah terbanyang dulu, bahwa pada namaku akan tersemat status guru, sebagaimana tak juga pernah terbayang bahwa aku dapat mengaku seorang PENULIS.
 Sejujurnya, mungkin setatus guru tak layak buatku. Pertama, mula-mula masuk SDIT Buah Hati Pemalang, aku hanya dilamar jadi TU. Tapi karena masih pula butuh guru, tak berapa lama kemudian aku pun disuruh mengajar. Mulai dari TIK; Teknologi Informasi dan Komunikasi, ekskul jurnalistik, ekskul pramuka, hingga tahfidz al-Qur’an. Kadang-kadang ikut pula njebur saat anak-anak belajar renang.
Kedua, gelar S.Pd hingga saat ini belum kupunya. Rasanya memang tak ingin punya. Meski teman-teman sekantor yang belum punya S.Pd kini pada kuliah lagi. Aku kok pengennya S2. Semoga, suatu saat...
Ketiga, itu tadi, aku lebih suka bermain-main dengan mereka dari pada mengajar.
Pernah engkau melihat ada guru yang ketika masuk kelas langsung dikeroyok peserta didiknya? Baru saja masuk anak langsung menyerbu, menubruk. Ada yang naik meja, lalu meloncat, juga menubruk gurunya. Kalau keteranganku ini agak sulit engkau mengerti, bolehlah engkau bayangkan adegan smack down. Cukup mirip lah, gurunya di KO. Nah, aku pernah menyaksikan yang demikian itu. Mala akulah yang sedang di-smack donw.
Dengan gaya yang aneh-aneh, akupun sering membuat anak-anak GERR... Aku senang. Sungguh lebih nikmat melihat mereka tertawa lepas dari pada mengurus anak yang menangis, merengek tak jelas.
Tak hanya di kelas. Ketika anak-anak bermain, kadang aku nimbrung. Anak-anak main loncat tali, aku ikut loncat. Anak-anak main bola, aku ikut menendang. Anak ngajak main tertentu, aku layani. Misalnya ketika ada yang mengajak pandeng-pandengan (tatap-tatapan), yang kedip kalah. Aku layani saja dengan perubahan aturan, yang senyum kalah......
Spontan, spontan, spontan Yang satu ini insya Allah dapat membangun kedekatan dengan anak-anak.
Ah, masih banyak sekali kekurangan. Aku belum bisa benar-benar menjadi teman bermain mereka. Teman bermain yang profesional, produktif dan mencerahkan. Apa lagi menjadi guru. Apa lagi menjadi pendidik.
Maafkan aku, teman-teman bermainku...
Mungkin inilah saatnya. Saatnya Belajar jadi GURU Sejati.
0 Responses
abcs