Saatnya Berhenti Menyalahkan Waktu

Kalau pengen tahu pentingnya waktu SETAHUN coba kau tanya pada murid yang tinggal kelas!

Kalau pengen tahu pentingnya waktu  SEBULAN coba kau tanya pada ibu yang  melahirkan bayi prematur!

Kalau pengen tahu pentingnya waktu SEMINGGU coba kau tanya pada editor majalah mingguan!

Kalau pengen tahu pentingnya waktu SEHARI coba kau tanya pada orang yang akan menikah esok hari!

Kalau pengen tahu pentingnya waktu SEJAM coba kau tanya pada kekasih yang menunggu untuk bertemu!

Kalau pengen tahu pentingnya waktu SEMENIT coba kau tanya pada orang yang ketinggalan pesawat terbang!

Kalau pengen tahu pentingnya waktu SEDETIK coba kau tanya pada orang yang baru saja terhindar dari kecelakaan!

Kalau pengen tahu pentingnya waktu SEMILI DETIK  coba kau tanya pada runner up balap motor dunia!

 

Kata orang ‘waktu adalah uang.’ Kata yang lainnya ‘waktu adalah pedang.’ Barangkali seorang pemilik tambak akan mengatakan bahwa ‘waktu adalah udang.’ (Asal jangan kepleset menjadi ‘waktu adalah hutang.’ Makin lama waktu berjalan, makin banyak pula hutang. Cucian deh Abang!)

Relatif memang nilai waktu, tergantung bagaimana seseorang menilai dan menjalani kehidupan ini. Tak perlu kita pusing mencoba memahami teori relativitasnya Einstein, bila memang tak paham; karena di sekitar kita banyak contoh yang menunjukkan bahwa waktu memang relatif. Bagi seorang pedagang serabi di kampung saya, sehari untung 50 ribu pastilah luar biasa; kalau tidak mau dikatakan sebagai hil yang mustahal. Tapi seorang bos perusahaan berskala internasional, tiap hari dapat hasil 3 juta barangkali belum seberapa. Bagi seorang koruptor, lain lagi cerita; hitung-hitungannya tak lagi pake digit juta, tapi trilyun. Pasti susah ya menghitungnya? Asal tahu saja, andai tiap satu hitungan kita memerlukan waktu satu detik, maka akan butuh waktu 31.668 tahun untuk sampai hitungan 1 trilyun.  Barangkali hukuman paling berat bagi seorang koruptor adalah disuruh berhitung dari nol sampai angka korupsinya.

Nah, itu tadi bila patokannya ‘waktu adalah uang.’

Yang pasti, bagaimanapun kita memaknai arti waktu, ia sangatlah berharga. Apa lagi bila masalahnya adalah rindu, betapa yang sesaat menjadi begitu penting, andai bisa bertemu. Maka seorang pecinta akan berkata ‘meski hanya sekejap mata, aku ingin jumpa.’

Anehnya, manusia sering mengkambinghitamkan waktu atas kesalahan pribadinya. Bila ada orang tua sakit rindu terhadap anak-anaknya, waktulah yang menjadi alasan; anak-anaknya itu sibuk dengan urusan masing-masing. Bila ada anak-anak tak cukup mendapat kasih sayang dari orang tua mereka, waktu juga menjadi alasan; orang tua sibuk bekerja. Bila banyak pekerjaan rumah terbengkelai, waktu juga dituduh bersalah.

‘Tak ada waktu,’ kalimat yang biasa digunakan untuk berkilah. Padahal masalah sesungguhnya hanyalah keengganan, kelalain, ketidakseriusan, atau ketidakmampuan mengelola diri. Sebab itu banyak tugas tak terselesaikan, banyak kewajiban tak tertunaikan, banyak pihak yang membutuhkan terabaikan dan banyak kesempatan hilang ditelan waktu.

Kini sudah saatnya untuk jujur pada diri. Bila ada hal-hal yang tak mampu kita selesaikan dengan tuntas, jangan lagi salahkan waktu. Makhluk yang sangat berharga bernama waktu itu telah menjalani tugasnya dengan baik. Ia terus bergulir, tanpa mempercepat atau memperlambat lajunya. Apa lagi berhenti, tidak sama sekali. Manusialah yang lebih sering mengkhianatinya. Meski waktu tak lelah memberi kita kesempatan, manusia justru terlalu sering manjadikannya kambing hitam atas kelalaian sendiri.  Maka mulai saat ini, berhentilah menyalahkan waktu!

Merindukan Air Mata

Air mata barangkali identik dengan tangis. Memang, ia lebih banyak keluar karena tangis. Meski ada beberapa hal lain yang menyebabkannya, seperti kepedasan, mata kelilipan, atau disemprot gas air mata.

Saat ini saya sedang merindukan air mata. Bukan air mata orang lain tentu saja, malainkan air yang keluar dari mata saya sendiri. Ya, saya ingin sekali menagis. Bukan ingin bersedih hati, karena tangis tak selalu berarti kesedihan. Pun begitu, ada kesedihan juga tak selalu berarti buruk. Terkadang, ada perlunya juga untuk bersedih. Seperti ketika dosa-dosa terlanjur diperbuat, sungguh telah mengeras hati bila tak menangisinya. Sayangnya, hal itulah yang kini menimpa diri ini.

Sungguh telah terlalu banyak dosa saya perbuat. Mungkin juga telah terlalu keras hati ini, hingga saya tak mampu menangis. Telah kucoba beberapa kali, duduk lama setelah shalat, mengulang-ulang istighfar. Tapi tetap, mata ini belum mau mengucurkan air mata. Alih-alih, berkaca pun tidak. Padahal di saat menangislah saya benar-benar dapat merasakan tentang luasnya ampunan dan melimpahnya rahmat Allah. Nikmat benar ketika air mata dapat membajir, teringat akan dosa-dosa, berharap ampunan dan kasih sayang-Nya. Tak hanya pipi yang basah, bahkan hati terasa sejuk; lega.

Lebih nikmat lagi, ketika air mata penyesalan telah berganti air mata syukur. Betapa indah kehidupan ini dibentangkan oleh-Nya. Terlalu banyak yang lupa kita syukuri. Maka ketika hati tersadar akan kemahadahsyatan karunia Allah itu, isyak pun terhenti, berganti tangis yang mengalun nikmat. Pernahkah kau merasakannya? Kini saya merindukannya.

Setelah puas menangis syukur, maka hati terasa benar-benar telah basah. Tak ingin lagi berbuat durjana. Yang ada keinginan untuk selalu berbuat yang terbaik. Ingin memberi dan memberi, beramal dan beramal. Pikirpun terasa lebih jernih. Bahkan tubuh juga lebih fresh. Siap untuk menjalani hari yang lebih baik. Ternyata, tersimpan kekuatan luar biasa dalam tangis manusia. Karena itu wahai Allah Yang Maha Agung, ijinkan aku menangis karenaMu malam ini. Aku rindu….

 

"Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan kekhusyuan mereka bertambah." (QS. Al-Israa’:109)

 

"Barang siapa yang mengingat Allah kemudian dia menangis sehingga air matanya mengalir jatuh ke bumi niscaya dia tidak akan diazab pada hari kiamat kelak"

 (HR. Al-Hakim) 

Apa Hendak Aku Bilang?

Kelak, ketika tiada lagi kesempatan untuk berpura-pura baik dan menutupi- kejelekan diri, kemana hendak aku berlari untuk bersembunyi dari rasa malu? Kelak ketika aku tak lagi dapat berbohong dan membela diri dari setiap kesalahan yang dituduhkan padaku, kemana hendak aku berlindung untuk menghindar dari siksa yang tak terbayangkan?

Kelak bila aku ditanya, “Kamu habiskan untuk apakah hidupmu di dunia?”, apa hendak aku bilang? Akankah kujawab; “Untuk nonton TV, untuk main game, untuk bersendau gurau, untuk melamun, untuk bergosip, untuk mengejar pria/wanita, , untuk berebut harta, dan berbuat segala nista.”?

Kelak bila aku ditanya, “Kamu gunakan untuk apakah rezki yang Aku karuniakan kepadamu?”, apa hendak aku bilang? Akankah aku bilang, “Untuk senang-senang; untuk biaya pacaran, untuk beli VCD bajakan, untuk koleksi mainan, untuk taruhan, untuk makan yang berlebihan, untuk foya-foya dan hura-hura, untuk segala hal yang sia-sia.”?

Kelak bila aku ditanya, “Kamu gunakan untuk apakah mulut kamu ketika di dunia?” apa hendak kujawab? Akankah aku bilang, “Untuk bicara dusta, untuk pura-pura, untuk membeberkan kekeliruan orang, untuk menfitnah, untuk menghina, untuk mencela, untuk marah-marah yang tak pada tempatnya, atau untuk asal bicara?”

Kelak bila aku ditanya, “Sering kamu gunakan untuk apakah mata kamu ketika di dunia?” apa hendak aku jawab? Akankah kubilang; “Untuk mengagumi kecantikan/kegantengan, untuk menatap aurot orang, untuk menyelidiki kejelekan orang, atau untuk melototi anak-anak yang tak sungguh bersalah.”?

Kelak bila aku ditanya, “Kemanakan kakimu sering kamu langkahkan ketika hidup di dunia?”, apa hendak aku jawab? Akankah aku bilang; “Ke tempat-tempat yang mengajak zina, ke tempat konser musik, ke pusat perbelanjaan, ke tempat-tempat hiburan, juga ke tempat orang-orang berbuat kesyirikan.”

Nyatanya, kita teramat sedikit mengisi hidup ini dengan kebaikan. Kapankah kita sungguh-sungguh mempelajari al-Qur’an, kapan shalat dengan khusuk, kapan berdakwah, kapan membantu orang yang kesulitan, kapan memberi makan yang kelaparan, kapan berpikir untuk kemajuan umat manusia? Ya, kapan?!

Barangkali itu terlalu muluk, kalau begitu yang sederhana saja. Kapan tersenyum dengan tulus kepada saudara, kapan mengucap terima kasih ketika dibantu, kapan minta maaf ketika berbuat salah, kapan memberi hadiah tanpa berharap sesuatu (balasan), kapan mengisi kotak infak masjid dengan sepenuh ikhlas? Ah, sungguh tak sebading dengan banyaknya dosa yang kita tumpuk.

Maka, mumpung masih ada kesempatan, mari kita berusaha untuk terus-menerus berbuat yang terbaik, sesederhana apapun kebaikan itu. Mudah-mudahan, hal ini akan dapat menutup segala khilaf yang kita perbuat. Mudah-mudahan, kebaikan sederhana yang kita perbuat dapat memberi manfaat bagi orang lain. Dan yang lebih penting, mudah-mudahan kebaikan sederhana itu mengandung nilai yang besar di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Hati-hati Spyware dapat Menyerang HATI

Kita telah sering mendengar tentang tiga kondisi manusia. Ada qalbun salim, qalbun maridh dan qalbun mayyit. Hati yang sehat, hati yang sakit dan hati yang mati. Bila kita ibaratkan kembali, ada komputer yang bersih dari virus ataupun spyware, sehingga program-programnya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Akan tetapi seringkali virus menyerang tanpa permisi. Program-program dalam komputer memang masih dapat digunakan, tapi error di sana sini. Misalnya file-file yang berexstention doc berubah menjadi application. Tulisan di dalamnya berganti-ganti sesuai perintah virus. Nah, repot. Lebih parah lagi bila terserang virus yang lebih ganas. Tiba-tiba program yang telah terinstal bisa macet sama sekali. Ketika dibuka tak bisa loading. Lebih-lebih virus yang dapat menyerang system BIOS dan merusak hardware, dapat mengakibatkan komputer sama sekali tak bisa dipakai.

Nah, mari kita kembali ke hati. Hati yang sehat tentu saja hati yang masih dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan benar. Dengan qalbun salim manusia akan dapat menyerap ilmu dan hikmah, mencintai Allah, beribadah kepada-Nya dan merasakan kelezatan dengan mengingat-Nya.

Maka, dengan hati yang sehat, kita akan terus cenderung pada kebaikan. Ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca mudah kita cerna kandungannya, hadist Rasulullah dapat kita tauladani. Kita pun semakin peka dengan apa yang kita lihat, apa yang kita denganrdan apa yang kita temui setiap saat, sehingga di mana pun kita berada, selalu ada hikmah yang dapat dipetik. Ketika masyarakat sekitar banyak berbuat kekeliruan, menjauh dari aturan-aturan Allah misalnya, maka hati yang sehat selalu peka. Ia pun merasa ada yang mesti dibetulkan, bukan ikut hanyut dalam kekeliuran-kekeliruan serupa. Atau kita dia sendiri yang terlanjur bebuat kesalahan, akan timbul kegundahan di hati, hingga ia berhenti berbuat salah, beristighfar dan mengapus jejak kekeliruan dengan timbunan kebaikan. Ingat fungsi autocorect pada hati?

Hati yang sehat juga akan cenderung mencintai Allah, merasakan kenikmatan beribadah dan berdzikir kepada-Nya. Kecintaan kepada selain Allah akan tertepis, bila itu bertentangan dengan kecintaan terhadap-Nya. Maka dengan hati yang sehat, manusia akan terhindar dari ketergelinciran akibat kecintaan terhadap syahwat. Bagaimana mungkin akan berbohong, mencuri atau berzina misalnya, kalau yang dicinta adalah Allah. Sedang Allah telah mengharamkan semua itu. Akankah seorang pecinta melakukan hal-hal yang dibenci oleh kekasihnya?

Namun berhati-hatilah dengan hati. Kadang ia tak lagi memiliki kepekaan positif. Kemungkinan hati itu sedang sakit, atau bahkan telah mati. Sebagaimana anggota tubuh manusia lainnya, bila sedang sakit, hati menjadi tak mampu menjalankan fungsinya, atau dapat menjalankan fungsinya, tetapi terjadi ketidakstabilan.

Dengan qalbun salim, hati yang sehat, kita akan mampu menangkap hikmah dari bacaan al-Qur’an, hadits Rasulullah, buku yang dibaca, atau kisah-kisah hidup manusia. Akan tetapi banyak orang diperdengarkan al-Qur’an setiap saat, atau bahkan membacanya sendiri, tapi tak merasakan sesuatu, tak ada perubahan pada dirinya dan tak ada ilmu yang diserap oleh jiwanya.

Betapa beda dengan kondisi orang-orang shalih yang telah mendahului kita. Ketika diperdengarkan al-Qur’an, mereka menyungkur sujud, menangis karena merasakan keagungan dan kebenarannya.

Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi ni'mat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58)

Hati yang sehat akan menempatkan cinta kepada Allah sebagai cinta tertinggi, ibadah kepadaNya sebagai hiburan paling mengasyikkan. Akan tetapi hati yang sakit, qalbun maridh tak lagi dapat merasakan hal demikian. Hati yang sakit justru cenderung mencintai selain Allah, merasakan ibadah sebagai beban, bukan hal yang menyenangkan. Sangat buruk keadaan ini, sebagaimana Allah menggambarkan tentang keadaan orang-orang munafik yang meminta izin kepada Rasulullah untuk tidak ikut berjihad di jalan Allah dengan berbagai alasan yang disengaja.

”Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak  menafkahkan  mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (At-Taubah: 54)

Al-Ghazali memberi kiasan yang menohok kesadaran kita. Bagaimana dengan perut yang tak lagi selera dengan makan dan minum? Bagaiman jika perut tak lagi suka dengan roti atau nasi dan air, tapi justru lebih suka tanah atau batu? Tentu perut itu telah sakit. Begitulah, bila hati kita lebih mencintai selain Allah, pastilah hati kita sedang sakit. Atau bila hati kita seakan terselubungi kegelapan, sehingga sulit dimasuki hikmah, pastilah hati kita juga sedang sakit.

Lebih parah lagi qalbun mayit. Hati yang telah mati tak lagi mampu menangkap hikmah, tak mampu menyerap ilmu, tak lagi merasakan cinta kepada Allah, apalah lagi merasakan kelezatan beribadah dan berdzikir kepadaNya, tidak sama sekali. Seumpama anjing, hati yang mati tak mampu lagi membedakan mana yang baik mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, bebal sama sekali. Bila engkau menghalunya maka anjing itu menjulurkan lidahnya dan jika engkau membiarkannya dia menjulurkan lidahnya pula.

Maka, hati yang mati justru cenderung pada dunia dan kelezatan syahwat, cenderung pada dosa dan perbuatan maksiat. Na’udzubillah, mudah-mudahan kita terhindar dari yang demikian itu.

101 Kekurangan Kita

Cobalah sediakan alat tulis, cukup kertas dan polpen. Kau tulislah tentang sifat-sifat buruk, kebiasaan-kebiasaan buruk, hal-hal yang kau benci dari diri sendiri, dan segala keburukan diri yang kau miliki. (Tentu di luar ‘kekurangan’ fisik, seperti hidung terlalu ke dalam atau gigi terlalu menonjol keluar. Maaf). Tulislah hanya satu keburukan dalam satu baris, lalu berilah nomor urut. Mungkin kau akan sedikit kesulitan menemukan kekurangan diri tersebut ketika sampai urutan 20 atau 25. Akan tetapi saya jamin, jika kau jujur pada diri, setelah ketemu 100 kekurangan, kau masih akan menemukannya lagi, dan lagi. Tidak percaya? Coba saja!

Terhadap kesalahan dan kekurangan orang lain kita seringkali terlalu peka untuk menangkap sinyalnya. Apa lagi jika orang lain itu setiap hari bersama kita, seperti istri atau suami. Sedikit dia berbuat salah, kita menjadi sebel, dongkol atau justru marah! Padahal dia belum tentu betul-betul bersalah. Akan tetapi terhadap kekurangan-kekurangan diri, kita kurang perhatian. Kita tidak sadar bahwa kejelekan-kejelekan diri kita mungkin membuat orang lain jauh lebih sebel, dongkol juga marah.

Maka, sesekali kita perlu menyediakan waktu untuk merenungi kekurangan diri. Sedikit demi sedikit kita perlu mengikisnya, lalu mengganti dengan taburan kebaikan. Selain bermanfaat bagi diri sendiri, pasti baik juga bagi orang lain. Bila kita punya sifat gampang marah misalnya, tidakkah hal itu membuat orang lain marah karena kita sering marah tanpa sebab yang jelas? Bila kita mempunyai sifat jorok, tidakkah hal itu akan membuat orang di sekitar kita tidak nyaman? Bila kita punya sifat takut kegelapan, tidakkan akan menyulitkan suami, ayah, ibu atau saudara-saudara kita ketika tiba-tiba lampu mati di tengah malam? Apa lagi bila saat itu pengen pipis. Nah!

Simpanlah 101 kekurangan diri yang telah kau tulis tadi. Boleh engkau buat hidden, kau simpan di tempat paling tersembunyi, bila tidak ingin orang lain membacanya. Kelak, setahun mendantang, tengoklah kembali daftar itu. Coba teliti kembali, lalu coretlah keburukan-keburukan yang telah bisa kau lenyapkan selama setahun. Bagus sekali bila kau mampu mencoret 50 atau setidaknya 40 nomor. Luar biasa bila yang kau coret 80 atau 90 nomor. Berapapun daftar keburukan yang bisa kau coret, segitulah hasil usahamu selama setahun. Bila hanya 2 atau 3 nomor saja yang bisa kau coret, ya segitu pulalah usahamu.

Setelah itu cobalah untuk mencari kembali kekurangan-kekurangan dan keburukan-keburukan diri lainnya. Bila toh tadi kau telah mencoret 40 nomor, kemungkinan besar kau masih dapat melengkapinya lagi hingga hitungan 101. Masih tidak percaya? Ya buktikan saja sendiri!

Simpanlah lagi daftar yang telah kau perbarui, kelak satu tahun mendatang kau bisa mengevaluasinya kembali. Selamat merenungi diri!

Manusia Bodoh

ADA Band barangkali sedang dalam kontemplasi terdalam ketika dulu mencipta lagu Manusia Bodoh-nya. Benar, kita ini manusia-manusia bodoh. Boleh engkau mengelak kalau tidak setuju. Barangkali kau seorang yang berkeluasan ilmu. Kalau begitu, biarlah penulis bercerita tentang diri yang bodoh ini.

Benar bahwa saya telah menamatkan SD, SMP, SMK, lalu jenjang S1. Juara kelas sering pula. Tapi seberapapun ilmu yang saya miliki, itu masih sedikit, bahkan teramat sedikit. Ilmu Ekonomi adalah bidang saya, setidaknya saat berada di bangku kuliah. Akan tetapi tentang Pendapatan Nasioanl pada Ekonomi Makro, tentang kliring pada Perbankan, tentang amortisasi pada Akuntansi, tentang Marketing Mix pada Pemasaran, tentang bai’ al istisna pada Ekonomi Islam; ilmu-ilmu yang cukup umum ini saja teramat sedikit saya kuasai.

Padahal ilmu ekonomi seharusnya menjadi spesialisasi saya. Bila harus melirik bidang-bidang ilmu lainnya; kedokteran, fisika, kimia, komputer, biologi, psikologi, sosiologi dan sebagainya, maka apa yang saya ketahui tak ada seujung kuku dibanding keluasan ilmu-ilmu tersebut. Jangankan mempunyai pemahaman, istilah-istilahnya saja terlalu banyak yang belum pernah saya dengar atau saya baca. Ekstrimnya boleh dibilang saya tak tahu apa-apa.

Tentang hal-hal yang berada di sekitar saya ketika menyusun kalimat-kalimat ini saja begitu banyak yang tidak saya mengerti. Ketika menatap komputer, saya dapati sebuah pertanyaan besar; Kok bisa? Salah satunya, saya hanya menekan tombol-tombol di keyboard, kok bisa muncul tulisan di monitor? Takkan ketemu jawabannya bagi orang yang berpengetahuan minim seperti saya. Untuk memahami dengan utuh jawaban dari satu pertanyaan itu saja, betapa banyak ilmu pengetahuan yang kita butuhkan. Setidaknya kita harus mengerti tentang listrik, perubahan energi dari listrik ke cahaya, tentang komponen-komponen elektronika, tentang bahasa program, tentang software, tentang hardware, juga tentang perpaduan antara software dan hardware. Ah, terlalu banyak yang tidak saya ketahui.

Lalu ketika melihat baju batik yang saya kenakan, muncul banyak sekali pertanyaan. Bagaiman menyusun warna-warni batik ini dengan rapi? Bagaimana warnanya bisa tak lutur ketika kena sabun, sedang warna-warna dari kotoran bisa dihilangkan dengan sabun cuci? Bagaimana juga mesin jahit bekerja begitu rapi menyusun baju ini? Bagaimana mesin pemintal mampu menyusun benang-benang menjadi begini rapat juga rapi? Belum lagi bila harus bertanya bagaimana membuat benang, membuat kancing baju atau membuat resleting. Lagi-lagi saya sama sekali tak mengerti.
Ketika menatap meja kerja saya yang berkaca agak hitam, timbul lagi berbagai pertanyaan. Tersusun dari unsur apakah warna hitam pada kaca ini? Bagaiman kaca bisa memberikan bayang-bayang? Mengapa kaca yang agak hitam ini tetap dapat ditembus cahaya? Bagaimana membuat permukaan kaca bisa sehalus ini? Untuk yang ke sekian kalinya saya sama sekali tak tahu jawabannya.

Barangkali engkau dapat menjawab dengan gamblang akan beberapa pertanyaan yang baru saja saya ajukan. Tapi bila saya terus mengajukan berbagai pertanyaan lain, saya yakin akan lebih banyak yang tidak kau ketahui jawabannya dari pada yang kau tahu. Ini baru tentang apa yang terlihat saat saya mengetik tulisan ini, padahal bumi yang kita tempati begini luasnya. Belum lagi bila kita melihat alam semesta yang di dalamnya terdapat Guci yang di dalamnya Group Nebula yang didalamnya Himpunan Nebula yang di dalamnya lagi Nebula yang di dalamnya lagi Galaksi yang salah satunya ada tata surya yang didalamnya bumi yang kita tempati. Galaksi saja jari-jarinya sekitar 50.000 Tahun Cahaya. Artinya kalau ada lampu senter yang cahayanya dapat tembus ke mana saja, bila kita hidupkan senter itu di titik pusat galaksi yang biasa di sebut Black Hole itu, cahayanya baru akan sampai titik piggir galaksi setelah 50 ribu tahun yang akan datang. Padahal satu detik kecepatan cahaya dapat mencapai jarak 299.792,46 km. Lalu berapa kira-kira luas satu galaksi? Engkau kalikan saja sendiri! Itu baru satu galaksi, lalu berapa luasnya alam semesta yang terdiri dari milyaran galaksi ini? Dari yang saya baca, jawabannya sekitar 50 x 10 pangkat 58 Tahun Cahaya. Bila kita tulis angka nol-nya berarti 500.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000 Tahun Cahaya. Itu pun masih terus meluas. Subhanallaah. Rabbanaa maa khalaqta haadzaa baatilaa.

Kenyataan ini sekali lagi membuktikan bahwa kita-kita ini hanya manusia bodoh. Betapa secuwil ilmu yang kita miliki. Belum lagi yang sedikit itu masih jarang kita manfaatkan dengan benar. Jadilah bodoh di atas bodoh.

Perilaku manusia sehari-hari membuktikan bahwa kita benar-benar bodoh. Sudah tahu merokok itu tidak baik, di bungkusnya terpampang peringatan bahwa merokok dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, tetap saja tak mau berhenti merokok. Sudah tahu kalau ingin sukses harus terus belajar dan bekerja keras, tapi justru hidup bersantai. Sudah tahu bahwa dibohongi, dicurangi, dan dikhianati itu menyakitkan, ee… kitanya justru sering berbuat yang sama terhadap orang lain. Banyak lagi contoh semacam itu.

Ya, tentang diri sendiri saja kita seringkali tak mengerti. Mengapa tiba-tiba menjadi malas, mengapa susah konsentrasi, mengapa sulit untuk ikhlas, mengapa ada keinginan untuk berbuat curang, mengapa selalu ingin mementingkan diri, mengapa dan mengapa.
Paling tidak, kita masih memiliki kesadaran akan kebodohan diri. Dengan itu kita akan terus belajar tanpa kenal henti. Dari pada sok pintar, padahal isinya kosong mlompong. Malu-maluin dong!

Maka, mari terus BELAJAR! Bukan hanya agar kita banyak ilmu; jadi pintar, melainkan juga agar kita semakin bijak menyikapi kehidupan. Telah terlalu banyak derita di dunia ini, karena manusia tak mampu bersikap bijak; pada dirinya juga terhadap orang lain. Karena itu mari belajar menjadi bijak!
abcs