Membawa Suasana Prancis Ke Malioboro



Jalan-jalan di Malioboro, baik malam maupun siang, sebenarnya sudah cukup sering kulakukan. Terutama dulu, waktu masih kuliah dan bekerja di Jogja. Akan tetapi, baru kali ini kami sengaja menginap dekat Malioboro, untuk menikmati suasana malam di sana.
Alhamdulillah, rencana ke Bonbin Jurug terlaksana. Yang kami batalkan adalah wisata kuliner malam di Solo dan menengok Candi Prambanan. Usai berkeliling di Jurug kami langsung menuju Jogja. Satu bust elf, satu bus besar antar kota, satu bus trans dan satu becak kami naiki. Tentu dengan berbagai kesulitan dan kenikmatannya. Sampailah kami di sebuah Hotel di sebelah Kali Code – kabarnya Kali Code jadi tempat wisata pula, tak tahu sebelah mana. Tentu saja, hotel bertarif murah, dengan fasilitas parah. Sengaja, biar irit. Yang penting bisa buat istirahat.
 Anehnya, si penjaga hotel, melihat kami membawa dua krucil, langsung bilang. “Wah, kalau di sini tidak ada Tvnya. Nanti anaknya pasti minta TV. Mending di Hotel sebelah saja, ada TVnya.” Bukannya berusaha dengan segala cara agar mau nginep di situ, malah ditawari hotel sebelah. 
Kami lihat juga hotel sebelah itu. Lumayan, cukup luas, double bed, kamar mandi dalam, TV. Tapi pada akhirnya kami kembali ke Hotel yang tadi, yang tak ada TVnya. Lha di rumah juga gak ada TV kok. Sudah biasa. Malah, sejak dulu memang kami coba berkomitmen untuk tak memelihara TV. Kabarnya,mudharat TV jauh lebih banyak dari manfaatnya. “TV itu justru akan bermanfaat jika dimatikan,” kata ustadz Fauzil Adhim.
 Usai bersih diri dan shalat, kami keluar hotel, jalan kaki menuju Malioboro. Si Lavy berkali-kali minta balek lagi ke hotel. Bukan masalah kelelahan jalan kaki. Tapi karena mainan mobil-mobilan yang baru dibeli dijurug ditinggal di hotel. Baru sempat mainkan itu sebentar, masih pengen mainan. Kami bujuk, mau juga dia jalan. Dalam kondisi lelah, dari Code ke Malioboro terasa lebih jauh. Tak apa. Tadinya sebenarnya pengen nginem di sekitar jalan Malioboro. Malah di FB ada seorang kawan yang telah memberi alternatif wisma murah meriah di samping Malioboro Mall. Tapi karena si becak terlanjur mengantar kami ke dekat Kali Code, ya sudah, nginep di situ saja.
 Sampai juga kami di Malioboro. Masih seperti dulu. Malah sepertinya tak ada yang berubah. Tetap saja rame..., he. Ya iyalah...
 Tapi ada satu yang sepertinya baru. Di jalan becak, pinggir jalan utama Malioboro ada sekelompok pemuda. Seniman, musisi. Mereka  tampil di situ menggunnakan berbagai alat musik, termasuk angklung. Enak di dengar juga. Kami terus berjalan ke selatan sambil melihat-lihat dan mendengarkan musik jalan itu.  Tak jauh dari situ, ternyata ada sekelompok seniman lainnya. Mirip dengan yang tadi. Hanya, di depan para pemain musik itu, terdapat beberapa pemuda yang menari-nari seiring gamelan. Salah satunya bersolek dan mengenakan pakaian yang rada aneh.
 Aku tak tahu, mereka itu mengamen atau sekedar pengen tampil di jalanan. Pengen dilihat banyak orang. Atau mereka pengen membawa suasana Prancis ke Malioboro. Kabarnya di negeri tempat berdirinya Eifel itu masyarakatnya sangat menghargai seni, hingga beragam seni tampil bebas di jalanan. Seni-sening yang mencengangkan. Apa saja.
 Yang jelas, kuanggap mereka itu seniman, tak sekedar pengamen, bila toh mereka mengamen. Apa bedanya? Ini definisiku sendiri. Kalau pengamen, ya orang atau sekelompok orang yang bernyanyanyi dan memainkan musik sekenanya, lalu meminta-minta dari orang-orang yang melihat dan mendengarnya.
 Sedangkan seniman, meskipun mereka mengamen, fokus mereka adalah seni itu sendiri. Jadi mereka serius terhadap seni yang digelutinya. Mereka belajar dan terus meningkatkan kualitas. Jadi ketika tampil di mana pun, mereka tak sekedar mengamen, tapi menggelar seni. Tentu saja lebih enak dinikmati.
 Aku dan istri jadi ingat pengamen setengah seniman yang sering mangkal di Terminal Jombor. Biasanya dua orang, satu peang gitar, satunya biola. Biasanya menyanyikan lagunya Ebit G Ade. Kebetulan aku dan istri juga suka Ebit. Musiknya enak, tak sekedar genjreng-genjreng sekenanya. Benar-benar musik yang hidup. Mendendangkan lagunya juga bagus. Mereka berdua bernyanyi, suara satu suara dua, tak sekedar teriak-teriak bersama. Entah, dua pengamen setengah seniman itu masih ada apat tidak. 
Nah, ke selatan sedikit kami ketemu penjual gudeng. Mampir lah kami di situ. Makan gudeg Jogja sambil menikmati Malioboro dan Kesenian Jalanan yang baru kami lihat kali ini. Oke, ini dulu, sampai jumpa di serial travel-an berikutnya.

0 Responses
abcs