Bukan Lagi Pesaing





Masih tentang Malioboro, apa sih menariknya?

Bila mendapat pertanyaan itu, jawaban orang pasti berbeda-beda. Tergantung, dari sudut mana mereka memandang. Kalau menurutmu, apanya yang menarik?

Pertanyaan semacam itu tiba-tiba menggelitik hatiku. Sebenarnya, kenapa Malioboro menjadi sedemikian populer dan menarik untuk dikunjungi? Aku sendiri, kali ini bersama istri dan dua anakku sengaja menginap di dekat Malioboro, guna menikmati suasananya, terutama di malam hari. Sebenarnya aku masih punya beberapa sahabat di Jogja. Demikian pula istri. Kalau mau, kita bisa singgah di salah satu rumah mereka. Tinggal kontak-kontak saja. Mungkin malah akan dijemput. Malah aku juga punya paman yang tinggal di kawasan Pathuk yang terkenal dengan bakpianya itu. Akan tetapi, tujuan kami kali ini memang Malioboro. Jadi kami putuskan untuk menginap dekat situ, seperti turis beneran.

Iya, seperti namanya yang dalam Bahasa Sansekerta berarti karangan bunga, Malioboro memang memiliki daya tarik yang kuat.

Nah, ada apa saja di Malioboro? Ada beberapa mall. Tentu saja di banyak tempat, ada juga banyak Mall. Ada penjual pernak-pernik – dari gelang-gelangan hingga miniatur sepeda Onta – dan pakaian di depan mall-mall dan toko-toko di sepanjang jalan Malioboro. Tentu, penjual serupa juga banyak, tak hanya di Malioboro. Ada pasar Beringharjo yang luas dengan aneka barang dagangan yang komplit. Tentu saja, pasar yang luas dan komplit juga tak hanya pasar Beringharjo yang terletak di samping jalan Malioboro itu. Ada berbagai kuliner lesehan, seperti gudeg. Tentu saja, di banyak tempat, wisata kuliner juga banyak.

Maka, bagiku Malioboro menarik secara keseluruhan. Tidak untuk dipisah-pisahkan. Termasuk lokasinya yang setrategis. Di sebelah utara terdapat stasiun Tugu. Di Selatan ada Kraton. Masih di dekat Malioboro, ada pusat-pusat jajanan, Bakpia Pathuk. Ada pasar buku Shoping. Ada Taman Pintar. Ada Hotel Melia Purosani yang Menjulang. Aku rasa, semua itu saling mendukung, hingga Malioboro dan sekitarnya menjadi kawasan wisata yang semakin populer.

Ada satu hal yang kali ini ingin aku perbincangan. Ada kaitanya dengan dunia bisnis, marketing. Di Malioboro ada beberapa Mall besar, seperti Malioboro Mall, Ramai, Ramayana dan beberapa lainnya. Apa saja yang ada di Mall? Ah, tak perlu aku rinci, kita semua sudah mafhum. Intinya apa yang ada di Mall ya seperti itu, mirip-mirip. Akan tetapi tak satu pun Mall yang ada di Malioboro sepi pengunjung.

Di bahu jalan Malioboro, terdapat banyak sekali penjual cinderamata, seperti telah kusinggung. Ada penjual gelang rotan dan sejenisnya, bandul kunci, kerajinan  perak, wayang kulit, blangkon, miniatur kendaraan, pakain batik, kaos  dan sebagainya. Tentu saja, banyak pedagang yang menjual barang yang sama dengan pedagan lainnya. Mereka menjual di tempat yang berdekatan, masih di sepanjang jalan Malioboro itu. Akan tetapi, banyaknya ‘pesaing’ tak membuat mereka kekurangan pembeli. Buktinya mereka masih bertahan berjualan di situ. Dan memang, di sepanjang jalan Malioboro itu selalu saja ramai. Kita harus berdesak-desakan jika lewat di antara para penjual cinderamata itu.

Demikian pula di Pasar Beringharjo, banyak sekali pedagang menggelar dagangan yang sama. Ketika memasuki pasar tersebut dari pintu Malioboro, maka kita akan bertemu ratusan kios yang menjual pakaian. Ramai, semua mendapat pengunjung dan pembeli masing-masing. Banyaknya ‘pesaing’ lagi-lagi bukan berarti mengurangi jumlah customer.

Demikian pula, ketika esok paginya, untuk pertama kali kami mencoba sarapan di kawasan wisata kuliner Gudeg Wijilan, di sebelah timur Kraton. Berderet warung makan. Yang dijual sama, gudeg. Akan tetapi lagi-lagi, semua memperoleh pengunjung masing-masing. Tak ‘kesepian,’ tak gulung tikar.  

Nah, ketika kawasan tertentu telah menjadi komplek, tempat yang terkenal menjadi pusat tertentu, entah pusat jajanan, pusat mainan, pusat kerajinan, pusat meuble, atau pusat apa saja, kawasan itu seringkali menjadi lebih terkenal. Menjadi alternatif utama ketika seseorang hendak mencari sesuatu yang dapat diperoleh di kawasan tersebut. Maka pedangang yang menjual barang dagangan yang sama atau serupa bukan lagi menjadi pesaing. Akan tetapi mereka bersama-sama menarik pengunjung dan pelanggan yang lebih banyak.

Teringat aku ketika dulu, jaman kuliah, aku kerja di sebuah rental komputer dan fotokopian. Pak Hamid, pemilik rental komputer itu sengaja memilih tempat di samping rental komputer yang sudah ada. Prinsipnya itu, mengundang pelanggan yang lebih banyak. Pelanggan mungkin akan berpikir; “Di situ ada dua rental komputer, kalau satunya tutup bisa langsung ke sebelahnya.”

Nah, ini dulu. Semoga ada manfaatnya. Sampai jumpa kawan.

Membawa Suasana Prancis Ke Malioboro



Jalan-jalan di Malioboro, baik malam maupun siang, sebenarnya sudah cukup sering kulakukan. Terutama dulu, waktu masih kuliah dan bekerja di Jogja. Akan tetapi, baru kali ini kami sengaja menginap dekat Malioboro, untuk menikmati suasana malam di sana.
Alhamdulillah, rencana ke Bonbin Jurug terlaksana. Yang kami batalkan adalah wisata kuliner malam di Solo dan menengok Candi Prambanan. Usai berkeliling di Jurug kami langsung menuju Jogja. Satu bust elf, satu bus besar antar kota, satu bus trans dan satu becak kami naiki. Tentu dengan berbagai kesulitan dan kenikmatannya. Sampailah kami di sebuah Hotel di sebelah Kali Code – kabarnya Kali Code jadi tempat wisata pula, tak tahu sebelah mana. Tentu saja, hotel bertarif murah, dengan fasilitas parah. Sengaja, biar irit. Yang penting bisa buat istirahat.
 Anehnya, si penjaga hotel, melihat kami membawa dua krucil, langsung bilang. “Wah, kalau di sini tidak ada Tvnya. Nanti anaknya pasti minta TV. Mending di Hotel sebelah saja, ada TVnya.” Bukannya berusaha dengan segala cara agar mau nginep di situ, malah ditawari hotel sebelah. 
Kami lihat juga hotel sebelah itu. Lumayan, cukup luas, double bed, kamar mandi dalam, TV. Tapi pada akhirnya kami kembali ke Hotel yang tadi, yang tak ada TVnya. Lha di rumah juga gak ada TV kok. Sudah biasa. Malah, sejak dulu memang kami coba berkomitmen untuk tak memelihara TV. Kabarnya,mudharat TV jauh lebih banyak dari manfaatnya. “TV itu justru akan bermanfaat jika dimatikan,” kata ustadz Fauzil Adhim.
 Usai bersih diri dan shalat, kami keluar hotel, jalan kaki menuju Malioboro. Si Lavy berkali-kali minta balek lagi ke hotel. Bukan masalah kelelahan jalan kaki. Tapi karena mainan mobil-mobilan yang baru dibeli dijurug ditinggal di hotel. Baru sempat mainkan itu sebentar, masih pengen mainan. Kami bujuk, mau juga dia jalan. Dalam kondisi lelah, dari Code ke Malioboro terasa lebih jauh. Tak apa. Tadinya sebenarnya pengen nginem di sekitar jalan Malioboro. Malah di FB ada seorang kawan yang telah memberi alternatif wisma murah meriah di samping Malioboro Mall. Tapi karena si becak terlanjur mengantar kami ke dekat Kali Code, ya sudah, nginep di situ saja.
 Sampai juga kami di Malioboro. Masih seperti dulu. Malah sepertinya tak ada yang berubah. Tetap saja rame..., he. Ya iyalah...
 Tapi ada satu yang sepertinya baru. Di jalan becak, pinggir jalan utama Malioboro ada sekelompok pemuda. Seniman, musisi. Mereka  tampil di situ menggunnakan berbagai alat musik, termasuk angklung. Enak di dengar juga. Kami terus berjalan ke selatan sambil melihat-lihat dan mendengarkan musik jalan itu.  Tak jauh dari situ, ternyata ada sekelompok seniman lainnya. Mirip dengan yang tadi. Hanya, di depan para pemain musik itu, terdapat beberapa pemuda yang menari-nari seiring gamelan. Salah satunya bersolek dan mengenakan pakaian yang rada aneh.
 Aku tak tahu, mereka itu mengamen atau sekedar pengen tampil di jalanan. Pengen dilihat banyak orang. Atau mereka pengen membawa suasana Prancis ke Malioboro. Kabarnya di negeri tempat berdirinya Eifel itu masyarakatnya sangat menghargai seni, hingga beragam seni tampil bebas di jalanan. Seni-sening yang mencengangkan. Apa saja.
 Yang jelas, kuanggap mereka itu seniman, tak sekedar pengamen, bila toh mereka mengamen. Apa bedanya? Ini definisiku sendiri. Kalau pengamen, ya orang atau sekelompok orang yang bernyanyanyi dan memainkan musik sekenanya, lalu meminta-minta dari orang-orang yang melihat dan mendengarnya.
 Sedangkan seniman, meskipun mereka mengamen, fokus mereka adalah seni itu sendiri. Jadi mereka serius terhadap seni yang digelutinya. Mereka belajar dan terus meningkatkan kualitas. Jadi ketika tampil di mana pun, mereka tak sekedar mengamen, tapi menggelar seni. Tentu saja lebih enak dinikmati.
 Aku dan istri jadi ingat pengamen setengah seniman yang sering mangkal di Terminal Jombor. Biasanya dua orang, satu peang gitar, satunya biola. Biasanya menyanyikan lagunya Ebit G Ade. Kebetulan aku dan istri juga suka Ebit. Musiknya enak, tak sekedar genjreng-genjreng sekenanya. Benar-benar musik yang hidup. Mendendangkan lagunya juga bagus. Mereka berdua bernyanyi, suara satu suara dua, tak sekedar teriak-teriak bersama. Entah, dua pengamen setengah seniman itu masih ada apat tidak. 
Nah, ke selatan sedikit kami ketemu penjual gudeng. Mampir lah kami di situ. Makan gudeg Jogja sambil menikmati Malioboro dan Kesenian Jalanan yang baru kami lihat kali ini. Oke, ini dulu, sampai jumpa di serial travel-an berikutnya.

Antara Bonbin Jurug dengan Mangkang



Pernah suatu ketika, di masa mudaku, he, aku dah dan sahabatku, Ayi syafaat, nyasar ke Kopeng. Padahal kita mau ke Taman Kyai Langgeng. Puluhan kilo meter kami tempuhi, naik gunung, tinggi. Sampai di Kopeng, tempat wisata yang dituju, kami kecele, lha koq... “Begini doang?!” “Wah, hasil yang diperoleh tak sedahsyat perjuangan.” Begitu kira-kira pikiran kami.
Nah, tempo hari, ketika tiba di Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ), pikiran itu sempat pula singgah di benak. Ketika mulai memasuki Taman itu.. “Lha koq?”
Kesan pertama, sepi. Kesan kedua, semrawut. Ketiga, gak terawat ini bonbin. Keempat, mana hewannya?
Oke, mulai dari kesan keempat dulu. Beberapa saat setelah masuk TSTJ, kami melihat ada tiga ekor gaja, terikat kaki depan dan belakangnya. Masak diikat depan belakang begitu, mau balik kanan saja susah, pikirku. Apa tujuannya diikat begitu? Kemudian terlihat ada beberapa kurungan burung. Tapi setelah itu.., mana hewan-hewannya? Gak ada lagi?
Rupanya, hewan-hawan lain terletak jauh dari pintu masuk. Kami harus menyusuri jalan mengitari danau yang cukup luas, baru dapat melihat koleksi hewan yang lebih banyak. Tentang koleksi hewan di Bonbin Jurug ini, sesungguhnya tak sedikit-sedikit amat. Standar lah untuk ukuran bonbin kecil. Ada harimau, singa, buaya, berbagai macam kera, orang utan dan sejenisnya, beruang, onta, rusa, kudanil dan sebagainya. Tak jauh berbeda jika dibanding koleksi kebon binatang Mangkang, Semarang. Tentu tak adil jika harus kubandingkan dengan Gimbira Loka di Jogja atau Cisarua Bogor.
Itu tentang koleksi. Akan tetapi soal fasilitas dan pelayanan terhadap pengunjung, TSTJ jelas kalah jauh dengan pelayanan di Bonbin Mangkang. Kebetulan aku, istri dan anak-anak sempat pula berkunjung ke sana. Setelah masuk Bonbin Mangkang, melalui jalur masuk, kita langsung disuguhi dengan fasilitas naik gajah. Siapapun boleh naik gajah dengan membayar uang tertentu. Setelah itu, melalui jalur masuk ini, sepanjang jalan macam-macam hewan langsung dapat kita lihat; gajah, berbagai macam burung, rusa dan seterusnya. Kita tak harus berjalan jauh sekali terlebih dahulu seperti di Jurug untuk melihat koleksi hewan.
Di Mangkang juga terdapat danau yang luas. Terdapat fasilitas kapal genjot yang dapat disewa pengunjug untuk berputar-putar di danau tersebut. Di Jurug sebenarnya juga ada kapal, akan tetapi tak beroperasi lagi. Kapal itu teronggok, tempat pembelian karcisnya pun tak ditunggui lagi. Di Mangkang, untuk mengelilingi danau dan wilayah kebun binatang, terdapat pula kereta kuda dan mobil kereta yang dapat dinaiki. Sedang di Jurug, kita harus berjalan kaki secara total untuk menuju setiap sisi kebon binatang. Di dekat pintu masuk sebenarnya terlihat mobil odong-odong. Akan tetapi nasib mobil itu sepertinya lebih parah dari nasib si kapal. Tak hanya teronggok, tapi juga telah terliihat hancur. Roda-rodanya sebagian kempes, sebagian lagi entah ke mana. Badannya terlihat berkarat dan berantakan. Sudah jelas tak dapat dijalankan lagi. Repotnya lagi, di TSTJ ini jalan tak terdapat jalur exit. Jalan masuk dan jalan keluar sama saja. Jadi setelah melihat koleksi binatang, kita kembali harus berjalan mengitari danau yang luas tadi. Untuk anak kecil tentu melelahkan, bisa jadi harus minta digendong orang tuanya.
Selain itu, di Mangkang pengunjung yang merasa tertantang juga dapat menikmati meluncur di atas danau, Flying Fox. Kemudian dibangun pula waterboom untuk arena bermain. Terutama keluarga yang mengajak anak-anak berkunjung ke bonbin Mangkang dapat sekaligus berenang dan bermain air setelah puas melihat hewan dan menikmati fasilitas lain di bonbin tersebut.
Kesan kedua dan ketiga terhadap TSTJ tadi, semrawut dan tak terawat, cukup terasa juga. Selain yang sudah kusebutkan; ada kapal tak beroperasi lagi, mobil odong-odong yang rusak parah dan dibiarkan teronggok, beberapa hal lain semakin menambah kesan itu. Ada Rungga, rumah serangga – sepertinya Rungga sempat menjadi unggulan bonbin ini. Terlihat cukup banyak iklan mengenai Rungga ini di areah bonbin – yang tutup, tak beroperasi. Beberapa peralatan teronggok berantakan di depan Rungga ini. Di danau, ada pula jembatan bambu yang tak lagi dipakai. Di tepi jembatan diberi penghalang, di terdapat tulisan; “Maaf, bukan jalan untuk umum.”
Nah, pokoknya aku merasa eman dengan kondisi bonbin ini. Kandang-kandang binatangnya pun terlihat tua dan tak pernah ada pembaruan lagi. Padahal, andai dikelola dengan lebih baik, bonbin ini akan menjadi salah satu aset Solo yang sangat berharga. Ngomong-ngomong soal pengeloaan, kabarnya bonbin ini telah berkali pindah tangan.
Taman Satwa Taru Jurug Solo pada awalnya merupakan pindahan Kebun Binatang Sriwedari yang lebih dikenal dengan sebutan “ Kebun Rojo“ yang didirikan Sri Susuhunan Paku Buwono X pada tanggal 20 Tahun Dal 1381 atau 17 Juli 1901 dan merupakan Kebun Binatang tertua. Pada awalnya merupakan tempat hiburan bagi keluarga Raja (berisi koleksi satwa).  Pada perkembangannya menjadi tempat rekreasi untuk masyarakat.
Pada tahun 1983 Masehi, Kebun Rojo Sriwedari dipindahkan ke Taman Jurug karena posisinya yang berada di pusat Kota Surakarta dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kota. Dipindahkanya Kebun Binatang Sriwedari ke Taman Jurug pada mulanya bersifat titipan dari pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta, pada tempat rekreasi Taman Jurug yang merupakan salah satu taman rekreasi yang berada di Kota Surakarta bagian timur, didirikan Tahun 1975 yang dikelola oleh PT. Bengawan Permai.
Sayangnya PT. Bengawan Permai tidak mampu mengelola satwa titipan tersebut dan pada tahun 1986 pengelolaannya diserahkan kembali kepada Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta. Melalui Surat Keputusan Walikota Kepada Daerah Tingkat II Surakarta No. 556/96/1986, pengelolaannya diserahkan kepada Dinas Pariwisata Daerah Tingkat II Surakarta.
Agar pengelolaannya lebih professional, dibentuklah Yayasan Bina Satwa Taru Surakarta yang anggotanya terdiri dari berbagai unsur Pemerintah, profesional, tokoh masyarakat, usahawan dan unsur pendidikan. Akan tetapi Yayasan Bina Satwa Taru ternyata belum dapat memenuhi harapan masyarakat, sehingga pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta bekerjasama dengan investor PT. Solo Citra Perkasa. Lagi-lagi, Taman Jurug masih belum berjalan seperti yang diharapkan, bahkan PT. SCP selaku pengelola tidak dapat memenuhi kewajiban seperti yang tertuang dalam Surat Perjanjian. Selain itu PT. SCP tidak dapat menjalin kerjasama dengan masyarakat.
Maka pada tanggal 8 Nopember 2000 Pemerintah Kota Surakarta mengambil alih pengelolaan TSTJ dan dibentuklah Tim Pengelola Sementara TSTJ Surakarta yang diketuai oleh Asisten I Tata Praja dan beranggotakan Instansi terkait dibantu dari Kebun Binatang Gembiraloka Yogyakarta.
Setelah Tim Pengelola Sementara TSTJ berjalan kurang lebih 2 tahun, kemudian Walikota Surakarta membentuk pengelolaan menjadi Unit Pengelolaan Taman Satwa Taru Jurug. Ternyata Unit Pengelolaan ini dipandang kurang sesuai pula, hingga perlu untuk disempurnakan menjadi BUMD.
Nah, terus berpindah tangan dan tidak beres terus. Mudah-mudahan saja TSTJ tidak semakin terbengkelai dan semakin sepi pengunjung. Mudah-mudahan BUMD yang sekarang mengelola bonbin tersebut segera dapat melakukan terobosan-terobosan baru, mengadakan berbagai pembaruan di bonbin tersebut. Semoga TSTJ akan menjadi taman satwa yang semakin menarik untuk dikunjungi, menjadi pilihan keluarga-keluarga –Indonesia terutama – untuk berwisata. Syukur-syukur dapat menarik wisatawan manca negara.  

Engkau Bertanya, Mereka Menjawab Lebih





Tulisan ini, insya Allah akan menjadi serial travel-an kali ini. Catatan ini adalah tulisan kedua, setelah Travel-an Plan yang kuposting beberapa hari lalu. Saat ini jam tiga pagi di sebuah hotel (Namanya memang hotel, tapi kondisi kamarnya jauh lebih parah dari kos-kosan mahasiswa yang gak banyak duit. Maklumlah, kita nyari yang murah meriah. Ternyata benar, ada pula tempat-tempat menginap sekitar sini, yang tarif sehari kurang dari 100 ribu) di dekat Malioboro. Engkau yang cukup mengenal Jogja pasti tahu, di dekat Malioboro, ada Hotel yang megah, Melia Purosani. Nah, di dekat situ kami menginap saat ini, he.
Ini baru sempat nulis, setelah tempo hari kita full jalan-jalan. Seingatku, kami berempat – tentu saja aku, istri , Lavy dan Mayluf -  tempo hari sempat naik kereta, naik 7 Bus, plus sekali mbecak. Pemalang-Semarang naik Kaligung, Semarang-Salatiga, Salatiga-Semarang naik Bus. Setelah empat bus ditumpangi, barulah kami sampai di tujuan pertama kali, Taman Satwa Taru Jurug yang berdampingan dengan Bengawan Solo. Kami batalkan wisata kuliner malam dan menginap di Solo, kami langsung menuju jogja dengan Bus. Dari terminal Giwangan naik Trans, rencananya langsung ke Malioboro. Kata mbak kondektur bisa turun di Taman Pintar. Setelah mbak kondektur bilang; “Yang Malioboro, yang Taman pintar....” kami pun turun. Lha koq... entah di mana. Taman Pintar, Malioboro, sama sekali tak kelihatan. Maksudnya apa? Setelah bertanya orang di situ, ternyata kami harus naik Trans lagi untuk sampai taman pintar. Lah....
Akhirnya kami pilih mbecak, sekalian minta di antar ke penginapan yang murah....
Tentang Bonbin di Jurug, Solo, insya Allah akan menjadi serial berikutnya. Kali ini, kita berbincang dulu tentang..., sesuai judul lah, tentang bertanya dan menjawab. Ketika kita bepergian menggunakan transportasi umum, itu adalah kesempatan bagi kita untuk memperoleh kenalan dan teman perjalanan yang baru. Apa lagi bila kita bepergian sendirian, selalu ada tempat untuk di duduki orang lain di samping kita, entah di bus entah kereta. Nah, kita bisa kenalan, ngobrol dengan orang tersebut.
Walaupun tidak sering, tapi tak dapat dibilang jarang pula aku bepergian menggunakan angkutan umum. Maka tak jarang pula aku harus duduk berdampingan dengan orang tak kukenal. Terkadang aku enggan menyapa, merasa tak ada gunanya. Apa lagi bila orang di sampingku itu juga acuh, kelihatan orang cuek. Kali ini, karena selain menikmati liburan, tujuan travel-an ini memang untuk mendapatkan hikmah perjalanan, maka aku harus gunakan kesempatan apa saja menggali dan memperoehnya. Termasuk bertanya-tanya pada orang di sampingku.
Ketika naik kereta Kaligung, Pemalang-Poncol, kami menggunakan tiga tiket dewasa dan satu tiket anak-anak. Tiket anak-anak berarti tanpa bangku. Nah kami dapat tiga sit. Karena itu aku duduk terpisah dari istriku. Si Mayluf-lah yang seringkali duduk di pangkuan, main-main, pindah ke bangku kosong samping bundanya, bersama lavy, pindah lagi ke pangkuanku. Nah, di sampingku ada penumpang lain. Aku harus menyapanya.
Orang ini, sepertinya tipe tak banyak bicara, mirip denganku barangkali. Ketika aku bertanya beberapa hal, dia menjawab, tapi dengan jawaban pendek-pendek. Ibarat soal untuk ujian di SDIT-ku, maka jawabannya adalah jawaban singkat dalam soal isilah titik-titik. Sama sekali bukan jawaban uraian. Ketika kutanya: “Ke Semarang dalam rangka apa?” misalnya, dia pun hanya menjawab “main aja.” Jawaban itu, bagiku adalah basa-basi orang Jawa, untuk menyembunyikan maksud sebenarnya. Iya, dari beberapa pertanyaan yang kuberikan, dia selalu saja memberi jawaban singkat seperti itu. Dia juga tak sekali pun bertanya balik kepadaku. Ah, sepertinya memang tipe pendiam. Entah pendiam secara umum atau pendiam terhadap orang baru yang dikenal.
Untung, kursi yang kududuki itu no 10 B, sebenarnya bukan untukku. Hanya karena masih kosong, aku duduki saja. Tempat duduk itu berhadap-hadapan dengan tempat duduk istriku dan Lavy, sedang tempat dudukku yang sebenarnya no 12 A, di belakang tempat duduk istri dan Lavy, saling membelakangi. Ketika para penumpang dari stasiun Pekalongan naik, aku pun terusir dari tempat duduk no 10 dan harus pindah ke 12 A. Nah, kesempatan untuk berbincang dengan orang baru lagi.
Sama seperti yang pertama, orang yang duduk di sampingku kali ini adalah lelaki paruh baya. Barangkali 5 sampai 10 tahunan lebih tua dariku. Bedanya orang ini jauh lebih ramah. Ketika aku menyapa dan bertanya, jawabannya tak sekedar jawaban-jawaban yang sangat singkat. Ada lah embel-embelnya. Setelah beberapa pertanyaan kuajukan, dia pun bertanya balik. Tidak cuek. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan yang kuberikan hampir sama dengan yang kuberikan pada orang pertama yang duduk di sampingku. Masih seputar asal dari mana, hendak ke mana, dalam rangka apa... Itu saja. Akan tetapi karena tanggapannya berbeda, kali ini benar-benar menjadi perbincangan. Tak seperti wawancara dengan seorang yang tak ingin diwawancarai, aku bertanya dia menjawab singkat.
Informasi yang aku dapat dari perbincangan kali ini tentu lebih dari yang kudapat dari orang pertama. Dia asli Tasik, tapi sudah menetap di Tegal. Pengusaha gorden. Saat ini sedang mengantar adiknya yang ingin mencari informasi tentang kampus-kampus di Semarang. Adiknya itu saat ini masih kelas 3 di SMA 1 Tegal, rencananya tahun depat kuliah di Semarang.
Nah, orang ini juga memberikan beberapa informasi yang sama sekali tak kutanya. Seperti, orang sunda yang tinggal di kota lain seringkali punya usaha sepertinya; gorden. Sebagian lagi jual air minum, lalu bubur kacang ijo, dan satu lagi aku lupa. Dia juga bercerita tentang tempat-tempat yang membuka usaha gorden seperti dirinya di Pemalang.Intinya, dia tak enggan dan tak segan-segan bercerita.
Aku rasa, tipe orang kedua yang kuajak bicara ini masih lebih banyak dari tipe yang pertama. Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang suka berbagi, meski hanya berbagi cerita. Karena berbagi dapat menjadi kenikmatan tersendiri. Ketika kita tak enggan bertanya, orang pun akan berbagi lebih banyak dari hal-hal yang kita tanyakan. Obrolan tercipta, di kita dapat memperoleh banyak tambahan ilmu dan informasi, bahkan dari orang yang baru saja kita kenal dan melah belum sempat menanyakan namanya.
Iya, mulai hari ini, sepertinya aku harus lebih banyak belajar, agar tak enggan bertegur sapa. Belajar untuk lebih banyak menggali hikmah dari siapa saja. Termasuk orang-orang tak kukenal yang beru sekali kutemui dan mungkin untuk sekali-kalinya itu aku bertemu dengannya. Semoga saja aku bisa.

Travel Plan



“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu  dibangkitkan” (QS Al-Mulk: 15)

Membaca buku TE-WE-nya Gol A Gong, jadi iri. Di usia mudanya beliau telah keliling Indonesia, bahkan keliling Asia. Subhanallah.  Iri, aku malah belum ke mana-mana. Keluar Jawa belum pernah. Ke timur, paling banter baru ke Bondowoso, Situbondo. Ke Barat juga baru sekitar Depok, Bogor. Ya aku belum ke mana-mana.

Padahal, sangat ingin juga menjelajah bumi. Mengukur tingginya Everest, menyesap dinginnya kutub utara, memandang jauh di pusat Sahara. Menyusur sungai dengan gedung-gedung mengambang di Venezia, menengok Eifel yang menjulang, menjelajah uniknya kota-kota dan di Inggris, lalu nyungsep ke kampung-kampungnya yang juga memukau, mencoba menemukan bahasa Inggrisnya orang Inggris yang medok.

Pulang ke Asia. Mekah dulu barangkali, haji. Lalu mendekat ke rumah, melongok sibuknya Mombay, membuktikan panjangnya Tembok Cina, mencicipi budaya Jepang yang beragam sekaligus unik, mencoba skytrain atau kereta bawah tanah di Thailand. Tetangga dekat, Malaysia, Brunai, boleh juga untuk di singgahi. Dan tentu saja, Amerika, Australia, bahkan Afrika, berikut negara-negara yang tak kusebut, semua akan menjadi tantangan, pengalaman dan dan lautan hikmah untuk merasai betapa indahnya hidup di dunia ini.

Semoga saja, kelililing dunia itu akan menjadi nyata bagiku.

Maka, liburan sekolah pekan depan, aku dan istri berencana mengajak anak-anak untuk travel-an. Tak keliling dunia memang, masih yang dekat-dekat saja. Karena yang dekat itu pun masih jarang kami lakukan. Biasanya paling keliling alun-alun, atau jalan-jalan di Widuri. Nah, rencana untuk pekan depan, kita naik kereta ke Semarang, naik bus ke Salatiga, terus ke Solo. Bermalam di sana. Esoknya ke Prambanan, lalu bernostalgia di sekitar Malioboro. Rencana bermalam di Jogja pula, entah nginepnya di mana. Nah, paginya ke Magelang. Pulang.

Iya, memang dekat-dekat saja. Tapi tetap akan menjadi hal menarik. Untuk perta kalinya kita merencanakan akan singgah di beberapa kota dalam sekali travel-an. Biasanya paling menuju satu kota, menikmati wisata atau kegiatan tertentu, lalu pulang. Kali ini, kita merencanakan untuk berwisata, berjalan-jalan di muka bumi, menyusur beberapa kota. Tentu saja, secara kecil-kecilan belajar jadi travel writer. Coba menggali hikmah dan menuang kisah-kisah yang kami temui di perjalanan.

Nah, teman-teman yang di Solo, di Prambanan, di Jogja, di Magelang, barangkali ada yang mau bersilaturahmi, sedia menjadi guid tanpa bayaran – atau sebut saja teman perjalanan – atau hendak menawarkan tempat singgah, boleh lah kabar-kabari. Atau ada yang mau ‘memanfaatkan’ perjalanan kami, boleh-boleh saja, barangkali kami bisa. Misalnya ada yang mau meminta kami berbagi tentang dunia tulis-menulis, insya Allah, semoga dapat diagendakan.

Moga ada dana. Semoga terlaksana... 

Ujian Anak Ujian Guru



Untuk mengetahui tingkat keberhasilan Kegiatan Belajar Mengajar, setiap sekolah selalu mengadakan evaluasi. Di antaranya dengan mengadakan ulangan dan ujian. Ada Ulangan Harian, Ulangan Tengah Semester, Ulangan Akhir Semester, Ujian Sekolah, hingga Ujian Nasional.
Untuk mempermudah perbincangan, kita sebut saja semua dengan kata ujian. Rupanya, ujian-ujian itu tak hanya menguji mereka, anak didik kita, tapi juga para gurunya. Aku sangat merasakannya akhir-akhir ini. Pada Ulangan Akhir Semester yang telah berlalu, pekan kemarin, seperti biasa, aku kebagian tugas menjaga, mendampingi guru wali.
Tak kutemukan masalah berarti ketika menjaga di kelas tiga. Soal dan lembar jawab dibagi, melayani beberapa anak yang bertanya, sudah. Akan tetapi giliran menjaga kelas empat, satu anak sungguh menguji kesabaran. Si A, sebut saja begitu, terlihat tidak antusias mengerjakan soal. Tidak antusias itu adalah bahasa halusnya. Bahasa yang lebih tegas bolehlah engkau pikir-pikir sendiri.
Nah, si A ini, setelah mengerjakan satu dua soal, lalu berhenti, mainan, jalan-jalan, mengganggu teman. Aku dan guru walinya berulang menegur, tapi berulang pula dia lakukan hal itu. Kalau pun segera kembali ke tempat duduknya, dia hanya diam, tak mengerjakan soal. Masih mending kalau cuma diam, anak yang duduk dekat dengannya dia usili pula.
Malah, karena tempat duduknya dekat dengan bangku ustadz-ustadzah, dia usili pula guru walinya sendiri. Dia tendang-tendang kaki ustadzahnya, tanpa rusa takut, rasa bersalah, apalagi sekedar rasa malu. Si ustadzah pun sepertinya sudah cukup pasrah menerima perlakuan itu dari muridnya sendiri. Dia hanya menergur biasa, seolah hal itu bukan persoalan besar. Membentak, memelototi, sepertinya takkan ada gunanya untuk anak yang satu ini. Teguran itu pun rupanya tak digubris si A. Ia masih saja menendangi kaki ustadzahnya di bawah meja. Hingga aku berreaksi pula.
“A...., sama ustadzahnya kok begitu..!” Tentu dengan suara yang cukup keras.
Nah, inilah sebagian ujian bagi guru, menghadapi tingkah polah peserta didik yang unik dan tidak biasa, kalau tidak boleh dibilang “nakal” atau bahkan “tidak masuk akal.”
Cerita tetang si A pun tak berhenti di situ. Pada akhirnya, toh si A, mengisi juga lembar jawab pelajaran matematika itu. Entah, dengan melihat, membaca, dan menganalisis soalnya atau diisi sekenanya. Yang kedua sepertinya lebih tepat. Buktinya lembar jawab itu lebih banyak terisi kata-kata dari pada angka-angka. Padahal yang dikerjakan adalah soal matematika. Malah yang sangat unik – kata unik ini tentu kiasan belaka – salah satu jawaban dari soal matematika itu adalah kalimat “kakek harus mati.”
Nah, bahwa soal yang semestinya dijawab dengan angka-angka tapi dijawab dengan kata-kata dan kalimat adalah persoalan, ujian bagi gurunya. Sedang kalimat “kakek harus mati,” mengundang tanda tanya besar. Apa yang telah terjadi pada anak ini? Kok bisa sedemikian rupa?
 Ini ujian bagi guru dengan bobot yang lebih berat. Kalau si A begitu sulit diminta mengerjakan soal adalah soal pilihan ganda dengan bobot nilai 1 bagi gurunya, maka kalimat “kakek harus mati” tadi adalah soal uraian dengan bobot nilai 3. Guru mana yang tak miris bila anak didiknya menuliskan kalimat itu pada lembar jawab pelajaran matematika, bukan Bahasa Indonesia?
Ujian berikutnya bagi guru adalah ketika mengoreksi hasil ulangan atau ujian peserta didiknya. Bila tenyata nilai-nilai peserta didik jauh dari harapan, sungguh akan jadi problema. KKM 70 tapi ada juga anak yang hanya memperoleh nilaih 20. Malah lebih dari separo tak lolos KKM. Nah, masalah. Ujian bagi guru.
Pun ketika aku mengoreksi tugas membuat karangan untuk anak-anak kelas lima, kudapati pula masalah, ujian bagiku. Pada salah satu karangan kutemukan anak menulis “Mereka berpelukan seperti anjing buldok,” lalu “Panjul dan Belia akhirnya bersahabat, mereka menjadi suami istri...” Ah, cerita anak kelas lima.
Pada cerita lain, seorang anak mengeluh, curhat. Dia sering disuruh teman-temannya mencucikan tempat makan. Kadang tak satu orang, tapi beberapa temannya minta dicucikan tempat makannya. Sampai dia lelah. Walau pun tulisan ini adalah cerita untuk memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia yang saya ampu, tapi jelas, itu adalah curhat yang nyata. Si anak pasti pernah mengalaminya, bukan fiksi belaka.  Nah, ini juga permasalahan, ujian bagi guru.
Pada tahap selanjutnya, ketika Ujian Nasional menghadang, ujian bagi guru juga sama dahsyatnya. Setiap guru, terutama guru kelas enam, termasuk juga kepala sekolah, semua diuji dengan hadirnya Ujian Nasional. Peserta Didik diuji kemapuannya, bagaimana harus mendapatkan nilai, yang kalau tidak bisa bagus, minimal harus memenuhi kriteria kelulusan.
Sedang para gurunya diuji, bagaimana agar seluruh peserta didik kelas enam lulus, tanpa satu pun tertinggal. Ujian ini berat, karena taruhannya harga diri. Bukan hanya harga diri guru wali kelas enam, tapi juga harga diri sekolah. Bagaima seluruh peserta didik bisa lulus, tanpa curang, tanpa trik-trik yang tidak halal, itu adalah ujian bagi guru dan seluruh civitas akademik sekolah. Nyatanya, banyak guru, banyak kepala sekolah yang gagal menghadapi ujian ini. Semoga kita lulus.
Baiklah, selamat menempuh ujian, para guru, para pendidik.
abcs