Hidup Kaya Raya Mati Masuk Surga

Inilah buku pertamaku. Agak culun-culun dikit, tapi tetep keren. N’ yang paling penting, buku ini telah merubah hidupku. Ternyata aku bisa juga jadi penulis, satu hal yang hingga lulus kuliah gak pernah terpikir olehku.
Satu pelajaran besar yang kudapat dari terbitnya buku ini: PD aja lagi!
Mula-mula aku tertarik menulis buku karena emang lagi gak ada kerjaan. Menganggur abis walk out dari sebuah perusahaan. Selesai aku tulis sebuah naskah buku, langsung aku masukkan ke penerbit. Aku datang ke sana, ketemu langsung sama manajernya, dibaca dan langsung ditolak. Ya Sudah!
Tapi aku dapat satu pelajaran penting dari manajer penerbit tersebut; ternyata tulisanku terlalu kaku dan gaya bahasanya sangat tidak menarik. Setelah itu aku menulis buku lagi dengan gaya bahasa yang lebih cair. Sekitar dua minggu kemudian, naskah buku yang belum jadi kuberikan ke penerbit yang sama. Niatnya agar dikritisi aja. Akan tetapi seminggu kemudian, ketika aku bertanya kepada manajer penerbit tersebut, jawabannya sungguh mengejutkan; “Naskahnya sudah kami terima, insya Allah segera diproses.” Alhamudulillah….
Setelah terbit buku ini, bangkitlah semangatku untuk menulis. Dalam dua minggu naskah buku kedua selesai “The Power of Smile”. Beberapa waktu kemudian buku keduaku itu terbit. Subhanallah, jadi penulis beneran, meski masih pemula.
Dan kini, aku ingin terus menulis. Karena tulis-menulis insya Allah menjadi bagian penting dalam hidupku. Doakan ya, bisa sukses jadi penulis!

Kehilangan

Hari itu Maman sedang berada di sebuah bus antar kota. Di bangku urutan kedua dari belakang Maman bersandar, dekat pintu bus. Matanya tiba-tiba terbelalak, ketika ia menoleh ke sebelah kiri. Seorang pria berpakaian rapi sedang mengeluarkan tangannya dari tas seorang gadis. Gadis itu hanya diam sambil menarik-narik tasnya. Sedang pria itu celingusan ketika tahu bahwa Maman mengawasinya. Untunglah, pria itu tak mendapat apa-apa dari si gadis. Beberapa saat berlalu, pria itu meletakkan sebuah dompet pada bangku kosong di sebelah Maman. Seorang bapak datang dan langsung menilep dompet itu dengan koran. Tak berapa lama kemudian, dua copet itu turun. Sepertinya dompet itu milik ibu PNS yang duduk di depan Maman tadi.
Ya Allah, dunia....
Maman begitu geram melihat aksi dua pencopet itu. Namun apa daya...?
Kini Maman justru geram pada dirinya sendiri. Kenapa aku tak berbuat apa-apa? Dompet yang ditaruh di sebelahku tadi jelas-jelas curian. Bisa saja aku langsung mengambilnya dan mengembalikan ke ibu PNS itu. Tapi aku tak bergerak. Aku diam saja. Aku pura-pura tidak mengetahui bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi. Entahlah, aku bahkan tak tahu mengapa. Aku begitu takut. Atau aku hanya enggan mengambil resiko. Astaghfirullah.... Pikiran seperti itu kemudian memenuhi angan Maman dalam perjalanannya.
Tiba-tiba Maman teringat istri tercinta. Baru saja istirnya sms bahwa ia sedang mengambil gaji bulan kemarin. Hari itu memang tanggal satu, saatnya para PNS seperti istri Maman biasa ambil gaji. Ibu PNS itu.... Yang baru kecopetan itu..., mungkin juga baru saja ambil gaji. Sedang semua gajinya ada di dompet tadi.
Angan Maman jadi ke mana-mana. Ia ingat kakaknya yang bekerja sebagai tukang parkir. Hasil kerjanya yang dua kali sehari itu belum cukup untuk biaya hidup keluarganya. Setiap kali bertemu kakaknya, nampak jelas beban berat tersirat dari wajah, kata-kata, dan setiap gerak langkahnya. Lalu angannya pun kembali kepada ibu yang baru saja kecopetan tadi.
Ibu PNS itu..., mungkin juga sedang menghadapi problema berat dalam hidupnya. Barangkali anaknya sedang dirawat di rumah sakit dan menunggu untuk dioperasi. Barangkali suaminya belum lama meninggal. Bisa saja. Padahal, dua minggu lagi hari lebaran. Kenapa hasil kerja satu bulan malah dicopet? Ah, dasar pencopet-pencopet brengsek! Tak kuasa juga Maman menahan emosi.
Tak tahu kenapa, penumpang bus itu dioper ke bus lainnya. Maman duduk di bangku yang sama, nomor dua dari belakang, dekat pintu bus. Kali ini seorang bapak bertubuh gede duduk di sampingnya. “Apa tadi mas-e nggak ketawa?”, bapak itu membuka percakapan. Rupanya si bapak juga mengamati aksi dua copet tadi. Memang, bapak itu tadi duduk di depan Maman, di samping ibu PNS yang kecopetan. Ada cerita yang membuat perasaan Maman semakin tak menentu. Bapak itu bilang bahwa ia sempat melihat dompet tadi berisi lembar-lembar lima pulu ribuan yang banyak. Sepertinya perkiraan Maman betul, ibu itu baru saja mengambil gajinya. Mungkin uang THR juga baru diambilnya hari ini.
Maman sungguh merasa kasihan. Bukan hanya kepada Ibu PNS yang kecopetan tadi, tapi juga pada dirinya sendiri. Ia berpikir, mengapa begitu lemah hinggak tak mampu berbuat apa-apa untuk membantu Ibu PNS itu. Mengapa begitu takut dengan dua copet yang jelas-jelas berjiwa pengecut. Atau jangan-jangan dirinya sendiri juga cuma seorang pengecut.
Satu hal yang sedikit mengobati resah Maman, bapak yang duduk di sampingnya rupanya juga marah dengan dirinya. “Tak berkutik”, satu kata yang sempat didengarnya dari mulut orang itu. Si bapak terlihat terus gelisah, hingga mereka sama-sama turun di terminal Pemalang. Ternyata masih ada juga orang lain yang peduli, meski tak kuasa berbuat.
Andai saja waktu itu Maman menggagalkan aksi dua copet itu, si bapak pasti membantu. Tapi hari itu telah berlu, dan Maman benar-benar hanya mampu berdiam diri? Kini tinggal ia merasa kehilangan. Dalam sepinya Maman pun merenung;
Ibu PNS itu... Yang baru dicopet itu...., hanya kehilangan harta di dompetnya. Mungkin hal itu justru membuat dosa-dosa yang pernah diperbuatnya berguguran, hingga terbebas dari api neraka. Tapi aku...? Aku kehilangan kepedulian... Aku kehilangan empati... Aku kehilangan keberanian... Aku kehilangan keyakinan terhadap Allah. Mungkin juga berarti..., aku kehilangan sebagian dari imanku. Kehilangan apa lagi yang lebih merugikan daripada kehilangan iman? Ternyata aku begitu banyak kehilangan...
Sahabat, pernahkah kau merasa begitu kehilangan, seperti Maman?
Untunglah. Bahwa di balik kehilangan pasti ada hikmah. Seperti obrolan kita yang telah berlalu. Tinggal bagaimana kita mengambil sudut pandang, positif atau negatif. Mudah-mudahan, bila mendapat giliran melihat aksi copet seperti dialami Maman, kita dapat berbuat yang terbaik. Tapi mudah-mudahan, tiada pernah ada lagi copet yang beraksi. Cukup sampai di sini ada yang kehilangan.
Oh ya, bila kau sedang bepergian, hati-hati saja! Barangkali ada copet di sekitarmu. Mungkin tidak mencopet harta, tapi iman..., bekal perjalanan hidupmu!

Belajar dari Senyum Anakku


Namanya Lavy Shafiyyur Rahman. Aku dan Istriku biasa memanggilnya Dede Lavy. Aku menjadi saksi proses kehadirannya di bumi ini, waktu itu kutunggui kelahirannya dengan penuh harap cemas. Hampir 12 jam istriku berjuang dengan sakit yang entah seperti apa. Rasa sakit yang pasti tak akan pernah mendera oleh seorang pria. Aku hanya bisa menemani di dekatnya, membisikkan do’a dan mencium keningnya.
Dia anak pertama yang sungguh menjadi penyejuk hati kami. Hari-hari kami menjadi jauh berbeda setelah kehadirannya dalam gendongan kami. Suatu kenikmatan tersendiri saat aku mengelus rambutnya, mencium pipinya, menimangnya dalam gendonganku, bahkan ketika mencuci popoknya. Satu kebiasaanku yang lain adalah mempertemukan hidungku dengan hidungnya. Kata orang-orang hidungnya mbangir mirip ayahnya. Aku.
Luar biasa Allah menciptakan segala sesuatu. Aku kian menyadari hal ini melihat perkembangan anakku, Lavy. Bulan pertama dia hanya menggunakan tangis sebagai alat komunikasi, memberi tanda; lapar atau ompol. Ketika lapar dalam gendongan, dia selalu aktif menggerakkan dan menempelkan kepalanya ke dada orang yang menggendong, mencari nenen. Begitu pun bila aku yang kebetulan sedang menggendongnya, kepalanya tak henti mencari nenen pada dadaku. Saat seperti itu aku hanya bisa menyerahkannya pada sang bunda. Kalau bundanya tak segera datang, aku akan bilang padanya; “Dede, ini kan ayah. Ayah itu nggak punya nenen. Tunggu bunda ya.” Tapi itu tidak membuat Lavy berhenti mencari nenennya.
Memasuki bulan ke dua, banyak kemajuan dalam diri Lavy. Dia sudah bisa tersenyum dan tertawa, bola matanya mulai bergerak lincah, terutama bila melihat bola warna-warni yang dibelikan sang bunda. Sepertinya kini dia juga mulai mengerti bahwa ayahnya tidak punya nenen seperti bundanya. Saat dalam gendonganku dia tak lagi heboh mencari nenennya. Kalau sudah benar-benar pengen nenen, paling dia cuma menggerak-gerakkan kepala, kaki dan tangannya. Aku biasa gerakan-gerakannya itu dengan istilah “Usek”.
Pengalaman unik terjadi ketika istriku sakit. Demi memberi waktu istriku untuk beristirahat, malam itu aku berjaga menunggui anakku. Mengganti popoknya, membedongnya, juga menimangnya agar tidur kembali. Saat dia terbangun karena ompol, aku pun segera mengganti popok dan membedongnya. Namun tugas terakhirku tidaklah tuntas, aku tak bisa meninabobokkannya. Lama kuayun dalam gendonganku, matanya tak jua terpejam, justru tubuhnya mulai usek. Cara lain kucoba dengan menaruhnya kembali ke tempat boboknya. Aku berharap dia akan tertidur sendiri. Tapi sekali lagi itu tidak berhasil. Dia semakin usek dan mulai merengek. Aku kewalahan. Saat itulah istriku terbangun dan mendekat. Menarik sekali, begitu Lavy melihat sang bunda, ekspresi wajahnya langsung berubah. Senyumnya mengembang lebar, rengekannya hilang seketika. Sontak aku dan istriku tertawa.
Subhanallah… Sekali lagi, belum genap dua bulan usianya. Begitupun Allah telah memberinya berbagai pemahaman. Kini ia telah benar-benar mampu membedakan mana ayah dan mana bunda.
Lavy baru dua bulan menemani hidup kami di dunia. Hari-hari ke depan aku berharap akan semakin banyak pemahaman yang dimilikinya. Saat ini pun kami sudah mulai mengajarinya membaca, seperti yang disarankan Fauzil Adhim dalam bukunya. Mudah-mudahan aku dan istriku mampu memberi keluasan cakrawala berpikirnya, hingga kelak dia akan menjadi salah satu pejuang dalam barisan Allah Yang Maha Penyayang.

Waktunya Untuk Berbagi


Kisah ini pernah kujalani.
Tombol power komputer baru saja aku pencet. Ketika loading selesai, segera kuputar video riset psikologi yang pernah aku dapat dari kawan di Jogja. Ingin aku menonton film-film pendek itu bersama istri. Tapi dia rupaya sedang tidak berminat. Istriku justru merebahkan dirinya di ranjang tidur kami. Lalu suara lembut meluncur dari bibir manisnya; “Suami…!!” Aku pun menyahut; “Apa istri….?” Kami biasa saling sapa seperti itu. Walau tiada sesuatu ingin disampaikan.
Film berjudul Ghadul Bashar kini kuputar. Berisi riset tentang efek memandang lawan jenis terhadap sistem-sistem hormonal di tubuh manusia. Namun, satu film pendek itu belum lagi usai, istriku kembali berucap merajuk; “Suami..., istri pengen denger cerita.” Enggan rasanya menanggapi istriku. Aku masih ingin menonton. Tapi egoku mereda, ketika istriku kembali memanggilku merayu-rayu; “Suami….!! Suaami.” Lagi pula, tidak sampai dua bulan lagi, insya’Allah istriku akan berjuang melahirkan jundi kami yang pertama. Do’akan ya. Sungguh, sedikitpun aku tak ingin membuatnya kecewa.
Aku datang, menjulurkan tubuhku berbaring di sampingnya.
Aku lupa telah bermula dari mana. Yang jelas, berbagai cerita kemudian berhambur dari mulutku dan mulutnya. Tentang masa kecil kami, tentang orang tua kami, tentang saudara-saudara kami, tentang rencana usaha kami, tentang… banyak sekali. Istriku terhanyut, ketika kuputar kembali memori tentang kisah-kisah pahit yang pernah kualami. Tapi aku tahu, istriku juga bahagia. Bahagia karena aku mau berbagi. Begitupun diriku, aku bahagia bisa berbagi cerita. Kegembiraanku kini jauh lebih banyak dari yang aku dapat ketika nonton film riset psikologi tadi. Terima kasih istriku, kau telah mengajakku berbagi.
Waktu berbagi memang perlu. Selain karena kita harus terus-menerus berta’aruf dengan pasangan, seperti diungkap Budiyanto pada kolom ayah edisi November lalu, juga karena berbagi mengundang harmoni. Berbagi mendatangkan bahagia hati. Berbagi mengusir duka dan resah yang sempat menghantui.
Kisah-kisah pilu “anak pembantu” tentu telah banyak engkau dengar. Cukup sudah hal itu menjadi alasan pentingnya berbagai. Jikalau ayah ibu pergi pagi dan pulang malam, maka peran mereka sepenuhnya digantikan pembantu. Bila anak bangun tidur, bukan ayah atau ibu yang dicari, melainkan si embak atau si bude. Ya si pembantu itu. Ketika beranjak dewasa, kisah-kisah pilu itu dimulai. Lalu hilanglah harmoni. Broken home, akhir drama itu. Begitulah, kalau waktu berbagi sudah dikorupsi.
Maka, mari selalu sediakan waktu untuk berbagai dengan keluarga. Istri, suami, anak, semua butuh bercerita dan mendengar cerita. Kalau bukan keluarga yang mengambil peran, maka akan digantikan oleh televisi, radio, atau juga pembantu. Lalu…, kisah pilu pun berulang. Bisa jadi terjadi pada keluarga kita. Jangan sampai!
Mari selalu sediakan waktu untuk berbagi dengan keluarga. Sesibuk apapun aktivitasmu di luar sana, keluarga jadikan yang utama. Bolehlah suami istri semua bekerja, asal waktu berbagi dengan keluarga tetap tersedia. Tiada artinya sukses mengumpul harta, kalau keluarga sendiri merasa sengsara dan merana. Tiada guna terus bekerja, kalau untuk saling bercerita saja tak bisa. Maka sekali lagi, mari sediakan waktu untuk berbagi.

AMBAK; Apaan Itu Mbak?

Loe ngerti nggak seh, kenapa Jepang bisa maju?
Oke, sebelum loe sebutin jawabannya, baca dulu yang berikut ini!
Di negeri kita neh, kalo ada siswa ditanya kenapa hari ini belajar matematika, maka bakalan dijawab; “Ya karena hari ini hari Senin (atau menyebut hari-hari lainnya), jadwalnya matematika.”
Beda banget kalo murid-murid Jepang yang ditanya. Mereka punya jawaban yang lebih bermutu. Di antara mereka bakal ngejawab; “Saya hari ini belajar matematika karena nanti ingin menjadi tenaga ahli di bidang teknik nuklir. Nah, karena itu aku harus menguasai matematika, sebagai jalan menguasai ilmu-ilmu lainnya.”
So, orang Jepang punya tujuan yang jelas mengapa mereka mempelajari sesuatu. Karena itu mereka bersemangat. Mereka sungguh-sungguh karena apa yang dicitakannya takkan tergapai tanpa belajar. Contoh sederhananya, bila Pak Joko pengen jadi sopir taksi, maka dia akan belajar nyetir mobil sampai bisa. Iya, karena bisa nyetir itu syarat utama jadi sopir. Nggak bisa nyetir, ya nggak bakal jadi sopir.
Emang kok, dalam aktivitas apapun, mengetahui tujuan jadi kewajiban utama. Pemahaman yang benar akan tujuan yang hendak dicapai akan mampu menggairahkan dan memaksimalkan efektifitas kerja. Coba ingat kalo kamu pernah liat ibu-ibu yang lagi marah. Meski biasanya rada pendiam, ketika marah mereka bisa membanjirkan kata begitu mudahnya. Tiba-tiba saja mereka sangat cerdas mengungkap rasa. Kenapa? Karena mereka paham betul mengapa harus bicara macam-macam. Ada yang ingin disampaikan, ada yang meski diberi pemahaman, ada yang harus dirubah dan diluruskan.
Nah, kalo loe pengen sukses belajar, itu dia kuncinya; mula-mula loe kudu temuin tujuannya. Loe mesti paham untuk apa belajar sesuatu. Makanya loe mesti bertanya dulu pada diri sendiri befor belajar. Dalam bahasanya Bobbi DePoter dan Mike Hernacki di buku Quantum Learning, loe mesti bertanya dulu tetang AMBAK. Apaan itu Mbak?
Nah, AMBAK itu singkatan dari Apa Manfaatnya Bagiku? Jadi, sebelum belajar matematika misalnya, kita harus menanyakan pada diri sendiri; Apa manfaatnya bagiku belajar matematika? Semakin banyak kamu bisa menemukan manfaat-manfaat itu, semakin tinggi nilai guna yang akan kamu peroleh. Insya Allah kamu juga bakal semangat untuk belajar. Itu berlaku ketika kita mau belajar apa aja. So, kenapa negeri Jepang maju?

Bocor

Rame orang pasar, berdesing-desing. Sayup-sayup gedebugan - Inul lagi ngebor di pojok sana - dari penjual VCD bajakan. Bus besar kecil, motor, ontel, becak, grobak, pejalan kaki, orang gila, mahasiswa, anak sekolah, preman, banci, pengemis, orang kesasar; lalu lalang. Asap rokok mengepul. Telentang, dua kaki selonjor ke atas. Sesekali melongok kanan kiri, mengapali bus antar kota yang berhenti. Empat jam sudah dia di situ. Lelah menunggu hidup hari ini. Pak Kirman pasrah. Siul, campur sari, selang-seling tebaran asap. Prasasat koyo ngenteni udane mongso ketigo…..
Bus Jakartanan berhenti. Tiga becak balapan, yang dua tabrak-menabrak. Meloncat. Becak ditinggal, kejar orang turun dari bus. Tukang ojek ikut ngebut, nyerobot. Ternyata sudah dijemput pake mobil. Pak Kirman melongo, tapi beruntung. Target lain datang dari pasar.
“Mbecak den?”
“Perum Taman Sari Pak.”
“Iya’ sip.” Pak Kirman meloncat. Sedel becak halus mulus, sebelas tahun tergerus pantat. Penumpang naik dan pedal digenjot. Anak sekolah ngebut. Wanita gembrot naik ontel menyalami, tetangga, teman sepermainan waktu kecil. Dua polisi lalu lintas lagi main remi di gardu, ongkang-ongkang. Topinya saja dipajang. Bus seukuran rumahnya nekat. Terpaksa berhenti empat detik. Setengah centi dari becaknya; Wush…! “Djuancuk! Sopir guendeng!”
Seperempat jam sampai tujuan. Penumpang turun, mata merah kelilipen. Debu kota tak pernah kompromi. “Berapa Pak?”
“Empat ribu Den.”
“Ni lima ribu, nggak usah kembali.”
“Matur nuwun Den. Matur nuwun.”
Gaya orang rada elit. Biasanya kalo ada yang mau naik becak nanya harga dulu, kecuali langganan. Habis itu nawar. Harga lima ribu ditawar seribu lima ratus, emang rongsokan?! Tiga tahun tak pernah naik harga. Tak ada alasan harga premium melambung. Justru untung, menang saing dikit sama ojek. Biaya kaki, paling pijet, setengah tahun sekali. Tak ada biaya amortisasi buat kempol yang mulai kendor dan boyok yang mulai bengkok.
Jam lima sore Pak Kirman cabut. Lelah habis peluh. Daki-daki membunuh, memaksa orang membuang hidung. Becak diparkir, masuk rumah, baju dilempar. Pak Kirman kembali telentang. Kali ini di amben. Nikmat.
Bu Kirman masak sayur terong tambal sambel trasi. Nasi liwetan tadi pagi masih separo, tapi beras ludes. Hari ini Pak tak bawa duit berarti besok puasa. Utang di toko sebelah terkumpul tiga belas ribu. Tambal sulam, tak pernah lunas.
“Gawekno kopi Bune!”
“Gak punya Pakne, sudah habis.”
“Ni duit, beli di warung sebalah. Sekalian beras buat besok. Terus jangan lupa, kretek dua biji.”
“Rokok mulu dipikir! Sini duwite! Parune kumat kapokmu!”
“Biarin, mati sekalian juga tak apa.”
“Pakne masuk neraka aku juga nggak bakal nangis. Tapi aku? Rini anakmu? Mau makan apa? Tega Pakne mati? Iya kalau langsung mati, kalau harus opname dulu tujuh minggu, siap yang mau bayar?”
Dua tahun lalu Pak Kirman pingsan saat nggenjot becak. Di bawa ke rumah sakit, paru bocor. Habis dua juta dibayar adiknya satu setengah. Sisinya dicicil. Tobat dua minggu nggak ngebul. Selanjutnya biasa. Malah tambah banter. Sehari sembilan lencer; tentu kalau lagi ada duit.
******
“Tanggal sepuluh paling telat bayar SPP Pak. Sudah nunggak dua bulan, Rini malu.”
“Belum ada Rin, pijem bulekmu dulu sono!”
“Pinjem-pijem! Malu Pak!”
“Ya sudah, suruh makmu yang pinjem sono!”
“Utang dua bulan lalu tujuh puluh ribu belum dibaliin Pakne. Pinjem sendiri sono kalo gak malu.” Teriak Bu Kirman dari dapur.
“Yo wis, dongakno wae mugo-mugo rejekin banter sitik.”
“Tanggal sepuluh yo Pak, tiga hari lagi. Sembilan puluh ribu buat tiga bulan. Rini berangkat sekolah dulu.”
“Yo wis sono, hati-hati.”
Gundah yang biasa, tak pernah henti, masalah duit. Simpenan di bawah bantal cuma dua puluh ribu. Kalau hari ini dapat sepuluh ribu, berarti besoknya harus dapat enam puluh. Kalau hari ini nggak dapat apa-apa, besok harus dapat tujuh puluh. Ajaib. Sampai kaki putus nggak bakalan bisa. Sebelas tahun narik becak nggak pernah dapat enam puluh ribu dalam sehari. Paling banter lima pulu ribu. Itu pun karena disewa turis, keliling kota seharian bareng dua saingan sekaligus teman ngobrolnya, Pak Hernawan dan Bejo. Pulang-pulang pijet, bayar lima belas ribu. Besoknya cuma bisa ngetem setengah hari.
Jam tujuh pagi Pak Kirman berangkat. Hari ini harus rela ngetem lebih lama. Plus doa. Bagaimanapun juga kepentingan anak nomor satu. Bisa lulus SMK pasti bangga luar biasa. Anak tetangga masih ada yang mentok sampai kelas satu SMP, nggak kuat bayar. Kalau perlu syukuran, buat tumpeng sama gudangan. Kasih telor dua dibagi enam belas.
Pak Kirman dihukum anaknya sendiri. Seharian cuma ngebul dua lencer. Eman-eman duit buat beli rokok. Megap-megap saking pengen. Ditahan. Waktu pulang nggak kuat, beli satu lagi. Teman paling setia sejak disunat; rokok itu. Hari ini lima belas ribu lumayan. Dikurangi buat rokok seribu dua ratus, buat beras dan sayur enam ribu enam ratus, sisa tujuh ribu dua ratus.
*******
Besok pagi deadline dari Rini, anaknya. Bayar buat sebulan aja ngutang, buat tiga bulan sekaligus bagaimana caranya. Terpaksa Pak Kirman ngetem lagi malam ini. Satu hal yang sudah lama tak dilakukannya, semenjak parunya bocor. Udara malam di luar terasa ngeri, bikin takut mati. Namanya juga terpaksa. Hasil siang tadi setelah dikurangi beras dan rokok cuma lima ribu tiga ratus. Total tabungan berarti tiga puluh dua ribu lima ratus. Baru cukup buat satu bulan. Asumsinya esok lusa nggak usah makan.
Malam kian sunyi. Orang pacaran pada pulang. Pegawai kantoran sudah lelap. Orang gila tidur di emperan. Supermarket, toko kelontong, bengkel, rental komputer, mi ayam, bakso, nasi goreng, tempe penyet, semua pada tutup. Kecuali angkringan dan burjo masih buka. Warnet juga masih banyak pengunjung; anak-anak gila ketagihan gambar orang telanjang. Grobak-grobak dorong membikin bunyi; srek-srek.
Dingin, sepi. Jaket dan sarung lupa dibawa. Pak Kirman meringkuk. Bintang gemerlip, rembulan nampak separo. Gemerincing penjual sate lewat. Sesekali mobil dan motor menderum. Jam dua belas malam penumpang pertama. Pegawai negeri pulang dari Jakarta, masih pake baju dinas. Satu tas besar dijinjing, satu lagi di cangklongan. Jelas bukan preman iseng.
“Ke mana njih?”
“Jalan Sri Wedari, habis Taman Sari.”
Hapal betul jalan. Hari ini saja sudah dua kali PP lewat jalan yang sama. Penumpang Pak Kirman memang kebanyakan dari Perum Taman Sari. Dan malam ini terasa berat. Kaki linu, boyok pegel-pegel, kepala sedikit senut-senut, dan nafas kian pendek, sengal-sengal. Kalau bukan karena anak, sudah nglempus pake selimut. Makin lama nggak kuat; ngos-ngosan, sesek. “Tobat, tobat. Rokok keparat!” Masih satu biji di telinga, sisa tadi siang. Diambil lalu di lempar. Dan gdebuk!
“Loh Pak, Pak, kenapa Pak? We, ladalah, tibo.”
Penumpang itu turun. “Pak, Pak kenapa Pak? Loh Pak jangan mati Pak! Aduh piye tho iki?”
Nafas Pak Kirman dicek. “Aduh mati temenan. Ngrepoti wae, mati kok ya nggak nunggu nyampe rumah.”
Pak Kirman diangkat ke becak. Penumpang gantian nggenjot. Balik arah, sempoyongan, ke RSUD. UGD buka.
Pagi harinya ribut. Orang rumah dapat kabar dari Pak Yulianto, penumpang semalam. Rini nangis-nagis, mengutuk diri, mengguyur bantal. Tetangga berdatangan, bikin gaduh. Lima orang dari kampung sebelah, mau layat. Bu Kirman puyeng, “We alah Pakne, disuruh nggak usah berangkat kok ya nekat.”
Jam sepuluh pagi kumpul di rumah sakit. Bu Kirman, Rini, Paijo dan Lastri. Dua yang terakhir adik dan ipar Pak Kirman. Pak Kirmannya nggak mati, semalam cuma pingsan. Hidungnya dipasang selang. Dari semalam sudah habis tiga tabung. Tobat!
“Pakne, Pekne, untung masih ketulungan.”
“Yo wis nasib Bune.”
******
Besok paginya Pak Kirman sudah boleh pulang. Seluruh biaya dibayar Paijo. Plus sembilan puluh ribu buat SPP Rini. Libur narik becak sudah tentu. Siang-siang lemes, dan….
“Bune, tukokno rokok selencer wae!”

2 Agustus 08, kangen Jogja.

Pelanggaran

Pernahkah engkau mencontek saat ada tes di sekolah? Bagus sekali kalau kau menjawab; TIDAK PERNAH. Masalahnya di sekolah tertentu, terutama di sekolah-sekolah kurang favorit, apa lagi jurusannya juga tidak favorit, mencontek kadang menjadi kebiasaan turun-temurun. Jangankan anak yang tidak pernah dapat rengking, juara kelasnya saja mesih tergoda untuk ikut mencontek. Nggak percaya? Kau survey aja sendiri!
Banyak cara yang dilakukan anak-anak sekolah itu dalam mencontek. Ada yang membuat catatan kecil-kecil di sebuah kertas panjang, kemudian digulung atau dilipat hingga lipatan paling kecil. Ada pula yang menaruh kertas contekannya dalam laci, saku celana, bahkan kaos kaki. Sebagian siswa suka melirik jawaban teman sebelah. Yang lainnya saling bertanya dengan lempar-lemparan kertas. Yang lainnya lagi saling bekerjasama dengan kode-kode tertentu. Bahkan ada yang sering menuliskan contekannya pada meja tulis. Sebelum tes mereka menuliskannya pada meja yang hendak dipakai ujian, usai ujian mereka menghilangkan tulisan itu dengan pemes untuk digunakan mencontek pada tes berikutnya.
Masalahnya lagi, guru-gurunya terkadang juga tak begitu peduli dengan kebiasaan mencontek ini. Jelas-jelas muridnya pada mencontek, tapi dibiarkan saja. Memincingkan mata dan pura-pura tidak melihat. Parahnya lagi, di sekolah-sekolah tertentu guru-gurunya justru memberi jawaban ujian kepada murid-muridnya. Hal ini sering terjadi pada Ujian Nasioan. Demi menyelamatkan murid-muridnya dari kegagalan, demi menjaga nama baik sekolah, ya diberi jawabannya saja.
Nah, lebih parahnya lagi, ternyata hal itu juga telah menjadi kebijakan dinas pendidikan di kota X. Wal hasil, kota X ini menjadi peringkat pertama pada Ujian Nasional tahun itu. Weleh, ternyata kota X itu adalah kota tempat tinggalku sendiri. Menyedihkan!
Mencontek dalam hal ini memang hanya dilakukan oleh siswa atau mahasiswa yang sedang ujian. Tapi secara umum, inilah potret masyarakat kita. Betapa sering manusia melanggar aturan untuk memperoleh hasil yang instan. Padahal, hasil itu barangkali akan menghancurkan diri sendiri di masa yang akan datang.
Lihatlah di jalanan, betapa banyak pengendara yang nekat menerobos lampu merah. Banyak sekali. Kalau lampu kuning menyala, pengguna jalan bukannya memperlambat kendaraannya, tapi justru tambah ngebut menghindari lampu merah. Ketika lampu merah sudah menyela, mereka pun terus melaju, sebelum kendaraan-kendaraan dari arah kanan mulai bergerak. Itu kalau tidak terlihat polisi lalu-lintas sedang berjaga. Kalau melihat polisi, mereka akan mengerem mendadak. Beruntung kalau tidak kebablasan. Kalau mbablas, bisa-bisa berhenti tempat di tengah perempatan, seperti yang pernah dialami si Ayi. Jadilah makanan empuk polisi.
Nah, para pelanggar itu bukannya tak tahu aturannya. Bukan pula tak tahu kalau pelanggarannya penuh resiko. Tapi karena kecenderungan untuk melanggar aturan memang sudah tertanam di jiwanya. Plus ada kesempatan.
Lihatlah di kantor-kantor (pemerintahan terutama), betapa banyak pelanggaran terjadi. Pegawai yang hobi telat dan bolos. Pegawai yang nonton VCD goyang ngebor di komputer saat jam kerja. Pegawai yang main tenes meja dengan meninggalkan pekerjaan kantor yang belum digarap. Pegawai yang minta sogokan pada masyarakat yang memerlukan pelayanan. Pegawai yang korupsi, walau tak selalu berjumlah besar. Hal-hal seperti itu merupakan fenomena yang berulang-ulang. Kalau tak percaya, sering-sering saja ke kantor-kantor seperti itu, kau akan menemukan hal-hal yang MENYEBALKAN. Kenapa semua itu terjadi? Bukan pula karena mereka tak tahu aturannya. Tapi karena kecenderungan untuk melanggar aturan memang sudah tertanam di jiwa. Plus ada kesempatan.
Pelanggaran. Dalam permainan sepak bola, pelaku pelanggaran akan mendapat ganjaran. Diberi kartu kuning atau justru diusir dari kancah pertandingan; kartu merah. Kalau tidak, minimal pihak lawan akan mendapatkan tendangan bebas. Tapi pemain sepak bola juga selalu berhati-hati dengan pelanggaran. Kalau wasit sedang mengawasinya, ia takkan melakukan pelanggaran dengan terang-terangan. Kalau ada kesempatan..., baru....
Begitupun dalam lingkup-lingkup kehidupan lainnya, orang akan berhati-hati melakukan pelanggaran kalau sedang diawasi. Kalau polisi sedang mengatur lalu-lintas di tengah jalan, orang takkan berani menerobos lampu merah (kecuali motornya gede atau temannya banyak). Itu karena resikonya jelas, ia bakal ditilang. Di kantor-kantor seperti yang telah kita bicarakan juga takkan terjadi banyak pelanggaran, kalau sedang diawasi pimpinan atau datang seorang penilik. Kecuali kalau mereka sudah terbiasa kongkalikong dengan pimpinan dan pengawasnya. Dan biasanya memang sudah begitu. Antara pimpinan dan bawahan, antara pengawas dan yang diawasi sama saja, tukang buat pelanggaran.
Jika tak ada pengawas, pelanggaran-pelanggaran itu hampir selalu terjadi. Kalau ada operasi mendadak, orang-orang kelabakan. Ada polisi yang menertibkan pengguna jalan, memeriksa kelengkapan berkendaraan misalnya. Atau pada kasus Pegawai Negeri, ada operasi Satpol PP datang ke tempat-tempat umum untuk mencari Pegawai Negeri yang melanggar jam kerja.
Celakanya, kebiasaan melakukan pelanggaran tak hanya dilakukan terhadap aturan-aturan yang ditetapkan manusia. Pelanggaran juga biasa dilakukan terhadap aturan-aturan Sang Penguasa Jagad Raya. Lihatlah dosa-dosa yang dilakukan manusia. Di mana saja, kapan saja, selalu ada. Ada dan selalu ada. Sebabnya; mereka tidak merasa sedang diwasi.
Bagi orang Islam, perbuatan dosa banyak dilakukan bukan karena tidak tahu akan larangannya. Banyak orang yang tekun mempelajari syari’at, tapi tetap saja gemar bermaksiat. Pun kalau dosa-dosa itu dilakukan karena tidak tahu aturan yang benar, ia mungkin tetap mendapatkan ganjarannya di neraka.
Waku itu Supri dan Ayi sedang menuju Pantai Baron untuk survey tempat di mana Lembaga Dakwah di kampus mereka hendak mengadakan rihlah. Biasa, mereka berangkat dengan Astrea 800 milik Supri. Di tengah perjalanan, tiba-tiba mereka dicegat polisi dan ditilang. Ternyata mereka telah melewati jalur yang salah. Dulu jalan itu memang dipakai untuk jalur ke arah selatan, tapi ternyata sekarang ada jalan baru di sebelah timur. Jalan baru inilah yang digunakan untuk jalur ke arah selatan. Sedang jalan yang tadi mereka lewati khusus untuk jalur ke utara. Pak polisi tentu tak menerima alasan bahwa Supri dan Ayi tidak tahu aturannya atau tidak melihat rambu-rambu. Yang jelas rambunya telah dipasang dan mereka melakukan pelanggaran. Karena itu harus ditilang.
Yang menyebalkan, bapak-bapak polisi itu mengintip dari tempat tersembunyi. Baru kalau ada pengendara yang nyasar di jalur itu, pak polisi muncul untuk menilang. Bukankah bapak-bapak polisi itu seharusnya berada di pertigaan tempat para pengendara harus berbelok, untuk memberitahukan pengguna jalan bahwa ke arah selatan dialihkan melalui jalan sebelah timur? Ternyata pelanggaran para pengendara memang telah diharap-harap oleh bapak-bapak polisi itu. Untuk apa lagi kalau bukan mendapatkan bagian dari uang tilang. Jadi, sebenarnya siapa yang melakukan pelanggaran?
Allah telah membuat aturan yang sebaik-baiknya dengan menurunkan al-Qur’an. Allah juga tidak memberikan hukuman yang tidak adil seperti bapak-bapak polisi itu. Tapi tetap, alasan “tidak tahu” tidak dapat diterima. Ya Allah, aku tidak tahu kalau zina itu berdosa, aku tidak tahu kalau korupsi itu melanggar aturan, aku tidak tahu kalau Kau melarang riba, aku tidak tahu kalau Kau perintahkan kami shalat dan zakat, aku tidak tahu kalau puasa Ramadhan itu wajib. Ya Allah, aku tidak tahu tentang semua itu, maka ampunilah aku. Mana bisa begitu?!!!
Begitulah, kecenderungan untuk berbuat pelanggaran memang sudah tertanam dalam jiwa manusia? Pernahkah kau melihat pertandingan sepak bola tanpa pelanggaran yang disengaja? Sepertinya hampir tak pernah!
Memang, selain jalan kebaikan, manusia juga telah diilhamkan jalan kefujuran. “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefujuran dan ketaqwaannya.” (Qs. Asy-Syams: 8). Tapi al-Qur’an bukan hanya ayat ini. Al-Qur’an terdiri dari 30 jus yang terdiri dari 114 surat. Ayat tadi tak bisa dijadikan pembenaran untuk pelakukan pelanggaran. Justru ayat ini diturunkan agar manusia berhati-hati dengan kecenderungan-kecenderungan buruk yang ada pada dirinya. Jangan biarkan ia menguat dan menjelma menjadi tindakan. Tapi sucikanlah! “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (Qs. Asy-Syams: 10)

Mancing

Semenjak dalam buaian hingga lulus kuliah, orang tua terus memenuhi kebutuhan kita. Setidaknya kebutuhan untuk mengenyangkan perut dan menghilangkan dahaga. Selebihnya, banyak sekali yang telah mereka berikan untuk kita. Namun tak selamanya kita boleh mendompleng hidup pada mareka. Malah seharusnya, kita sudah hidup mandiri sejak SMA. Tapi entah kesalahan siapa, pada umumnya anak usia sekolah memang masih sangat tergantung pada orang tua. Perlu ini itu, ya minta ke bokap ato nyokap.
Bagi engkau yang masih sekolah atau sedang mengenyam pendidikan kampus, segeralah mulai untuk hidup mandiri. Setelah kau lulus nanti, bukan saatnya lagi menengadahkan tangan pada orang tua, apa lagi pada orang lain. Lebih-lebih bila kau telah hidup berkeluarga, urusan rezki itu menjadi tanggung jawabmu sepenuhnya. Terutama bagi kau yang bersetatus sebagai suami atau ayah.
Kita lihat orang tua kita yang keduanya kian renta. Barangkali tubuhnya tak lagi tegap, wajahnya tak lagi cerah, keriput sudah terlihat di mana-mana, dan yang pasti, tenaganya takkan sekuat dulu, waktu muda. Sungguh, tak adil bila kita terus meminta kepada orang tua. Meski bagi mereka bekerja adalah tanggung jawab dan kebahagiaan, bukan berarti kita leluasa untuk terus berharap asupan dari mereka. Justru seharusnya gantian kita yang mencukupi kebutuhan mereka. Sungguh, seberapapun kita beri, takkan pernah sebanding dengan pengorbanan dan perjuangan mereka. Bagaimanapun usaha kita meringankan beban mereka, itu hanya setetes air dibanding lautan cinta mereka.
Katakan seorang Mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Sebut saja seorang aktivis dakwah bernama Ahmad. Demi meringankan beban orang tua, Ahmad rela menyisihkan waktu lelahnya untuk bekerja. Ia menjadi penjaga Rental Computer yang juga melayani jasa Fotocopy. Sebetapapun banyak urusan kuliah, Ahmad harus datang ke tempat kerja tepat jam 3 sore. Ia akan bergumul dengan tulisan-tulisan yang harus diketik atau difotocopy hingga jam 11 malam. Setelah itu Ahmad baru bisa istirahat, menginap di tempatnya bekerja. Ia berbaring di karpet tanpa bantal, apa lagi kasur, memejamkan mata, berharap mimpi indah datang menemani. Itu kalau tidak ada lembur karena order ketikan yang banyak. Kalau lembur?? Belum lagi urusan dakwah kampus. Saat itu ia sedang menjabat Ketua Devisi pada Lembaga Dakwah di Kampusnya. Nah, bila LDK sedang ada kegiatan, ya jam 11 malam itu ia akan berangkat. Selesainya jam berapa? Kira-kira saja! Nah, esok paginya ia harus bergelut lagi dengan buku-buku. Sungguh, mahasiswa yang penuh perjuangan bukan?
Tunggu dulu, belum semua kuceritakan tentang Ahmad. Ketika mata kuliah tinggal KKL dan Skripsi, Ahmad justru menambah jam kerjanya. Selain bekerja di Rental Computer itu, Ahmad juga bekerja sebagai pengamplas di usaha kerajinan bambu. Pagi hari, jam 7 hingga jam 11 ia bergelut dengan bambu. Habis itu pulang ke kos-kosan untuk bersih-bersih diri. Bila tidak ada keperluan penting ia dapat sejenak merebahkan badan, mengendorkan otot-otot yang kaku dan mengurangi penat di kepala. Namun bila ada bimbingan laporan KKL atau sekripsi, ia akan datang ke kampus. Nah, jam 3 sore ia harus ada di Rental computer lagi. Padahal jarak tempat kos Ahmad dengan kampus dan dua tempat kerjanya tidaklah dekat. Tak kurang dari 40 kilo meter setiap hari ditempuh dengan motor bututnya. Terbayang bukan betapa capeknya?
Begitulah kehidupan Ahmad. Hari-harinya berputar dengan aktivitas yang hampir sama. Lelah memang dirasakan oleh Ahmad. Tapi hanya itulah yang dapat ia lakukan untuk membantu meringankan beban orang tua. Dengan modal ijazah SMA tentu bukan mudah mencari pekerjaan yang lebih menghasilkan. Untunglah Ahmad tidak malu, atau mungkin telah menepis rasa malu bekerja sebagai tukang amplas bambu dan tukang ketik.
Sekilas kita dapat melihat kehidupan Ahmad yang penuh perjuangan. Namun bila dibanding dengan pengorbanan kedua orang tuanya, semua itu belum apa-apa. Dalam hal uang kebutuhan kuliah saja, orangtuanyalah yang menjadi donatur utama. Saat itu SPP kuliahnya mungkin sekitar 1 juta. Kebutuhan lain, seperti beli buku, buat peper, foto kopi, bayar kos, bensin, dan sebagainya juga tak kalah sedikit. Bila Ahmad harus membiayainya sendiri, barangkali ia akan segera menyerah.
Tahu berapa gaji Ahmad selama kerja di Rental computer? Jawabannya; 100 ribu/bulan. Itu untuk tiga bulan pertama, bulan ke empat dan seterusnya baru 150 ribu. Lah, segitu doank?! Ya iya, masak kerja di rental computer mau minta gaji 1 juta? Gajinya kerja di kerajinan bambu juga tidak jauh berbeda. Berapa? Kira-kira sendiri lah. Yang jelas, lebih kecil dari gajinya di rental computer.
Nah, tak sebanding bukan dengan pemberian dari orang tuanya?
Kini Ahmad telah lulus kuliah. Ia tak lagi bergelut dengan teori-teori ekonomi Islam di kampusnya. Ahmad juga tak lagi tinggal serumah dengan orang tuanya. Kini, bahkan ia telah menemui pujaan hati yang selama ini dicarinya. Akhwat shalihah itu disuntingnya. Tentu…, untuk urusan rezki Ahmad kini benar-benar harus berjuang sendiri. Memang, istri terkasihnya seorang PNS dengan gaji yang cukup besar bagi anak asli kampung seperti Ahmad. Tapi tetap, nafkah keluarga adalah kewajiban yang harus ditunaikan suami. Ahmad punya tanggung jawab terhadap diri, istri dan anak-anaknya nanti.
Kebutuhan manusia memang banyak dan tiada putus, baik kebutuhan materi maupun non materi. Untuk kebutuhan materi, bekerja merupakan jawabannya. Namun perlu engkau ingat, bahwa bekerja bukan melulu memenuhi kebutuhan materi. Justru kebutuhan ukhrawi, sebenarnya harus menjadi prioritas terdepan. Maksudnya bagimana?
Bekerja adalah kewajiban agama. Islam mencela orang-orang yang sanggup bekerja, tapi menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Meminta-minta kata Rasulullah, hanya patut bagi tiga golongan; orang kafir berkalang tanah, orang yang terlilit hutang yang memberatkan dan orang yang terkena kewajiban membayar diyat yang menyakitkan. Engkau bukan salah satunya bukan?
Karena itu, kerja sesiangan kita tak bertujuan untuk semata mendapatkan penghasilan (uang). Akan tapi juga untuk menunaikan kewajiban agama. Kita bekerja bukan hanya untuk fananya dunia, tapi juga untuk akhirat yang kekal abadi. Bahkan akhirat itu yang lebih utama. Walal aakhiratu khairul laka minal uulaa. Jadi, secara maknawi, bekerja tiada beda dengan shalat, zakat, puasa, haji, dsb.
Kita kembali pada cerita si Ahmad. Waktu kecil dulu Ahmad juga sudah melakukan kegiatan ekonomi; bekerja menjemput rezki dari ilahi. Sewaktu TK, Ahmad mengantarkan slondok yang dibungkus dengan plastik kecil-kecil oleh ibunya ke pedagang di dekat ia sekolah. Kalau ada untungnya, tentu Ahmad dikasih buat sangu (uang saku). Sewaktu SD dan SMP, Ahmad biasa membantu ibunya mengantar jenang dodol ke toko-toko untuk dititipkan. Sekalian sepeda santai. Waktu itu di rumah Ahmad belum ada sepeda motor. Otomatis ke mana-mana harus pakai sepeda ontel. Meski begitu Ahmad sangat menikmatinya.
Satu lagi kegiatan ekonomi yang dilakukan Ahmad kecil, mancing.
Di kali atau di slokan-slokan kecil kampungnya masih berrenangan ikan liar waktu itu. Kegiatan mencari ikan sangatlah mengasyikkan, baik bagi anak kecil maupun orang dewasa. Apa lagi bila bulan Ramadhan datang, mancing adalah alternatif yang sangat menarik untuk ngabuburit, menunggu mentari menenggelamkan diri.
Ahmad punya tempat-tempat favorit untuk mancing, karena di situ banyak ikan berkumpul. Untuk umpan memancing, paling sering Ahmad kecil menggunakan cacing. Tapi terkadang juga menggunakan belalang. Memang ada ikan tertentu yang lebih mudah dipancing dengan belalang. Kalau orang-orang lain ada yang memakai campuran tempe bosok, bekatul dan bahan-bahan tertentu. Tapi tetap, bagi Ahmad paling mudah adalah cacing.
Nah, hidup di dunia ini ibarat mancing. Termasuk ketika kita sedang bekerja menjemput rezki, sebenarnya kita sedang mancing. Mancing apa? Mancing kehidupan yang baik di akhirat.
Segala pekerjaan yang kita lakukan di dunia ini sebenarnya untuk meraih kebahagiaan di akhirat. Ibarat mancing, bekerja di dunia adalah pekerjaan mencari cacing. Terus, cacing itu akan kita gunakan untuk mencari kebaikan di akhirat. Jadi tujuan utamanya adalah akhirat, bukan dunia. Kalau kita mancing, tujuannya adalah ikan, bukan mendapat cacing kan?
Anehnya banyak orang yang berlomba mencari cacing-cacing dunia, tapi lupa mengejar ikan akherat. Mereka bersusah payah, berebut, bahkan saling bermusuhan hanya untuk mendapatkan dunia. Yang sudah dapat berbangga-bangga, yang belum dapat iri hati. Padahal, dunia hanyalah cacing.
Pernah tidak kau temui dialog semacam ini?
Alex : “Ga sia-sia gue capek, hasil kerja keras gue hari ini lumayan. Gue udah dapat dua kantong cacing. Loe gimana friend?”
Tomy : “Ha ha…! Segitu aja kau bangga. Aku, hari ini saja sudah dapat satu ember cacing. Di rumah, aku sudah punya berpuluh-puluh ember penuh cacing.”
Bejo : “Tomy curang sih, nyari cacingnya ngerebut lahanku. Aku dikasih donk!”
Nah, lucu bukan?

“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat. ,Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.” (QS. al-Baqarah::86)

Peluru Nasib

Semangatnya baru saja hendak pulih, tapi kembali terkapar oleh tikaman peluru nasib. “Kowe butuh pekerjaan? Ini ada gelas plastik bekas air mineral, kowe bawa ke perempatan jalan sono. Ngemis saja, pekerjaan di sini nggak cocok buat kowe,” kata Pak Bejo, petugas tes wawancara itu.
Telah terlalu sering Minto dihina, tapi tak pernah sekeji ini. Tangannya hampir saja menghempas gelas plastik itu ke muka Pak Bejo. Ingin ia menghajar Pak Bejo hingga sekarat. Tapi itu sama saja nyari penyakit, Minto tak melakukannya.
Minto menerima gelas plastik itu, lalu beranjak dari dudukknya dan pergi tanpa kata. Geram, dendam, malu, pilu. Di dekatnya puluhan muda-mudi antri menunggu panggilan wawancara. Menatapi langkah Minto dan luka dalam yang dideritanya. Sebagian barangkali berpikir bahwa sebentar lagi akan mendapat perlakuan sama. Kalau tidak separah Minto, setidaknya sama-sama dihina.
Baru lima langkah Minto mengayun kaki, suara Pak Bejo kembali berdengung. “Lulusan SD mau jadi teller koperasi. Mana bisa? Ra lucu… Dasar wong ndeso.”
Minto tak menoleh. Ia terus berjalan, keluar dari ruangan itu, membanting pintu keras-keras dan kabur. Brengsek!!
Setahun lebih Minto jadi pengangguran. Sebelumnya Minto bekerja di tempat Pak Kirun, membuat meja kursi kayu berukir yang katanya diekspor hingga ke Jerman. Entah kenapa Pak Kirun mati muda. Mungkin karena penyakit kegemukan. Adiknya yang bernama Kirman memang tak gemuk, tapi kalah gesit dari Pak Kirun. Di bawah kendali Kirman, perusahaan meubel itu kian bangkrut, lalu tutup.
Minto telah puas mencari pekerjaan baru, tapi tak jua mendapatinya. Sering Minto berandai-andai; andai punya ijazah kuliahan, atau setidaknya SMA, mungkin akan mudah mendapat pekejaan sebagai sales sabun cuci, atau apa sajalah. Kerja di pabrik juga gak masalah. Nyatanya Minto hanya punya ijazah SD. Pasrah pada nasib, itu yang kemudian dilakukannya.
Putus asanya sedikit terobati oleh nasihat Kyai Johar yang jadi tetangga. “Min, yang ngasih kita hidup ini Gusti Allah. Yang ngasih semua-muanya juga Gusti Allah, termasuk pekerjaan. Terus saja berusaha, minta pada Allah.”
Kata-kata Kyai Johar telah menyihirnya, hingga kaki Minto kuat melangkah ke tukang koran. Minto tak membeli, hanya pinjam untuk melihat lowongan kerja pada iklan baris. Beruntung tukang koran itu baik hati. Minto mencatat beberapa yang mungkin ia datangi. Sampailah Minto hari ini pada ruang tes wawancara untuk menjadi pegawai di sebuah koperasi Mekar Sari yang telah mengutuknya jadi pengemis.
Kemarahan dan kegundahan Minto kian terbakar, mendapati Marni menangis di rumahnya. “Mas, Bapak terus mendesakku segera nikah.” Terisak. “Kalau Mas Minto nggak segera melamar Marni, jangan lagi ketemu Marni, mungkin Marni akan jadi milik Pak Bejo, pegawai koperasi Mekar Sari.” Kembali terisak. “Sudah dua kali Pak Bejo lamar aku Mas. Demi Mas Minto aku rela dimarah-marah terus sama Bapak.”
Minto tak berusaha menghibur Marni dan mengukir janji, justru meledak. “Kawin sono sama Pak Bejo!”
Marni cepat-cepat memburu pintu depan, membantinya dari luar persis seperti dilakukan Minto di koperasi tadi. Lari dan lari, ditemani isaknya yang kian menjadi. Sementara Minto sendiri menyesali ucapannya. Marni…, maafkan Mas Minto. Mas Minto sudah berusaha keras untuk mendapat pekerjaan. Andai sudah ada sedikit uang, Mas Minto pasti datang melamar.
Minto terduduk lemas di amben. Ditatapnya gambar Marni yang terpajang ditembok. Gambar hitam putih itu telah 5 tahun terpajang di sana. Tak berubah, Marni tetap saja cantik. Tiba-tiba saja mata Minto telah meleleh.

******
Waktu terus berputar, Minto masih saja menganggur. Apa mungkin aku memang harus jadi pengemis? Minto sempat berpikir seperti itu. Ah, lupakan. Nasibku takkan seperah itu. Bagaimanapun juga aku harus terus berusaha mendapat pekerjaan terpuji. Mending nyuci piring tiap hari dari pada ngemis, apa lagi nyuri.
Sejak ditudingnya untuk kawin sama Pak Bejo Marni tak pernah datang. Hanya sekali mengirim salam lewat Suminah, adik bungsu Minto yang masih SMP. Minto sendiri tak berani datang ke rumah Marni. Selain tak tahu apa hendak dikata pada Marni, Minto juga tak enak hati dengan Pak Parto, bapakknya Marni. Sudah dua tahun lalu Minto berjanji akan segera melamar Marni.
Rindu dan rindu yang dirasai Minto. Marni… apa kabarmu? Kau bertahanlah, Mas Minto pasti datang. Maafkan Mas Minto karena tak sanggup mengunjungimu saat ini. Mas Minto tak punya apa-apa untuk membuatmu tersenyum. Bahkan kabar bahwa aku telah bekerja pun tak punya. Buat apa aku datang sekarang? Paling-paling menambah dalam luka yang kau derita.
Minto terhenyak dari lamunannya karena hari berlalu begitu cepat. Ancaman Marni dulu terbukti, ia telah menjadi istri orang lain. Dan suaminya… tentu Pak Bejo. Ya, Pak Bejo yang telah mengutuknya jadi pengemis itu. Marni telah diboyong ke Karang Jati, sebuah kampung yang jaraknya dua kecamatan dari kampung Minto.
Minto kalap mendengar kabar itu. Ia mengambil parang, hendak menggorok leher sendiri. Tapi tak kuasa. Tidak, aku takkan mati untuk ini. Bedebah!
Dilemparnya parang itu ke gambar Marni yang nempel di tembok bambu. Parang itu jatuh ke lantai tanah dan gambar Marni robek di Pipi. Didekatinya gambar itu. “Marni… kau brengsek! Brengsek! Kau brengseekk!” Dipukulinya gambar Marni berulang dan, “Brakk!.” Minto kaget oleh genting yang jatuh akibat goyangan tembok yang dipukulinya. Ditatapnya lagi gambar Marni. Sekali lagi Minto hendak memukul Marni dalam gambar itu, tepat di mukanya. Tapi tangannya tertahan dan bergetar. Minto menyentuhkan jari-jari kasarnya ke pipi Marni yang robek, dengan lembut. “Marni…, aku mencintaimu….”

*******

Minto berusaha untuk tegar. Tak putus harap dan doa memperoleh pekerjaan yang dapat menghidupinya. Pun setelah sekian lama, ia memperolehnya juga. Minto jadi tukang parkir di dekat pasar Mrican. Minto bekerja keras, tapi selalu hilang tenaga ketika merenung. Untuk apa bekerja, bagaimanapun, Marni takkan lagi jadi milikku? Kenapa seperti ini? Kenapa nasib tak berpihak padaku?
Celengan Minto telah cukup untuk nikah ala orang desa, tapi tak ingin. Kawan kerjanya yang telah beranak dua berkali-kali hendak mengenalkan Minto dengan sepupunya yang kata orang-orang ayu dan lugu. Gadis itu kembang desa. Sampai saat ini Minto masih tak ingin. Menunggu. Ya, Minto masih menunggu. Tapi entah apa yang ditunggu. Dia tahu bahwa Marni takkan lagi datang untuknya. Mungkin Minto berharap ada keajaiban, bahwa Marni masih seorang gadis yang suci. Minto akan datang untuk melamarnya.
“Marni, memang Mas Minto miskin dan tak punya apa-apa, tapi Mas Minto berjanji akan membahagiakan Marni.”
“Iya, Marni juga yakin, hanya Mas Minto dapat memberi Marni kebahagiaan.”
“Pak, motor merah.” Lamunan Minto pecah ketika seorang perempuan menyodorkan karcis parkir dan uang lima ratus perak. Minto segera menuju motor merah yang ditunjuk. Dipandanginya perempuan yang membawa motor merah itu hingga lenyap. Marni…, perempuan itu seusia Marni. Tapi sama sekali bukan Marni.
Sebentar kemudian seorang tua bertopi dan berbaju lusuh menyodorinya gelas plastik. Minto mengambil satu receh lima ratusan, ditaruhnya di gelas itu. Sekilas mata Minto melihat wajah pengemis itu. Ada yang tak asing. Seseorang yang pernah dikenalnya entah di mana. Tapi siapa?
“Eh tunggu sebentar.” Minto menahan pengemis itu ketika hendak berlalu. Seketika minto terperangah. “Rasanya aku kenal kowe… Bejo. Kowe Bejo tho? Minto tersenyum sinis. “Oo… bener, kowe Bejo, petugas tes wawancara yang dulu itu tho?. Ini aku juga punya gelas bekas air mineral, kowe bawa saja sekalian, buat cadangan, kali-kali yang itu hilang.”
Minto terseyum penuh kemenangan, tapi tiba-tiba tersentak. Ya Allah, Marni… kamu jadi apa sekarang?
Dikejarnya Pak Bejo yang telah beranjak. “Marni, apa kabarnya Marni, kau suruh ngemis juga?” Minto mencengkeram kerah baju Pak Bejo, dan mencekikkannya.
“Oo, jadi kau Minto yang membuat Marni menangis setiap hari itu?”
“Iya! Lalu kenapa?!” Bejo semakin kuat mencekik Pak Bejo.
“Marni…. Marni sudah hangus.”
“Hangus? Hangus bagaimana maksud kowe?!” Minto mengangkat tangan kirinya, siap menampar Pak Bejo.
“Beberapa hari setelah aku boyong Marni, rumahku kebakaran. Marni juga semua keluargku terjebak di dalamnya. Semuanya hangus. Aku tak punya apa-apa lagi.”
Rupanya tak lama setelah pernikahannya, rumah Pak Bejo terbakar. Karena terlalu banyak hutang pada koperasi tempatnya bekerja yang tak terbayar, Pak Bejo dipecat. Ijazah kuliah yang jadi kebanggaannya ikut terbakar. Padahal Perguruan Tinggi tempat ia kuliah dulu sudah gulung tikar. Ijazah tak terselamatkan. Kini dia ngemis. Benar-benar…, Pak Bejo.
Tubuh Minto bergetar. Tangannya siap menerbangkan tinju ke muka Pak Bejo. Namun tertahan melihat ujung-ujung mata Pak Bejo yang berembun. Seketika Minto jatuh tak bertenaga. Ditatapnya langit luas yang kosong. Lirih ia sebut nama itu. Marni….

Bersemangat

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasul saw. bersabda: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada orang mukmin yang lemah. Masing-masing ada kebaikannya. Bersemangatlah untuk mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi dirimu, serta mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah lemah! Kalau tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengucapkan: “Seadainya saya berbuat begini tentu akan terjadi begini dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan terjadi.” Karena kata seandainya itu akan memberi jalan pada setan.” (HR. Muslim)

Boleh kau praktekan. Silahkan duduk dengan punggung membungkuk, jatuhkan tanganmu dan hadapkan wajahmu ke bawah. Setelah itu cobalah untuk tersenyum! Sekarang tegakkan punggungmu, angkat tanganmu ke dada, dan tataplah ke depan. Cobalah lagi untuk tersenyum!
Bagaimana?
Dijamin, ketika tersenyum yang pertama, kau merasa berat, tidak enjoy, terlalu dipaksa. Iya karena posisi tubuhmu bukan mencerminkan orang yang sedang bersemangat dan bahagia. Kau lesu, loyo dan sengsara. Tapi setelah menegakkan badan dan menatap ke depan, kau telah menjadi orang yang bersemangat. Kau telah siap untuk menghadapi segala tantangan yang ada di depan. Karena itu senyum ceriamu akan mudah mengembang.
Maka bersemangatlah!
Manusia dicipta bukan untuk menjadi pecundang. Bukan untuk menjadi pengangguran yang ada guna merepotkan. Bukan pula untuk menjadi pemalas yang hidupnya selalu memelas. Apa lagi untuk menjadi penjahat yang selalu berperilaku bejat, bukan sama sekali.
Sebaliknya, kita dicipta untuk menjadi luar biasa. Kita ada untuk menjadi manusia-manusia hebat. Laqad khalaqnal insaana fii ahsani taqwiim. Allah telah menciptakan kita dapat bentuk yang sebaik-baiknya. Dengan modal terbaik yang diberikan Allah ini, mestinya manusia juga berpikir, berperilaku, bekerja dan meraih prestasi-prestasi yang luar biasa.
Bersemangatlah!
Mengutip Thomas Carlyle, Fauzil Adhim mengatakan bahwa, “Sejarah dunia (sesungguhnya) adalah sejarah manusia besar.” History is the world is the biography of the great man. Sejarah hanya mencatat kehidupan orang-orang besar, sama sekali tak terisi oleh kisah-kisah orang biasa. Lihatlah penjual krupuk di pasar, tukang parkir di depan supermarket, pengamen jalanan, atau baby sitter di rumah-rumah orang kaya, akankan 60 tahun yang akan datang mereka menjadi bahan pembicaraan, kajian dan diskusi? Tidak sama sekali. Kecuali mereka dapat merubah hidupnya, pedagang krupuk hanyalah pedagang krupuk, tukang parkir tetap saja tukang parkir, pengamen juga akan tetap jadi pengamen, sedang baby sitter kalau tak cantik mungkin akan jadi perawan tua. Maaf.
Bukan ingin merendahkan, bukan ingin mengatakan bahwa orang-orang yang punya profesi semacam itu tak pantas mendapat penghormatan juga tak layak masuk surga. Hanya saja profesi seperti itu memang tak dapat membuat seseorang dikatakan sebagai orang besar. Di suatu masa kehidupannya, tokoh-tokoh besar mungkin juga pernah menjadi pedagang krupuk, penggembala kambing, pengamen, atau profesi-profesi lain yang tak lebih bergengsi, akan tetapi bukan itu yang menyebabkan namanya mengabadi. Mereka menjadi besar karena mampu menggetarkan dan merubah dunia.
Ya, tokoh sejarah pasti punya peran besar bagi umat manusia, melakukan kerja-kerja besar dan membuat perubahan yang dahsyat. Memang, terkadang juga melakukan kejahatan yang mengerikan.
Nah, bila kau jugan ingin mencatatkan diri dalam sejarah, bila ingin menjadi manusia besar, maka guncanglah dunia. Lakukan perbahan-perubahan yang menggetarkan alam raya. Bukankan kita telah dicipta untuk menjadi khalifah di muka bumi?
Mari kita mulai, minimal dengan melakukan perubahan diri. Bila dulu selalu malas, mulai hari ini semangatlah. Bila dulu sering pesimis, mulai hari ini optimislah. Bila dulu kerap berpikir negatif, mulai hari ini berpikirlah secara positif. Bila dulu biasa duduk merunduk, mulai hari ini berdiri dan berlarilah. Bila dulu mudah cemberut, mulai hari ini tersenyumlah!
Bersemangatlah kawan!
“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada orang mukmin yang lemah.” Begitu Rasulullah menyampaikan. Maka di saat para sahabat menyerah menghadapi batu besar yang menghalangi penggalian pada perang parit, Rasulullah datang menghujam batu itu dan membuatnya berkeping.
Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada orang mukmin yang lemah. Kuat secara fisik itu bagus, akan tetapi lebih bagus lagi bila diimbangi dengan kekuatan jiwa, kekuatan visi, kekuatan ilmu, kekuatan pikiran, juga kekuatan pengaruh. Nah, bersemangatlah untuk meraih semua itu!
Sungguh tak layak menjadi pemimpin jika kita lemah. Tak pula akan menjadi besar bagi orang yang loyo. Lihatlah pebisnis-pebisnis sukses, para manajer atau CEO sebuah perusahaan besar. Adakah mereka suka tongkrong di pinggir jalan? Atau mereka suka melamun sendiri dalam kamar hingga 2 jam berlalu begitu saja? Atau mereka sering mengeluhkan kesulitan-kesulitan hidup yang ditemuinya pada setiap orang? Tidak. Orang-orang sukses itu salalu bersemangat. Bukan hanya karena mereka telah sukses lalu menjadi semangat, tapi semangat mereka juga telah menjadi pendorong kesuksesan. Dengan kata lain, bila bersemangat, kau akan sukses. Bila kau sukses, kau akan tambah semangat.
Maka bersemangatlah kawan!
Banyak yang meski kita kerjakan. Simaklah berita dan perhatikan sekitar kita. Engkau akan temukan dunia yang bertabur kejahatan, kemisikinan, kebodohan, kepedihan, dan segala hal yang memilukan. Siapa yang akan merubah semua itu kalau bukan kita?

Bacalah!

Al-’ilmu nuurun. Kalimat ini sangat terkenal di pesantren. Tapi jangan artikan “nuurun” dalam bahasa Jawa (dalam bahasa jawa “nurun” berarti nyontek) seperti kecurangan-kecurangan dalam Ujian Nasional yang selalu terjadi di negeri ini. Kabarnya kecurangan-kecurangan itu selain kebijakan dari sekolah masing-masing, juga telah menjadi kebijakan dinas. Kabar-kabarnya juga, dalam hal ini Pemalang telah menjadi aktor utamanya pada Ujian Nasional tahun lalu. Masya’Allah. Padalah, ilmu bukan terletak pada ijazah. Lulus sekolah bukan berarti banyak ilmu. Ah, ...
Al-’ilmu nuurun. Ilmu adalah cahaya. Ilmu adalah pelita yang akan menerangi jalan hidup kita. Dengan ilmu kita tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang semestinya ditinggalkan. Dengan ilmu kita tahu mesti ke mana melangkahkan kaki. Dengan ilmu kita tahu bagaimana mengatasi masalah-masalah dalam perjalanan hidup ini.
“Para ulama mempuyai derajat-derajat di atas orang-orang mukmin sebanyak 700 derajat. Jarak antara dua derajat adalah sama dengan perjalanan 500 tahun.” Begitulah Ibnu Abbas r.a. memberi ibarat tentang pentingnya ilmu. Sedang Allah juga telah berfirman; “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadillah: 11)
Tuntutlah ilmu, karena seperti kata seorang ulama; Mempelajari ilmu untuk menggapai ridha Allah adalah kebaikan. Menuntut ilmu adalah ibadah. Pengkajiannya adalah seperti tasbih. Penyelidikannya seperti jihad. Pengajarannya adalah sedekah. Pemberiannya kepada ahliyah adalah pendekatan diri kepada Allah. Ilmu adalah penghibur di kala kesepian, teman di waktu menyendiri dan petunjuk di kala senang dan susah. Ia adalah pembantu dan teman yang baik. Lebih-lebih ilmu adalah penerang jalan ke surga.
Maka BACA! BACA! dan BACALAH!

TRUE FRIEND


TRUE FRIEND!
Siapakah sahabat sejati itu?
Apakah teman yang tiap hari bersama kita?
Apakah orang yang selalu ada di saat kita tertawa dan bahagia?
Atokah orang-orang yang ada saat kita berduka?
Trus, gimana yaa… cara ngedapetin buanyak temen?

Nah…, biar kamu bias nemuin sahabat sejatimu n’ buat persahabatan kalian paling duahsyaat, buruan gih baca buku ini!
Temukan segudang tips tuk dapetin buanyak temen; tips gimana etika bergaul biar persahabatan ini bermanfaat, dunia akhirat; n’ tips biar bias ngadepin sahabat-sahabat yang unik n’ special.
Ada juga lho… aturan tuk bikin kelompok sahabat (baca Genk Putih), juga tips kalo-kalo ada yang terjebak ‘Virus Merah Jambu’ dalam persahabatan, juga tips-tips lainnya.
Menggalang persahabatan, mengukuhkan ukhuwah n’ silaturahmi.
Berbagi senyum, berbagi rasa ‘peduli’ terhadap sesame, memberi dan memberi lebih.
Sehingga, persahabatan ini nggak Cuma ajah untuk bertemu, tetapi lebih sebagai ajang tuk berbagi motivasi, memadukan potensi, n’ bersama-sama raih prestasi.
Baca buku ini dan temukan segudang tips yang bakal memperSOLID persahabatanmu!! Galilah potensi dan motivasi diri kalian tuk memperoleh yang terbaik, dunia akhirat! Insya Allah…. Amin!!

CHANGE NOW!


Nyontek, bolos, benci ama sekolah, NO MORE!
Malas, letoy, ragu-ragu, ga PeDe, NO MORE!
Bodoh, kalah, terpuruk, NO MORE!
Jahat, jahil, dosa, maksiat, NO MORE!

Mulai hari ini loe adalah orang yang huebat!
Mulai hari ini loe jadi muslim yang duahsyat!
Syaratnya, lakuin perubahan-perubahan luar biada dalam hidup loe. Tinggalin, buang jauh-jauh segala sifat n’ kebiasaan-kebiasaan buruk loe.
Ganti dengan yang baru!
Ganti dengan yang luar biasa!!
Inilah saatnya tunjukin bahwa loe seorang muslim.
Saatnya loe tunjukin bahwa muslim itu luar biasa.
Saatnya kejutkan dunia bahwa loe pantas jadi pembimpinnya.

SAATNYA BERUBAH!!!

Ilmu Pasti

Mula-mula belajar di Sekolah Dasar dulu Ahmad merasa begitu bodoh. Apa lagi menghadapi pelajaran matematika, susah. Di rumahnya Ahmad sering diajari matematika oleh kakaknya. Pernah suatu kali kakaknya sampai hilang kesabaran karena Ahmad tidak segera paham. Ahmad hanya bisa menagis mendengar marah-marah kakaknya.
Kakanya itu begitu terkenal kepintarannya. Ia hampir selalu juara kelas sejak SD sampai SMA. Ia juga sering diikutkan lomba, seperti lomba cerdas-cermat, lomba matematika, atau main catur. Hal ini semakin membuat Ahmad minder, karena ia merasa begitu berbeda dengan kakakknya. Ia hanyalah seorang anak bodoh.
Seiring kesungguhan Ahmad dalam menuntut ilmu, ia pun semakin menikmati sekolah. Kelas empat SD Ahmad telah mampu menduduki peringkat tiga di kelasnya. Terus di kelas lima, jadi juga Ahmad juara kelas. Di tingkat SMA, Ahmad justru dapat mendominasi juara kelas.
Di SMA, ilmu pasti seperti matematika justru telah menjadi andalan Ahmad. Itu karena jawaban soal ujian bersifat pasti. Kalau 2 ditambah 2, hasilnya ya 4. Pasti. Kegemarannya mengerjakan soal-soal matematika yang ada di buku LKS, telah membuatnya unggul di kelas. Kini Ahmad tak lagi merasa menjadi anak paling bodoh di rumahnya. Ahmad juga bisa juara kelas. Ahmad juga bisa dapat beasiswa seperti kakaknya.
Kisah Ahmad kecil memberi pelajaran bahwa kepandaian seseorang bukanlah melulu faktor bawaan lahir. Kepandaian dapat dimiliki kerena seseorang mau belajar. Memang ada orang-orang yang sejak kecil memiliki kecerdasan intelektual lebih dari lainnnya. Namun kalau kemampuan berpikirnya tidak diasah, ilmunya tidak ditambah, otaknya bisa jadi tumpul. Sama seperti pisau yang dibiarkan tergeletak, tak pernah dipakai, tak pernah diasah. Lama-lama pisau itu akan tumpul, berkarat dan rusak.
Itulah sunnatullah. Allah telah memberikan kadar-kadar (qadar = ukuran) hasil tertentu atas usaha manusia. Siswa yang mau belajar akan mendapat nilai lebih baik dari siswa yang enggan belajar. Siswa yang belajarnya lebih serius juga akan mendapat nilai lebih baik dari siswa yang belajar sekenanya. Kalau ada siswa yang sudah belajar dengan optimal tapi justru mendapat nilai jelek, itulah takdir-Nya. Jadi, kita tidak bisa menyalahkan takdir atas jeleknya nilai yang diperoleh. Barangkali kita yang belum optimal dalam belajar. Kalau kau sudah belajar giat, kemudian kau memperoleh nilai bagus, itu kan takdir juga.
Maka perlu diingat, bahwa usaha seoptimal apapun yang telah dilakukan, kalau Allah belum menghendaki suatu kebaikan, pasti tidak akan sampai pada kita. Walau kau belajar siang malam dengan motivasi yang tinggi, dengan teknik-teknik belajar paling efektif, kalau Allah belum menghendaki nilai sepuluh bagimu, pasti kau tak akan mendapatkannya. Di sinilah saatnya kita berserah diri pada Allah, bahwa segala sesuatu hanya akan terjedi menurut kehendak-Nya.
Seperti itulah kehidupan di dunia ini, segalanya serba belum pasti. Hanya Allah saja yang mengetahui kepastiannya. Manusia hanya mengenalnya sebagai kemungkinan-kemungkinan. Kalau sudah belajar giat, kau mungkin mendapat nilai bagus, tapi belum pasti. Bagi anak sekolah, lulus itu baru mungkin, belum pasti. Begitupun muda-mudi yang sudah pacaran 5 tahun, kalau belum dilaksanakan, nikah itu baru mungkin bagi mereka, belum pasti. Kalau toh mereka jadi menikah, hidup bahagia juga baru mungkin, belum pasti.
Barangkali kau sudah siap untuk menikah esok pagi. Undangan telah disebar, panggung dan dekorasi telah dipasang, catering telah dipesan, keluarga-keluarga dekat telah datang, baju pengantin telah disiapkan, lafaz nikah telah kau hapalkan, bahkan kamar pengantin juga telah dihias dan dirapikan. Tapi tetap saja, nikah bagimu masih mungkin, belum pasti. Siapa tahu hari ini calon istrimu justru jatuh cinta pada pemuda kenalanmu, si pembuat baju pengantin itu. Terus dia batalkan pernikahan denganmu untuk menikah dengan pemuda itu. Siapa tahu? Atau…, siapa tahu nanti malam kau kena setrum ketika coba membenahi lampu di samping panggung yang mati. Terus kamu juga ikut mati seperti lampu itu. Siapa tahu?
Begitulah kehidupan di dunia ini, segala yang belum terjadi serba belum pasti.
Dalam hitungan matematika, memang 1 dibagi 2 hasilnya ½. Tapi dalam hitungan yang lain, hasilnya bisa berbeda. Dalam hitungan cinta misalnya, 1 dibagi 2 hasilnya tidak lagi ½, tapi justru menjadi 2. Seperti cinta seorang pria kepada istrinya, ketika sang istri telah melahirkan buah hatinya, maka ia harus membagi cintanya menjadi dua. Tapi tidak mungkin pria itu hanya memberikan cinta kepada istri dan anaknya setengah-setengah. Ia akan tetap memberikan totalitas cinta pada kedua kekasih hatinya. Cintanya kepada istri dan anak bukanlah 50% : 50%, melainkan 100% : 100%. Jadi total cintanya akan menjadi 200%. He he…
Nah, jadi…, ilmu pasti tidak berlaku di dunia ini. Segalanya serba mungkin….
Kecuali satu hal, mati. Bahwa semua manusia dan mahkluk yang hidup di dunai ini akan mati, itu baru pasti.
Setelah mati itulah semuanya menjadi pasti. Bahwa orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat akan mendapat siksa kubur. Kemudian bahwa orang yang banyak beramal shalih akan dilapangkan kuburnya, itu juga pasti.
Begitupun kehidupan selanjutnya. Bahwa orang beriman yang di dunia berbuat baik, banyak beramal shalih dan menghindari dosa-dosa akan dimasukkan Surga, itu pasti. Sebaliknya, orang yang di dunia durjana akan diterjunkan ke neraka, itu juga pasti. Bahwa hidup di Surga itu nikmat, bahagian, menyenangkan dan segalanya serba indah, itu pasti. Sebaliknya, bahwa hidup di neraka itu penuh siksa, sengsara dan merana juga pasti.
Guyonan Ustadz Didik Purwodarsono, kalau di dunia kau masih bisa mengatakan; "Ah, belum tentu pejabat yang kaya raya itu hidupnya lebih bahagia daripada aku." Tapi bagi orang yang dimasukkan ke neraka, dia tak mungkin berargumen; "Ah, belum tentu mereka yang tinggal di Surga itu hidupnya lebih enak dari aku yang di neraka."
Lalu…, apa kau akan tetap mengejar yang belum pasti?
Dan melupakan yang pasti??

Muslim Tangguh



Kesuksesan selalu beriringan dengan keberanian. Sajaa’ah atau keberanian inilah yang selalu menjadi sifat para pahlawan. Rasulullah Saw. takkan sukses membimbing manusia ke jalan yang benar, kalau beliau takut berdakwah. Khalid ibn Walid r.a. takkan sukses memimpin berbagai pertempuran, kalau takut mati dan terkalahkan. Abdurrahman bin ’Auf r.a. takkan menjadi shahabat Rasululllah yang kaya-raya andai beliau takut memulai usaha. Imam Ahmad bin Hambal mungkin takkan menjadi ulama yang sangat barakah ilmunya, andai saja beliau takut oleh penjara dan siksaan penguasa.
Resiko selalu menemani setiap langkah manusia. Karena itu kita harus berani menanggu resiko kehidupan. Harus berani hidup dan berani mati. Kalau takut mati, nggak usah hidup! Takut hidup, mati saja!
Untuk berani kita harus punya ketangguhan; tangguh dalam hal agama, mental, fisik, prestasi dan segalanya. Bagaimana caranya?
Temukan dan kenalilah dan optimalkan potensi diri!
Miliki sumber kekuatan utama!
Temukan langkah-langkah untuk menjadi
MUSLIM TANGGUH!

AHa! Asah Hati

Loe pernah merasa hidup ini gak berarti, seakan semua sia-sia n’ tiada guna? Pokoknya nonsen semua. Habis itu loe jadi males ngapa-ngapain; males belajar, males bekerja, males beribadah, males keluar rumah, males nyuci, males mandi, males gosok gigi (idih, bau tau!). Jadinya futur, alias full tidur.
Ato loe merasa semuanya bikin BT. Di rumah loe BeTe ama petuah-petuah orang tua. "Dasar crewet" pikir loe. Di sekolah loe muak dengan pelajaran matematika. Apa lagi ketika mau pulang guru loe ngasih PR yang jumlahnya luar biasa. Udah gitu temen-temen loe sikapnya juga terasa gak ngenakin. Bahkan sahabat deket loe ikut-ikutan bikin pengen muntah. Brengksek!
Eh, kok jadi marah. STOP. Bila itu yang terjadi, loe kudu cepet-cepet benahin diri. Apa yang mesti dibenahi? Jawabannya; HATI. Kok hati?
Iya, karena semua bersumber dari hati. Ingat hadits Rasul kita tercinta? Bila hati baik, maka baiklah diri kita. Sebaliknya, bila hati buruk, maka buruk juga diri kita. Nah bila kita lagi futur (berhenti dari aktifitas kebaikan) ato BeTe melulu, berarti ada yang salah pada hati. Lagi buruk tuh. Biasanya sih karena lagi banyak dosa n’ maksiatnya. So, mesti cepet-cepet berhenti berbuat dosa n’ say good bye ama maksiat.
Tapi apakah dosaku?
Ah, gak perlu bertanya pada orang lain, bila mau jujur terhadap diri sendiri, maka segunung dosa bakal kita temukan. Dan dosa itu milik kita seluruhnya. Coba deh ingat n’ teliti apa saja yang sudah kamu ucapkan hari ini, dari bangun tidur subuh tadi sampai saat ini. Bersihkah dari dosa? Yakin deh, kamu bakal ngejawab; tidak. Setelah diteliti…, ternyata ada cerita bohongnya, ada ngomongin jelek-jeleknya orang, ada kata-kata jorok n’ kasar, ada ungkapan kesombongan, ada marah-marah yang bukan pada tempatnya, dan sebagainya dan sebagainya. Bukankan semua itu dosa?
Itu baru soal omongan, dosanya udah segunung. Kalo kita teliti seluruh aktifitas kita seharian, maka dosa yang ditemuin bisa bergunung-gunung, berapi lagi. Mesti hati-hati dunk, ntar meletus kan gaswat dasrurat (Canda loh!). Tapi beneran gaswat, kalo dosa udah bergunung-gunung, hati kita bisa tumpul. Bila udah tumpul, jadinya ya susah dapat hidayah. Dengerin bacaan al-Qur’an gak ada pengaruhnya, shalat jadi susah konsen, dikasih nasihat orang malah marah-marah, giliran ditawarin makanan langsung dihabisin (itu mah tandanya kelaparan).
Biar hati kita gak tumpul kaya gitu, ya kudu dibersihin n’ diasah lagi. Loe tahu kan caranya? Cara ngebersihin hati dari balutan dosa ya taubatan nasuha. Berhenti berbut dosa, menyesali sedalam-dalamnya, berjanji gak akan mengulangi lagi. Sedang cara mengasahnya tiada lain dengan takwa yang sebenar-benar takwa. Isi hidup ini dengan amal-amal utama. Hiasi diri dengan akhlak mulia. Oke ya!
abcs