Bila Bulan Ramadhan hendak berlalu, segera saja radio dan televisi menyiarkan berita yang menjadi hangat;
arus mudik. Apa lagi bila Lebaran tinggal beberapa hari lagi, arus mudik
semakin memenuhi ruang berita.
Mudik merupakan fenomena yang cukup
unik di Indonesia. Mayoritas perantau pulang ke kampung halaman masing-masing
pada moment ’Idul Fitri ini. Begitupun orang-orang yang sudah tinggal di
luar kampung halamannya. Mereka berduyun pulang ke tempat kelahiran.
Tak peduli berapa biaya yang
diperlukan, tak malas karena libur yang hanya beberapa hari, tak enggan berebut
tiket, tak merasa benci karena harus berdesakan di bus atau kereta, juga tak
takut ketika harus naik motor boncengan dari Jakarta ke Surabaya. Pokoknya
mudik harus diusahakan. Mudik seakan telah menjadi kewajiban atau paling tidak
amalan sunnah muakad. Ada kesedihan merasuk hati, kalau tak bisa ikut
mudik Lebaran tahun ini.
Tahun ini adalah pertama kalinya Maman ikut
merasakan mudik. Pada Lebaran kali ini, Maman dan istrinya merencanakan untuk shalat
’Idul Fitri di kampung halaman istri. Karena ini Lebaran pertama yang
akan mereka jalani bersama, Maman harus ikut syawalan keluarga besar
istrinya. Oleh itu mereka hendak ke pulang
ke orang tua Maman pada H+1. Saat keputusan itu mereka ambil, ada rasa yang
merasuk dada Maman. Sedih, ingin rasanya mudik sebelum tanggal 1 Syawal.
Saat kepulangan memang selalu dinanti.
Lihatlah anak kecil yang diajak bepergian. Apa yang dia pinta? Selain jajan,
biasanya adalah pulang. “Ma, pulang ma! Sekarang ma!” Malah Maman pernah
bercerita tentang Si Acim, salah satu keponakannya ketika merengek minta pulang
ke Jogja pada abi-nya. Saat itu malam hari di sebuah kampung dekat jalur
utama Pantura, rumah mertua Maman. “Bi, pulang bi!” Si abi yang
juga kakak Maman itu pun memberi kalimat negosiasi; “Ya besok ya kalau sudah
pagi.” Namun Acim tak menyerah; “Sekarang bi, pulang bi!” Kata
abi-nya lagi; “Iya besok, sekarang nggak ada mobil!” Dengan enteng Acim
pun membalas; “Naik motor!”
Jangankan anak kecil, manusia dewasa
saja sering sangat merindukan pulang. Bahkan bukan hanya orang-orang seperti
kita yang selalu rindu pulang, Rasulullah dan para shahabat pun rindu pulang ke
kampung halaman. Bilal yang begitu teguh melawan derita di Mekah, harus
melantunkan baris-baris puisi sendu ketika harus berhijrah ke Madinah. Padahal
baru sesaat Bilal meningalkannya. Padalah, negeri yang ditinggalkannya itu
telah menggoreskan seribu luka.
“O, betapa haruskah
Kulalui malam ini pada lembah
Yang tiada padanya Idzkir
Dan tiada pula Jalil”
Seribu kenangan tentang kampung halaman
tersusun rapi dalam benak kita. Pada saat-saat tertentu, kenangan itu
berhamburan dan membuat kita terhanyut. Kemudian tertawa, haru, atau sendu....
Betapapun pahit kehidupan yang pernah
dilalui, kampung halaman selalu menumbuhkan pohon rindu. Apa lagi bila keluarga
dan kerabat masih tinggal di sana. Maka Ebit pun bersenandung. “Aku ingin
pulang. Aku harus pulang. Aku ingin pulang. Aku harus pulang.”
Kampung halaman dan rumah sendiri
adalah tempat yang selalu memberi ketenangan. Kesejukan. Betapapun nikmat dan
fasilitas yang didapat di luar sana, kepulangan selalu menjadi saat yang paling
dinanti. Maka tak heran kalau ungkapan “home sweet home” begitu populer.
Selain itu kita juga sangat akrab dengan ungkapan “Baiti jannati” , “Rumahku
Surgaku.”
Ada kerinduan yang jauh lebih besar
semestinya dimiliki oleh setiap muslim. Rindu kampung Surga. Kata para ulama,
rumah kita yang sebenarnya bukan di sini, di dunia ini. Rumah kita sesungguhnya
ada di Surga. Maka, perjalanan hidup ini adalah perjalanan pulang ke Surga. Di
Surga nanti, kita akan berkumpul kembali dengan saudara-saudara yang
benar-benar saudara. Bukan saudara yang hanya di mata, sementara hatinya penuh
benci. Bukan pula saudara yang jelas-jelas meneriakkan permusuhan terhadap
kita. Saudara di Surga adalah saudara tanpa dengki, tanpa iri, tanpa sikap menjilat, tanpa kebencian dan
tanpa permusuhan. Saudara di Surga adalah saudara penuh cinta, saudara dalam
arti sesungguhnya.... Tidakkah kau rindu untuk segera ke sana?
Ternyata ungkapan itu benar. Rumahku
Surgaku. Ya, rumahku Surgaku, karena rumahku yang sesungguhnya ada di Surga.
Karen itu sahabat, mari kita lakukan
yang terbaik untuk perjalanan pulang ini. Alangkah ruginya bila seseorang baru
tiba di rumah sesungguhnya setelah tersesat ke neraka. Lebih-lebih, alangkah
ruginya orang yang tak pernah sampai kembali ke rumahnya, di Surga sana.
Sahabat, selamat menempuh perjalanan
pulang. Semoga kau akan segera menemukan kebahagiaan hidupmu di rumah yang
sesungguhnya. Semoga segera kau dapati kebahagiaan abadi di Surga sana.
Maaf, tadi bukan doa agar kau cepat
mati loh!