Memberi Itu Ternyata Nikmat


Peminta-minta, rasanya semakin banyak saja. Bahkan di kota kecilku ini. Setrateginya rupa-rupa, tetapi motif utamanya sama, meminta. Sebagian mungkin benar-benar terpaksa. Akan tetapi sebagian lainnya, aku yakin banyak jumlahnya, telah menjadikan meminta-minta sebagai pekerjaan. Ah, na’udzubillahi min dzaalik.
Ketika datang seorang peminta-minta pada kita, terkadang sulit membedakan, orang itu kepepet, atau pekerjaan utamanya memang menengadahkan tangan. Mungkin ketularan istri, menghadapi peminta-minta yang menyodorkan tangan di jalan, di bus atau di alon-alon, aku lebih sering melambakan tangan, alias tak memberi.
Terkadang ada rasa tak enak hati juga. Rasanya jadi orang kok terlalu pelit. Dimintai betul-betul tapi malah tak memberi. Padahal seribu rupiah cukup untuk membuat orang itu berterima kasih dan segera berlalu. Tapi di sisi lain, aku juga sering berpikir, kalau orang-orang seperti itu terus ditolelir dan diberi, maka peminta-minta akan benar-benar terus menjamur. Toh yang meminta-minta seringkali terlihat fisiknya masih kokok dan bugar.
Lain halnya bila si peminta memiliki kekurangan fisik, seperti tak mampu melihat atau tak memiliki sepasang kaki. Dalam hal ini, hatiku masih lebih dapat mentolelir. Mereka mengingatkanku untuk banyak-banyak bersyukur kepada Allah. Maka, sekedar ber-dada ketika mereka menjulurkan tangan rasanya terlalu. Meski tentu saja, aku lebih salut pada orang-orang yang memiliki kekurangan fisik, tapi tetap bekerja dan sukses.
Ah, bila peminta-minta memang semakin banyak, mungkin solusinya adalah kebalikannya, memberi. Iya, perbanyak memberi, sehingga tiada lagi orang yang sempat meminta. Tentu saja, maksudku bukan hanya memberi uang receh ketika diminta. Akan tetapi memberi dalam arti lebih luas. Memberi pemahaman, memberi semangat, memberi harapan, memberi peluang usaha, memberi pekerjaan, syukur-syukur juga memberi modal.
Memberi itu nikmat. Akhir-akhir ini aku baru merasakannya. Terlambat sekali mungkin, karena belum lama aku berniat dan tergerak untuk selalu menyisihkan penghasilan bulanan untuk orang yang berhak. Shadaqah acak, itu yang kemudian aku lakukan. Aku menyisihkan sebagaian penghasilan, lalu memberikan uang itu secara acak. Seperti kepada tukang becak yang sedang ngetem di pinggir jalan. Pokoknya ketika bertemu orang yang kira-kira membutuhkan dan layak diberi, kasih saja. Jadi semacam uang kaget dalam jumlah kecil. Aku belum tahu, secara fiqih kontemporer, shadaqah macam ini bagus apa tidak. Yang jelas, aku berharap pahala dan balasan dari Allah.
Rupanya ada kenikmatan tersendiri ketika aku dapat memberi. Menerima ucapan terima kasih dan senyum gembira dari seorang tukang becak misalnya, hati jadi terasa lapang. Bahkan ketika seseorang yang diberi ternyata tidak menunjukkan sikap ramah dan terima kasih, hanya bilang “ya,” tetap saja hati ini bahagia. Apa yang tadi ada pada genggaman telah berpindah kepada orang yang berhak.
Malah, ketika sejumlah uang tertentu yang tak seberapa itu masih ada di tas, atau saku celanaku rasanya tidak enak. Ini hak orang lain, aku harus segera menemukan orang itu. Dan ketika uang itu telah berpindah tangan, lepaslah sudah..., lega.
Iya, dapat memberi itu ternyata nikmat. Pasti jauh sekali bedanya dengan meminta. Bahkan tanpa mengingat bahwa Allah akan mengganti dengan balasan yang berlipat ganda, memberi akan selalu mendatangkan rasa nikmat di hati kita. Mudah-mudahan saja, Allah senantiasa memberi kelapangan rezki, sehingga tangan kita lebih sering di atas. Dan yang terpenting, kita bisa ikhlas dan tergerak untuk memberi dengan sebaik-baik pemberian. Semoga, Allah juga senantiasa melimpahi kita rasa nikmat. Nikmat karena dapat memberi. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Semoga, tulisan ini tak menggusur keikhlasanku, hanya ingin berbagi, bahwa memberi itu ternyata nikmat.
0 Responses
abcs