Iman, semangat, kesabaran, dan segala sifat positif yang kita miliki
tak bisa selalu berada dalam kondisi paling prima. Ada kalanya naik, sesekali turun pula. Maka
sesabar-sabar kita menjalani aktifitas sebagai guru, ada kalanya dibuat jengkel
pula oleh ulah anak didik. Bila kondisi hati sedang menurun, sementara polah
anak mulai tak bisa ditolerir, terkadang otak secara otomatis memerintahkan
mulut untuk berteriak, marah.
Dalam kondisi seperti itu, hanya guru yang kuatlah akan tetap mampu
memberikan teladan yang baik. Kuat, bukan dari segi fisik, otot yang tebal dan
mampu mengangkat beban berat, melainkan seperti disampaikan Rasulullah. Dari Abu Hurairah ra berkata,
bahwa Rasulullah bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat,
namun orang yang kuat adalah orang yang memiliki jiwanya ketika marah.” (HR.
Bukhari)
Nah, kita harus
terus belajar agar menjadi guru yang kuat, guru yang tetap memiliki jiwanya
ketika marah, terkendali ketika emosi meluap. Dengan begitu, ketika marah pun
kita tetap mampu mengisyaratkan cinta, menunjukkan kasih sayang. Tidak
meledak-ledak dengan semburan kata-kata pedas.
Lebih dari itu,
satu hal menarik saya temui di buku The Relationship Cure oleh John M.
Gottman, Ph.D dan asistennya, Hoan De Claire. Mereka menuturkan tentang
'rekening emosi'. Simpelnya begini. Bila kita telah menabung emosi-emosi
positif pada jiwa sesorang, hal ini akan sangat membantu terjaganya hubungan
ketika terjadi konflik.
Misalnya dua orang
kawan yang biasa saling bercanda, tertawa bersama-sama. Ketika mereka
berkonflik, barangkali di antaranya kan
berpikir; "Saat ini aku memang jengkel sekali terhadapnya, tapi toh dia
teman yang selalu membuatku tertawa. Kurasa aku harus berusaha mengerti
dirinya."
Hal ini tentu
berlaku juga untuk hubungan guru dan anak didik. Maka, kita harus memperbanyak
tabungan emosi positif pada rekening perasaan di jiwa anak. Kemauan untuk
bercanda, memberi sentuhan fisik juga sentuhan-sentuhan qalbu terhadap anak
didik, insya Allah dapat mengurangi dampak buruk ketika suatu saat
kita terpaksa marah. Justru bila terbiasa sabar, bisa bercanda dan
berdekat-dekat dengan anak, marah kita akan lebih bertenaga, insya
Allah.
Kadang tak perlu teriakan, sorot mata yang berbeda dari biasanya sudah cukup
untuk menunjukkan kemarahan.
Teringat aku ketika
masih menjabat kepengurusan di Jama'ah Fatahillah, Lembaga Dakwah Kampus di
STIS Yogyakarta . Di sebuah rapat aku pernah
marah. Sehabis itu sedikit gempar dalam lingkup sahabat-sahabat dekatku.
Beberapa sahabat yang kebetulan tak hadir pada rapat itu justru penasaran.
Pengen melihat Rahman marah, kata mereka. Ah, ada-ada saja. Intinya, ketika tak
biasa terlihat marah, dapat menjadi perhatian tersendiri ketika hal itu
ternyata terjadi.
Kembali ke rekening emosi. Mari kita ciptakan kedekatan dengan anak
didik. Kita usahakan sebanyak-banyak pencitraan positif terhadap mereka. Kita
perbanyak tabungan emosi positif pada rekening perasaan di jiwa anak. Dengan
demikian, nasihat yang kita berikan tak menjadi beban untuk didengar, juga
dilaksanakan. Larangan yang kita berikan pun lebih mudah untuk dituruti. Juga
tadi, ketika suatu saat kita berkonflik dengan anak tertentu, akibat negatifnya
dapat diminimalisir.
Insya Allah anak akan mengerti, bahwa
ketika kita marah misalnya, bukan berarti kita membencinya, akan tetapi justru
merupakan ungkapan sayang. Ungkapan sayang yang diberikan tidak seperti
biasanya.