Rebutan Kursi


Terjaga jam dua malam. Melamun, berpikir, resah sendiri. Maka aku harus bangun dan menulis. Teringat aku kejadian tadi siang...
Seperti biasa, semester kedua, anak kelas enam mulai ada tambahan jam pelajaran, khususnya untuk mata pelajaran – mata pelajaran yang diUNkan. Kebetulan aku mengajar Bahasa Indonesia, hari Jum’at ada tambahan. Ketika anak-anak kelas tiga sampai lima kegiatan pramuka, kelas enam belajar Bahasa Indonesia.
Untuk menghindari kejenuhan, anak-anak minta pindah kelas, tidak di ruang kelas enam. Aku mengiyakan saja. “Silahkan mencari kelas sendiri,” kataku. Mereka pun masuk ke ruang kelas satu. Di kelas ini, anak-anak biasanya separuh duduk di kursi, separuh duduk lesehan. Karena kelas enam jumlahnya hanya 18, mereka semua duduk lesehan. Dalam posisi lesehan ini, mereka belajar menggunakan meja-mejak pendek panjang, persis seperti meja untuk pembelajaran Qiro’ati.
Ketika aku masuk, ternyata sedang ada keributan. Anak-anak itu rebutan meja. Tarik menarik meja, semacam tarik tambang tapi dengan media meja belajar. Mereka tak mempedulikan aku, ustadznya yang telah masuk dan duduk lesehan dalam kelas. Terus saja saling berebut. Anak putra merebut meja anak putri, ditaruh. Giliran anak putri mengambil meja anak putra, ditaruh. Anak putra yang lain, maju, merebut meja anak putri, ditaruh. Lalu anak putri yang lain maju, merebut meja anak putri, ditaruh. Anak putra yang lain lagi maju, merebut meja. Anak putri yang telah merasa memilikinya tak rela, dia pertahankan, tarik-tarikan.
Cukup lama adegan itu berlangsung, sampai ada anak putri yang memukuli anak laki-laki karena tak rela mejanya diambil. Anak itu putri itu matanya berkaca dan terlihat sangat marah. Sebagian anak tertawa-tawa menyaksikan adegan itu. Akan tetapi sebagian besar terlibat emosi. Ya, emosi...
Maka ada yang harus aku sampaikan. Kejadian ini sepertinya tidak sepele. Kuurungkan niat untuk segera melanjutkan pembelajaran Bahasa Indonesia. Urusan UN itu memang penting. Akan tetapi yang satu ini jauh-jauh lebih penting. Sepinta lalu langsung terpikir olehku, kayak’ orang-orang berduit pada rebutan kursi DPR aja...
Iya, sebenarnya tak jauh berbeda, hanya dalam sekala yang lebih kecil dan sederhana. Intinya saling berebut kekuasaan, dengan segala cara. Anak-anakku tadi, secara tidak sadar telah mementingkan diri sendiri. Menganggap meja yang sebenarnya kepunyaan sekolah itu adalah haknya, miliknya. Lalu menganggap kepemilikan meja itu begitu penting. Hingga bila tak punya, dia harus merebut orang lain. Bagi yang punya dan hendak diambil orang lain, dia tak rela. Iya, mereka secara tak sadar telah beranggapan bahwa menguasai meja itu sangatlah penting, tak peduli mendhalimi orang lain.
Insya Allah tidak akan terjadi, akan tetapi aku berpikir, jika sifat ini dibiarkan dan dipertahankan, kelak dapat menjadi suatu yang sangat berbahaya. Sekarang mungkin hanya rebutan meja. Kelak bisa jadi rebutan harga warisan, rebutan jabatan, rebutan kekuasaan di pemerintahan. Maka sekali lagi, ada yang harus segera kusampaikan.
“Anak-anakku, kalian seperti anak usia tiga tahun dan empat tahun,” aku memulai. Memang, si Lavy sama Mayluf kalau sudah rebutan sesuatu ya begitu. Sulit dilerai, maunya menang sendiri. Yang lebih besar dan yang kecil sama saja. Yang putra dan yang putri tidak berbeda. Rebutan ya rebutan. Tak ada yang mau mengalah.
Kusampaikan bahwa apa yang telah mereka lakukan sama sekali bukan hal baik. Hanyalah sifat ingin menangnya sendiri. Ingin menguasai, serakah. Kusampaikan pula bahwa mereka sudah harus mulai berpikir apa yang terbaik buta orang lain, bukan hanya untuk dirinya sendiri. Mereka harus mulai berpikir apa yang dapat diberi untuk orang lain, bagaimana membuat orang lain bahagia, bagaimana membuat orang lain nyaman dan seterusnya.
Butuh waktu cukup lama untuk menyampaikan nasihatku. Tak masalah, sekali lagi ini jauh lebih penting dari urusan Ujian Nasional. Semoga saja apa yang kusampaikan ada yang membekas di hati mereka. Amin ya Rabbal ‘alamin.
0 Responses
abcs