Kehilangan

Hari itu Maman sedang berada di sebuah bus antar kota. Di bangku urutan kedua dari belakang Maman bersandar, dekat pintu bus. Matanya tiba-tiba terbelalak, ketika ia menoleh ke sebelah kiri. Seorang pria berpakaian rapi sedang mengeluarkan tangannya dari tas seorang gadis. Gadis itu hanya diam sambil menarik-narik tasnya. Sedang pria itu celingusan ketika tahu bahwa Maman mengawasinya. Untunglah, pria itu tak mendapat apa-apa dari si gadis. Beberapa saat berlalu, pria itu meletakkan sebuah dompet pada bangku kosong di sebelah Maman. Seorang bapak datang dan langsung menilep dompet itu dengan koran. Tak berapa lama kemudian, dua copet itu turun. Sepertinya dompet itu milik ibu PNS yang duduk di depan Maman tadi.
Ya Allah, dunia....
Maman begitu geram melihat aksi dua pencopet itu. Namun apa daya...?
Kini Maman justru geram pada dirinya sendiri. Kenapa aku tak berbuat apa-apa? Dompet yang ditaruh di sebelahku tadi jelas-jelas curian. Bisa saja aku langsung mengambilnya dan mengembalikan ke ibu PNS itu. Tapi aku tak bergerak. Aku diam saja. Aku pura-pura tidak mengetahui bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi. Entahlah, aku bahkan tak tahu mengapa. Aku begitu takut. Atau aku hanya enggan mengambil resiko. Astaghfirullah.... Pikiran seperti itu kemudian memenuhi angan Maman dalam perjalanannya.
Tiba-tiba Maman teringat istri tercinta. Baru saja istirnya sms bahwa ia sedang mengambil gaji bulan kemarin. Hari itu memang tanggal satu, saatnya para PNS seperti istri Maman biasa ambil gaji. Ibu PNS itu.... Yang baru kecopetan itu..., mungkin juga baru saja ambil gaji. Sedang semua gajinya ada di dompet tadi.
Angan Maman jadi ke mana-mana. Ia ingat kakaknya yang bekerja sebagai tukang parkir. Hasil kerjanya yang dua kali sehari itu belum cukup untuk biaya hidup keluarganya. Setiap kali bertemu kakaknya, nampak jelas beban berat tersirat dari wajah, kata-kata, dan setiap gerak langkahnya. Lalu angannya pun kembali kepada ibu yang baru saja kecopetan tadi.
Ibu PNS itu..., mungkin juga sedang menghadapi problema berat dalam hidupnya. Barangkali anaknya sedang dirawat di rumah sakit dan menunggu untuk dioperasi. Barangkali suaminya belum lama meninggal. Bisa saja. Padahal, dua minggu lagi hari lebaran. Kenapa hasil kerja satu bulan malah dicopet? Ah, dasar pencopet-pencopet brengsek! Tak kuasa juga Maman menahan emosi.
Tak tahu kenapa, penumpang bus itu dioper ke bus lainnya. Maman duduk di bangku yang sama, nomor dua dari belakang, dekat pintu bus. Kali ini seorang bapak bertubuh gede duduk di sampingnya. “Apa tadi mas-e nggak ketawa?”, bapak itu membuka percakapan. Rupanya si bapak juga mengamati aksi dua copet tadi. Memang, bapak itu tadi duduk di depan Maman, di samping ibu PNS yang kecopetan. Ada cerita yang membuat perasaan Maman semakin tak menentu. Bapak itu bilang bahwa ia sempat melihat dompet tadi berisi lembar-lembar lima pulu ribuan yang banyak. Sepertinya perkiraan Maman betul, ibu itu baru saja mengambil gajinya. Mungkin uang THR juga baru diambilnya hari ini.
Maman sungguh merasa kasihan. Bukan hanya kepada Ibu PNS yang kecopetan tadi, tapi juga pada dirinya sendiri. Ia berpikir, mengapa begitu lemah hinggak tak mampu berbuat apa-apa untuk membantu Ibu PNS itu. Mengapa begitu takut dengan dua copet yang jelas-jelas berjiwa pengecut. Atau jangan-jangan dirinya sendiri juga cuma seorang pengecut.
Satu hal yang sedikit mengobati resah Maman, bapak yang duduk di sampingnya rupanya juga marah dengan dirinya. “Tak berkutik”, satu kata yang sempat didengarnya dari mulut orang itu. Si bapak terlihat terus gelisah, hingga mereka sama-sama turun di terminal Pemalang. Ternyata masih ada juga orang lain yang peduli, meski tak kuasa berbuat.
Andai saja waktu itu Maman menggagalkan aksi dua copet itu, si bapak pasti membantu. Tapi hari itu telah berlu, dan Maman benar-benar hanya mampu berdiam diri? Kini tinggal ia merasa kehilangan. Dalam sepinya Maman pun merenung;
Ibu PNS itu... Yang baru dicopet itu...., hanya kehilangan harta di dompetnya. Mungkin hal itu justru membuat dosa-dosa yang pernah diperbuatnya berguguran, hingga terbebas dari api neraka. Tapi aku...? Aku kehilangan kepedulian... Aku kehilangan empati... Aku kehilangan keberanian... Aku kehilangan keyakinan terhadap Allah. Mungkin juga berarti..., aku kehilangan sebagian dari imanku. Kehilangan apa lagi yang lebih merugikan daripada kehilangan iman? Ternyata aku begitu banyak kehilangan...
Sahabat, pernahkah kau merasa begitu kehilangan, seperti Maman?
Untunglah. Bahwa di balik kehilangan pasti ada hikmah. Seperti obrolan kita yang telah berlalu. Tinggal bagaimana kita mengambil sudut pandang, positif atau negatif. Mudah-mudahan, bila mendapat giliran melihat aksi copet seperti dialami Maman, kita dapat berbuat yang terbaik. Tapi mudah-mudahan, tiada pernah ada lagi copet yang beraksi. Cukup sampai di sini ada yang kehilangan.
Oh ya, bila kau sedang bepergian, hati-hati saja! Barangkali ada copet di sekitarmu. Mungkin tidak mencopet harta, tapi iman..., bekal perjalanan hidupmu!
0 Responses
abcs