Belajar dari Senyum Anakku


Namanya Lavy Shafiyyur Rahman. Aku dan Istriku biasa memanggilnya Dede Lavy. Aku menjadi saksi proses kehadirannya di bumi ini, waktu itu kutunggui kelahirannya dengan penuh harap cemas. Hampir 12 jam istriku berjuang dengan sakit yang entah seperti apa. Rasa sakit yang pasti tak akan pernah mendera oleh seorang pria. Aku hanya bisa menemani di dekatnya, membisikkan do’a dan mencium keningnya.
Dia anak pertama yang sungguh menjadi penyejuk hati kami. Hari-hari kami menjadi jauh berbeda setelah kehadirannya dalam gendongan kami. Suatu kenikmatan tersendiri saat aku mengelus rambutnya, mencium pipinya, menimangnya dalam gendonganku, bahkan ketika mencuci popoknya. Satu kebiasaanku yang lain adalah mempertemukan hidungku dengan hidungnya. Kata orang-orang hidungnya mbangir mirip ayahnya. Aku.
Luar biasa Allah menciptakan segala sesuatu. Aku kian menyadari hal ini melihat perkembangan anakku, Lavy. Bulan pertama dia hanya menggunakan tangis sebagai alat komunikasi, memberi tanda; lapar atau ompol. Ketika lapar dalam gendongan, dia selalu aktif menggerakkan dan menempelkan kepalanya ke dada orang yang menggendong, mencari nenen. Begitu pun bila aku yang kebetulan sedang menggendongnya, kepalanya tak henti mencari nenen pada dadaku. Saat seperti itu aku hanya bisa menyerahkannya pada sang bunda. Kalau bundanya tak segera datang, aku akan bilang padanya; “Dede, ini kan ayah. Ayah itu nggak punya nenen. Tunggu bunda ya.” Tapi itu tidak membuat Lavy berhenti mencari nenennya.
Memasuki bulan ke dua, banyak kemajuan dalam diri Lavy. Dia sudah bisa tersenyum dan tertawa, bola matanya mulai bergerak lincah, terutama bila melihat bola warna-warni yang dibelikan sang bunda. Sepertinya kini dia juga mulai mengerti bahwa ayahnya tidak punya nenen seperti bundanya. Saat dalam gendonganku dia tak lagi heboh mencari nenennya. Kalau sudah benar-benar pengen nenen, paling dia cuma menggerak-gerakkan kepala, kaki dan tangannya. Aku biasa gerakan-gerakannya itu dengan istilah “Usek”.
Pengalaman unik terjadi ketika istriku sakit. Demi memberi waktu istriku untuk beristirahat, malam itu aku berjaga menunggui anakku. Mengganti popoknya, membedongnya, juga menimangnya agar tidur kembali. Saat dia terbangun karena ompol, aku pun segera mengganti popok dan membedongnya. Namun tugas terakhirku tidaklah tuntas, aku tak bisa meninabobokkannya. Lama kuayun dalam gendonganku, matanya tak jua terpejam, justru tubuhnya mulai usek. Cara lain kucoba dengan menaruhnya kembali ke tempat boboknya. Aku berharap dia akan tertidur sendiri. Tapi sekali lagi itu tidak berhasil. Dia semakin usek dan mulai merengek. Aku kewalahan. Saat itulah istriku terbangun dan mendekat. Menarik sekali, begitu Lavy melihat sang bunda, ekspresi wajahnya langsung berubah. Senyumnya mengembang lebar, rengekannya hilang seketika. Sontak aku dan istriku tertawa.
Subhanallah… Sekali lagi, belum genap dua bulan usianya. Begitupun Allah telah memberinya berbagai pemahaman. Kini ia telah benar-benar mampu membedakan mana ayah dan mana bunda.
Lavy baru dua bulan menemani hidup kami di dunia. Hari-hari ke depan aku berharap akan semakin banyak pemahaman yang dimilikinya. Saat ini pun kami sudah mulai mengajarinya membaca, seperti yang disarankan Fauzil Adhim dalam bukunya. Mudah-mudahan aku dan istriku mampu memberi keluasan cakrawala berpikirnya, hingga kelak dia akan menjadi salah satu pejuang dalam barisan Allah Yang Maha Penyayang.
2 Responses
  1. Suzana Abd Manan Says:

    Salam buat Rahman, Comel sungguh anak itu. Tahniah saya ucapkan pada Rahman kerana dikurniakan bayi pertama, mudah-mudahan bertambah lagi zuriatmu...Amin

  2. Sekenhom Says:

    salam kenal ya. kita sma2 belajar menulis ;D
    jadi pingin punya anak hehh

abcs