“Jika kalian memohon kepada
Allah, mohonlah kepada-Nya Jannatul Firdaus yang paling tinggi, karena
sesungguhnya di sanalah intinya Surga.”(HR Thabrani)
Amirul Mukminin Umar bin
Khattab pada suatu ketika meminta para sahabat untuk mengungapkan cinta-cita
mereka. “Bercita-citalah kalian!” Seorang sahabat kemudian menyahut: “Aku ingin
sekali seluruh bangunan ini terisi emas yang aku infakkan di jalan Allah. Umar berkata lagi: “Bercita-citalah
kalian!” Seseorang mengatakan: Aku ingin ruangan ini penuh dengan permata dan
mutiara yang bisa aku infakkan di jalan Allah.” Umar berkata: “Bercita-citalah
lagi.” Mereka mengatakan: “Kami tidak tahu lagi apa yang bisa kami cita-citakan
selain itu ya Amirul Mukmini. Umar lalu berkata: “Aku bercita-cita kalau
ruangan ini penuh didatangi orang-orang besar antara lain seperti Abu Ubaidah,
sehinga aku bisa berjihad di jalan Allah bersama mereka.”
Orang besar selalu punya mimpi
besar. Iya, karena
sebagaimana pepatah Arab, kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin. Haqaiq al
yaum, umniyyat al ams. Orang-orang besar telah membuktikan ungkapan ini.
Engkau kenal Muhammad al-Fatih? Dialah
penakluk Konstantinopel yang menjadi salah satu bukti kebenaran Rasulullah itu.
Tidaklah mudah menaklukkan kota Konstantinopel. Pada masa Khalifah pertama Bani
Umayyah, kota ini pernah coba ditaklukkan, tetapi gagal. Bayazid Yildrim,
penakluk negeri Eropa juga hampir menguasai Konstantinopel. Namun gagal karena
kekalahannya oleh Taimerlance (Timur Leng), seorang penakluk lain. Ya, tidak
mudah menaklukkan Konstantinopel, karena waktu itu dijaga pasukan gabungan dari
Eropa Timur dan Selatan.
Tentu bukan sembarang orang dapat menaklukkan
kota bersejarah itu. Muhammad al-Fatih benar-benar orang yang tangguh. Asal engkau
tahu saja, Muhammad al-Fatih telah memiliki cita-cita untuk menaklukkan kota
itu sedari masih kecil. Ia telah terdidik oleh orang tuanya dalam berjuang.
Muhammad al-Fatih kecil sering terilibat dalam pertempuran, sehingga ia tahu
bagaimana perang itu sejatinya. Gurunya, Syamsuddin, pernah mengajaknya
berjalan-jalan di tepi pantai dan menunjukkan benteng Konstantinopel. “Itulah
benteng konstantinopel yang pernah diberitakan Rasulullah akan ditaklukkan oleh
salah seorang umatnya bersama pasukan kaum muslimin, sampai akhirnya
penduduknya memeluk agama tauhid.” Sejak itulah Muhammad al-Fatih bertekad
untuk menaklukkan Konstantinopel. Kita tahu, mimpinya kemudian menjadi nyata.
Konstantinopel telah takluk oleh Muhammad al-Fatih dan pasukannya.
Satu riwayat lagi. Suatu kali Abdullah
bin Umar, Urwah bin Zubair, Mush’ab bin Zubair, Abdul Malik bin Marwan yang
merupakan generasi Tabi’in sedang duduk-duduk di pelataran Ka’bah. Mush’ab mengangkat
pembicaraan dengan mengatakan: “Bercita-citalah kalian.”
Para sahabat masih enggan menyampaikan
cita-cita mereka, hingga Mush’ab diminta untuk menyampaikan cita-citanya
pertama kali. “Mulailah dari dirimu.” Ujar mereka. Mush’ab pun menjawab: “Aku
ingin kaum Muslimin dapat menaklukkan wilayah Irak, aku ingin menikahi Sakinan
puteri perempuan Husein dan Aisyah binti Thalhah bin Ubaidillah.” Beberapa
tahun ke depan, Mush’ab berhasil meraih apa yang dicita-citakannya.
Urwah bin Zubair lalu mengungapkan
keinginannya. Ia berkata bahwa dirinya ingin menguasai ilmu fiqh dan hadits.
Urwah kemudian dikenal menjadi salah satu tokoh ulama fiqh dan banyak
meriwayakan hadits.
Abdullah Malik bin Marwan tak mau
ketinggalan. Ia mengatakan bahwa ingin menjadi khalifah. Kelak ia dilantik
menjadi khalifah pada masa Daulah Umawiyah. Ia bukan hanya khalifah yang
memiliki ilmu luas dan banyak beribadah, tapi juga tokoh yang berhasil
menyatukan kembali wilayah kekhalifahan sepeninggal dua putera Zubair bin Awan.
Ia juga menjadi perintis
system post, menerjemahkan banyak kitab dan membuat uang logam dari emas.
Nah yang terakhir, Abdullah
bin Umar juga menegaskan cita-citanya. Ia ingin masuk Surga.
Bermimpilah, karena orang yang
kehilangan mimpi akan hilang semangat, lalu tiada lagi prestasi. Kau pernah
baca novel “Sang Pemimpi” dari tetralogi “Laskar Pelangi”nya Andrea Hirata? Ketika mimpi untuk terbang meneruskan
pendidikannya di Paris melemah, prestasi Ikal terpuruk. Ikal, satu dari tokoh
utama dalam novel itu terpaksan menempatkan ayahnya pada bangku nomor 75.
Padahal sebelunya duduk di bangku nomor 3. Bangku-bangku tersebut telah diberi
nomor urut sesuai rengking anaknya di sekolah. Namun cinta pada sang
ayah telah mengembalikan mimpinya, hingga Ikal dapat menempuh pascasarjana di Univesité
de Paris, Sorbonne, Prancis.
Nah, bila engkau juga ingin
menjadi orang besar, maka bermimpilah. Hanya orang yang punya mimpi layak
menyandang gelar kebesaran. Lagipulah Rasulullah telah memberi perintah: “Jika
kalian memohon kepada Allah, mohonlah kepada-Nya Jannatul Firdaus yang paling
tinggi, karena sesungguhnya di sanalah intinya Surga.”
Mengapa kita perlu mimpi?
Banyak yang menjadi alasan. Dia
antaranya mimpi akan mengembalikan semangat ketika kita menjadi lemah dan larut
dalam perbuatan sia-sia. Bila
punya mimpi jadi ulama besar, mana boleh tidak belajar. Bila mimpi jadi
pengusaha sukses, mana boleh menganggur. Bila punya mimpi masuk Surga Firdaus,
mana bisa malas beribadah dan suka berbuat dosa.
Selanjutnya mimpi akan
mengarahkan hidup kita. Bila
bercita menjadi dokter, maka engkau akan kuliah pada fakultas kedokteran. Salah
jurusan bila kau kuliah di fakultas ekonomi. Sebaliknya, bila kau ingin jadi
akuntan, tak mungkin kau kuliah di fakultas kedokteran.
Mimpi juga akan memaksa diri
kita agar tidak terjebak pada rutinitas dan kemapanan. Jadi pegawai tetap pada
salah satu Bank Nasional tentu memperoleh gaji yang lumayan. Orang kebanyakan
akan menganggap pekerjaannya itu cukup prestisius. Akan tetapi bila punya mimpi
menjadi pengusaha sukses di bidang penerbitan, maka orang itu takkan selamanya
kerja di bank. Ia akan mengundurkan diri, lalu merintis bisnisnya dari awal.
Itu bila ia punya keberanian untuk mengejar mimpi.
Maka, insya Allah
dengan bermimpi kita akan meraih yang terbaik dalam hidup ini. Kita tak
berhenti ketika mencapai posisi tertentu. Setiap satu mimpi menjadi realita,
kita masih memiliki mimpi yang lebih membumbung. Maka kita harus terus
berjuang, agar semua mpimpi menjadi nyata. Kalau pun ada yang belum terwujud
ketika nyawa telah meninggalkan pergi dari jasad, tak ada ruginya punya mimpi.
Minimal, mimpi yang kita bangun telah memotivasi kita untuk bekerja dan
melakukan yang terbaik.