Dari Abu Firas Rabi’ah bin
Ka’ab Al-Aslamiy, ia termasuk pelayan Rasulullah Saw. Dan termasuk Ahli Suffah,
ia berkata: “Saya bermalam bersama Rasulullah Saw., kemudian saya menyediakan
air untuk wudhu dan kepentingan beliau yang lain, kemudian beliau bersabda:
“Mintalah sesuatu kepadaku!” “Saya berharap agar dapat menemani engkau di
surga.” Beliau bertanya: “Apa ada permintaan lain?” saya menjawab: “Hanya itu
saja wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Bantulah saya untuk mengabulkan
permintaanmu itu dengan memperbanyak sujud.” (HR. Muslim)
Ingin masuk Surga, ingin bertemu
Rasulullah di sana? Perbanyaklah sujud. Begitulah, mau jadi orang seperti apa,
kita sendiri yang menjadi penentu. Sama sekali tak boleh kita menggantungkan
diri sepenuhnya pada orang lain. Meski sahabat dan lingkungan memencarkan hado-hado
positif maupun negatif, mereka bukan penentu, hanya pendorong. Meski takdir
manusia telah dicatat dan pena telah diangkat, bukan berarti kita boleh
berhenti berusaha, lalu pasrah pada nasib.
Orang lain dapat memberi
motivasi. Ketika mengikuti sebuah training pengembangan diri, engkau
barangkali menemukan semangat yang berkobar. Kau ingin segera berubah, bekerja
dan berprestasi. Pulang dari training itu kau segera memperbaruhi
rencana pribadimu. Kau catat hal-hal penting yang hendak dilakukan. Bahkan kau
membuat jadwal dengan terinci. Tapi apa yang terjadi seminggu kemudian? Semangat itu mulai kendor, kalau
tidak hilang sama sekali. Rencana yang telah kau susun dan jadwal yang telah
kau buat hanyalah menjadi catatan tak berfungsi.
Motivasi eksternal hanyalah
pemantik, akan tetapi api semangat dapat membara hanya jika ada dorongan dari
dalam diri. Orang tua boleh saja memberi nasihat setiap hari agar anaknya rajin
sekolah. Ia pun memberikan segala fasilitas untuk kepentingan sekolah anaknya.
Tapi bila belum muncul kesadaran pada diri anak akan pentingnya sekolah, tak
perlu heran kalau dia memecahkan rekor absen dan bolos.
Jadi, bila kita ingin sukses,
berprestasi dan menjadi luar biasa, kuncinya ada pada usaha kita sendiri.
Sejauh apa kegigihan usaha kita, setingkat itulah prestasi yang akan kita raih.
Sungguh, Allah takkan merubah
keadaan kita, kecuali kita bersungguh-sungguh dalam merubah diri. Innallaaha
laa yughayyiru maa biqaumin hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim.
Orang boleh jadi berargumen
tentang takdir, bahwa apapun yang kita alami di dunia ini telah tercatat dalam kitab
lauh mahfuzh. Maka
seperti apapun usaha manusia, takkan mampu ia melawan paksaan takdir. Begitu
pendapat mereka. SALAH BESAR.
Harap diingat bahwa Allah
menjalankan takdir sesuai dengan sunnah-Nya; sunnataullah. Takdir
Allah bukan merupakan garis lurus fertikal sebagaimana akar tunggal dalam
pelajaran biologi, tapi penuh cabang bagaikan akar serabut.
Mudahnya, mari kita angkat
satu contoh. Seorang sarjana akan menempuh takdir yang berbeda bila ia
terus-menerus mengirim lamaran kerja atau memutuskan untuk mendirikan usaha
sendiri. Bila ia membuka usaha sendiri, maka hasil yang diperoleh akan berbeda
bila ia memulai dengan modal 5 juta dibanding bila memulainya dengan modal 20
juta. Bila ia memulai dengan
modal 20 juta, akan beda pula perkembangan usaha itu sesuai dengan profesionalistas
kerja yang dilakukan. Bila ia sungguh-sungguh, insya Allah akan sukses.
Tapi bila usaha itu dijalankan dengan setengah hati, ya tunggu saja
kebangkrutannya.
Begitulah sunnatullah.
Begitulah takdir. Bukan berarti setiap manusia dapat menentukan takdirnya
sendiri. Akan tetapi manusia memiliki kesempatan untuk memilih takdir terbaik
yang telah ditetapkan Allah baginya. Bila terserang penyakit, maka berobat
adalah perlu, karena dengan itu kita dapat berpindah dari satu takdir buruk ke
takdir yang baik. Bila ingin pintar, maka belajar adalah kewajiban. Bila ingin
sukses, maka berusaha dengan sungguh-sungguh menjadi keniscayaan. Begitu
seterusnya, kita pilih takdir-takdir terbaik yang telah di tetapkan Allah bagi
kita.
Berkait dengan takdir ini,
Ust. Didik Purwodarsono membedakannya menjadi dua. Yang pertama takdir berupa apa
yang dikehendaki Allah BAGI kita. Dalam hal ini ketetapan Allah mutlak tak
bisa ditawar. Kalau si Busro telah ditakdirkan lahir dari orang tua yang
tinggal di Kalimantan Selatan mepet hutan, dengan warna kulit coklat agak kehitaman,
badan gemuk tapi sedikit kependekan, muka bulat plus rambut krebo seperti orang
pedalaman, ya memang harus begitu. Tak ada gunanya Busro minta pada Allah agar
dilahirkan kembali di Jakarta dengan tinggi badan sedang, kulit putih mulus,
muka cakep, hidung bangir juga tubuh yang atletis. Apa lagi minta dijadikan Leonardo
Decaprio atau Andy Lau!
“Katakanlah: “Sekali-kali
tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk
kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman
harus bertawakal." " (QS.
At-Taubah: 51)
Sedang yang kedua, takdir
dalam arti apa yang dikehendaki Allah DARI kita. Dalam konteks yang
kedua inilah kita memiliki pilihan-pilihan. Allah menghendaki agar kita menjadi
hamba-Nya yang taat. Tapi bila ada yang memilih untuk kafir, durhaka dan gemar
menumpuk dosa, ya salah sendiri kalau nanti jatuh ke neraka. Allah menghendaki
agar kita bersungguh-sungguh dalam menjemput rezki. Tapi bila ada yang malas
bekerja, ya salah sendiri kalau miskin.
“Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf:
96)
Aku tulis catatan ini sambil nunggu kajian di Masjid Abu Bakar. Hem....,
jadi ingat masa muda. Dulu.. Ah, bentar. Aku cerita yang di sini dulu.
Sesungguhnya aku mulai rindu. Rindu kajian-kajian yang menggugah.
Masalahnya, ketika ada kajian, yang ketemunya itu-itu lagi. Ustadz pemala ya
itu-itu. Dangan gaya seperti itu. Cukup kuhapal.
Nah, mulai sebulan atau dua bulan lalu, di masjid ini ada kajian yang
baru. Kajian tafsir al-Quran, tiap Sabtu malam ahad. Kebetulan LQ-ku sebagai
penggerak berlangsungnya kajian rutin ini. Sesuatu yang baru. Mesti bagiku
terasa lucu. Seperti kata ustadznya, belajarnya kayak anak TK, atau anak SD. Kalau
yang ini mengingatku pada masa mudaaaaku dulu. Muda banget. Waktu itu aku masih
semangat ngaji kitab kuning. Bismillahi,
kelawan nyebut asmane gusti Allah. Iku sopo? Ar-Rahmani, Dzat kang paring welas
asih ing dalem dunyo lan akherat. Sopo? Ar-Rahimi, Dzatkang paring welas asih
ing dalem akherat bloko. Nah, lucu kan?
Kali ini, malam ini ada Mabit. Tentu ada kajiannya. Kabarnya Ustadz
Rahmani dari Jakarta bakal datang ke sini. Mudah-mudahan, sesuatu. Sesuatu yang
baru dan benar-benar menggugahku. Mengobati kerinduanku. Hem..., ya, sekali
lagi, cukup sering aku merindu. Rindu masa-masa yang dulu.
Kala itu, aku masih semangat-semangatnya memburu ilmu. Bukan dengan
membaca buku, tapi ikut kajian rutin. Di Jogja kala itu, banyak sekali kajian
rutin. Paling sering kuikuti kajian jumat pagi dan ahad pagi di Masjid Syuhada,
kebetulan dekat dengan kampusku. Juga kajian Kamis pagi di Masjid Mardliyah
UGM. Apa kabar kajian-kajian rutin itu tahun ini, bulan ini ya? Masihkan
seperti dulu? Masihkah berjalan rutin, satu pekan sekali? Masihkah diburu
pemuda-pemudi – bolehlah kau sebut ikhwan akhwat – yang haus ilmu, rindu selalu untuk berkumpul dengan
saudara-saudara seperjuangan, di masjid-masjid yang lapang, teduh, tenang dan
menyejukkan?
Hem... teringat, ustadz-ustadz luar biasa, dengan berbagai keunikan, gaya
dan sepesifikasi ilmu. Ada Ustadz Cahyadi Takariawan, Ustadz Didik
Purwordasono, Ustadz Moh. Fauzil Adhim. Ustadz Natsir Haris, Ustadz Syatori
Abdurrauf, Ustadz Basuki Abdurrahman, dan banyak lagi. Masing-masing memberi
warna dan cahaya sendiri-sendiri. Siapapun ustadznya, yang jelas, jadwal-jadwal
kajian itu selalu saja membuatku rindu untuk datang ke masjid. Baru datang saja
sudah ada suasana yang menyejukkan. Nikmat. Belum lagi ilmu-ilmu baru yang
dibagi-bagi gratis oleh ustadz-ustadz yang luar biasa itu. Bila satu kali tak
bisa datang, rasanya ada yang hilang, ada yang kurang.
Yach, aku rindu masa-masa itu. Mudah-mudahan, kerinduan ini selalu
membangkitkan semangatku untuk memburu ilmu. Meski tidak dengan cara seperti
dulu. Saat ini, di Pemalang ini, untuk hal-hal baru, memang lebih mudah
kuperoleh via buku, atau internet. Lebih cepat updatenya. Buku pun juga harus
beli online. Beli di Pemalang langsung? Ah.., sulitnya....
Ah, no matter what, yang
penting tetap tumbuh gairah memburu ilmu, juga senantiasa berkumpul dengan
majelis-majelis ilmu. Mudah-mudahan..
Bila
Orang-orang Piawai Gagal,
berulang kali telah kubaca buku ini. Membaca kisah orang-orang yang pernah
gagal, bangkit dan kemudian sukses selalu membuatku termotivasi. Akan tetapi,
rupanya tak mudah. Iya, sama
sekali tak mudah, ketika kegagalan itu giliran menghampiri diri.
Demi membuka Rental komputer, patungan dengan
kakak, aku korbakan pekerjaanku. Dengan penuh optimisme aku mengundurkan diri
dari perusahaan. Melupakan gaji bulanan, untuk meraih penghasilan yang lebih
besar dari wiraswasta.
Karena kakak tak meninggalkan pekerjaan lamanya,
maka akulah pemeran utama di rental komputer. Sepanjang hari aku berada di
rental komputer, menanti orang-orang yang datang untuk mengetik atau minta
diketikan. Tak tanggung-tanggung jam kerjaku, dua kali lipat dari jam kerja
standar. Aku membuka rental komputer jam tujuh pagi, tutup jam sebelas malam.
Iya, enam belas jam dalam sehari. Tak ada pergantian sip, karena aku memang
bekerja sendiri. Sesekali saja kakakku datang dan membantu.
Akan tetapi, kesuksesan rupanya belum berpihak
padaku, juga pada kakakku. Selama beberapa bulan, rental komputer itu masih
saja sepi pengunjung. Pemasukan hanya cukup untuk membayar listrik setelah
kuambil untuk beli maka setiap hari. Bila terus begini, aku takut, usaha ini
akan cepat tamat. Aku dan kakak tak lagi punya tabungan, setelah uang kami
ludes untuk beli komputer dan membayar sewa tempat usaha. Bila telah jatuh
tempo, kami takkan mampu memperpanjang kontrak sewa tempat.
Dan benar, hingga setahun berjalan, usaha rental
komputer kami tak memberikan peningkatan pendapatan yang signifikan. Kami
bangkrut. Rental komputer harus kami tutup.
Betapa.... Setahun aku memenjara diri di rental
komputer. Dari bangun tidur hingga tidur lagi. Bergelut dengan tulisan-tulisan
yang harus diketik, juga komputer yang lagi-lagi kena virus dan minta diinstal
ulang. Semua itu hanya kulalui untuk memperoleh luka dan perih.
Betapa... Pagi itu seorang mahasiswi minta
diketikan makalah. Sorenya akan diambil. Untuk memberi pelayanan maksimal pada
pelanggan, biasanya pesanan ketikan aku print setelah pemiliknya datang.
Barangkali ada bagian-bagian yang hendak dirubah atau dibetulkan. Begitupun
kali ini. Makalah telah selesai aku ketik, tinggal diprint ketika mahasiswi itu
datang. Akan tetapi, hingga maghrib, mahasiswi itu tak datang. Hingga isyak,
belum datang juga dan bahkan sampai rental aku tutup, mahasiswi itu tak datang.
Esok pagi, belum juga jam tujuh, ketika kubuka
pintu untuk mendapatkan udara segar, mahasiswi itu muncul. Aku mempersilahkannya
masuk, lalu kuhidupkan komputer. Tahu makalahnya belum aku print, mahasiswa itu
marah besar. ”Belum diprint?! Sudah, tidak jadi saja!” bentaknya. Mahasiswi itu
berlalu, meninggalkan mahakalahnya dan lubang di hatiku. Betapa aku terluka.
Berniat memberi pelayanan terbaik, malah begini jadinya. Lelahku sama sekali tak dibayar, justru diganjar
umpatan. Betapa...
Untunglah, di samping kegagalan yang menyayat,
Allah juga mengaruniaku pengobat luka. Selain menjaga rental kamputer, aku
menulis buku. Dua buku pertamaku telah terbit, kutulis saat di rental. Hal ini
cukup membuatku bangga, meski royalti dari dua buku tersebut juga telah ludes
untuk bayar hutang.
Setelah rental komputer benar-benar tutup,
beberapa bulan aku menganggur. Aku coba melamar kerja, tapi gagal dan gagal
lagi. Hingga aku bertemu Firman, seorang sahabat yang aku kenal karena sering
bertemu ketika mengikuti kajian Minggu pagi di Masjid Syuhada Jogjakarta. Dia bilang mau main ke Bandung. Dia
mengajakku ikut serta. Sekalian mencari kerja di sana, bujuknya. Benar,
akhirnya aku ikut ke Bandung dengan beberapa fotocopy ijazah untuk melamar
kerja, juga naskah buku yang siap untuk diterbitkan.
Beruntung, ketika mengantarkan naskah buku ke
penerbit Percikan Iman, aku mendapat informasi bahwa lini majalah di perusahaan
tersebut sedang membuka lowongan kerja sebagai wartawan. Maka di hari
berikutnya, aku masukkan juga lamaran kerja.
Setelah bosan, seminggu lebih keliling Bandung,
aku pamit pada Firman untuk pulang. Kutinggalkan dia di Bandung. Firman
sebenarnya asli Tasikmalaya, tapi banyak kerabat di Bandung. Selama di Bandung,
aku dan Firman menginap di rumah sepupu Firman yang kebetulan tak ditempati.
Seminggu kemudian aku dibel dari Bandung.
Panggilan untuk mengikuti tes seleksi menjadi wartawan majalah Percikan Iman. Maka dengan penuh semangat, menjelang
waktunya aku berangkat lagi ke Bandung. Kali ini naik kereta, ekonomi pula,
biar irit.
Tes seleksi itu kujalani dengan mudah. Aku optimis
diterima. Ada tiga macam tes yang diberikan. Yang pertama, soal-soal pilihan
ganda yang campur-campur, dari Bahasa Indonesia sampai Bahasa Inggris, mulai
dari jurnalisme hingga soal agama. Bentuk tes kedua, kami diminta membuat
sepuluh pertanyaan yang paling urgen untuk ditanyakan apabila bertemu dengan
seorang tokoh yang terkenal di Bandung. Sedang bentuk tes ketiga, kami diminta memberikan komentar tentang
penggalan film yang telah diputar, tentu dalam bentuk tulisan. Film itu
kesukaanku, bintangnya Jacky Chen.
Aku merasa tak ada kesulitan berarti mengerjakan
tiga macam tes tersebut. Aku semakin optimis. Peserta tes hanya sebelas, akan
diterima dua. Peluangku cukup besar. Belum lagi, aku yakin, di antara peserta
tes, hanya aku yang telah menulis buku. Pihak Percikan Iman pun telah
mengetahui kualifikasiku ini. Portofolio yang sangat mendukung profesi
kewartawanan.
Usai tes, pimred majalah Percikan Imam memberikan
keterangan, bahwa peserta tes yang diterima akan dihubungi langsung via telepon
dalam satu minggu ke depan. Dia menerengkankan, kemungkinan besar orang yang
diterima akan dihubungi pada tanggal 5 Maret, tepat semingguh setelah hari ini.
Bila tak ada yang menghubungi, berarti tak diterima.
Hingga tanggal empat, masih tak ada telepon dari
Bandung. Tapi tak masalah. Masih ada waktu sehari. Tanggal limanya, aku
bersantai, tak banyak aktifitas yang kulakukan. Malah aktifitas utamaku
hanyalah menungguh telepon dari Bandung. Tak lupa, ketika mentari mulai
meninggi, aku pun shalat dhuha, agar dilapangkan rezki.
Aku menunggu dan terus menunggu. Resah, penasaran.
Aku tak tahan. Maka kuhubungi saja pimred majalah tersebut. Aku sudah mencatat
nomornya. Alhamdulillah, masih ada
peluang. “Belum diputuskan mas,” katanya. “Ini sedang kami rapatkan. Kalau Mas
Rahman diterima, insya Allah nanti
segera kami kabari.”
Aku kembali menunggu, ditemani resah yang semakin
meraja. Sore pun menjelang, aku mulai ragu. Optimismeku luntur. Waktu ashar
telah berlalu, kemudian datang Maghrib, lalu isyak. Tak ada telepon dari
Bandung dan takkan ada lagi telepon dari kantor majalah Percikan Iman tersebut.
Ternyata kali ini aku gagal.
Sebagai pelipur lara, kunyanyikan lagu ciptaan
sahabatku:
Putus asa itu hal yang biasa
Tapi jangan dirawat lama-lama
Karena bisa melemahkan jiwa
Jadinya
batin sendiri tersiksa
Sakit
memang rasanya kegagalan
Sakitnya
bukan main menyesatkan
Tapi bukan berarti beralasan
Menghukum diri sebagai orang gagal
Keluh kesah itu sifat manusia
Di kala sempit menghimpit nafas di dada
Tapi bila giliran lapang yang datang, tiba-tiba manusia sombong
Apabila memanjakan perasaan, jadinya badan dan batin kurus kerontang
Lebih baik mencoba untuk mencinta
Penderitaan
Derita itu mematangkan jiwa
Pribadipun menjadi lebih dewasa
Tapi itu tak pada semua orang
Hanya
pada yang rindu pengalaman
Bagaimanapun. Aku harus bangkit kembali, karena
hidup bukan untuk menyerah pada kegagalan. Kuyakin, jalan sukses membentang.
Maju terus!!
Mudah tapi
susah, bayak hal masuk kategori ini. Seperti kata cinta. Mengucapkan kata cinta
tentu saja mudah, semudah mengucap kata-kata lainnya. But, dalam ruang-ruang keluarga, seringkali satu kata itu pun susah
dikeluarkan. Seorang istri harus menangis-nangis menunggu kata cinta dari
suaminya. Ya, tak jarang seorang suami sulit berkata cinta pada istri sendiri.
Padahal jelas-jelas dia cinta. Tapi untuk
mengungkapkannya dengan kata-kata, ah susah. Ada saja yang membuat lidah
menjadi kaku dan kelu.
Iya, Mudah
tapi susah, banyak hal masuk kategori ini. Seperti juga senyuman terhadap
saudara kita. Tersenyum itu mudah, semudah menarik dua bibir kita ke samping
kanan dan kiri. Dan kita tahu, senyum tulus kita terhadap saudara sesama muslim
akan mendatangkan pahala. Lagi pula banyak manfaatnya. Bagi diri, senyuman akan
menghadirkan energi positif, suasana nyaman dan rasa optimis. Bagi orang lain,
senyuman mendatangkan kenyamanan, keteduhan dan rasa persahabatan. Komunikasi pun
dapat terjalin dengan baik, dihias senyuman. Tapi itu tadi, seringkali, yang
mudah itu menjadi susah. Bibir jadi tak mudah tergerak ke samping, malah ke
depan, manyun. Apa lagi bila sedang ada masalah, susah.
Mudah tapi
susah. Memang, banyak hal masuk kategori ini. Seperti menahan diri untuk tidak mengungkap
keburukan dan kekurangan orang lain. Mudah, semudah kita untuk diam, tidak bicara,
tidak menggerakkan bibir dan lidah. Nyatanya hal ini seringkali menjadi susah. Betapa
mulut manusia seringkali gatil bila belum membicarakan keburukan dan kekurangan
orang lain. Mulut sulit ditahan untuk membuka dan menutup. Klimat demi kalimat
pun membanjir, tentang aib orang lain. Bahkan bila keburukan dan kekurangan
orang lain itu sebenarnya sifatnya masih dugaan. Diduga dia begini dan begitu,
yang jelek-jelek. Manusia-manusai ini lupa bahwa mereka sedang berbuat keji. Iya,
keji, sekeji memakan daging saudaranya sendiri yang sudah mati. Hiii..., ngeri.
Mudah tapi
susah. Sekali lagi, memang banyak hal masuk kategori ini. Seperti menahan diri
untuk tidak menulis setatus di FB atau ngetwit dengan tulisan-tulisan galau,
atau tulisan-tulisan yang jelas tiada mendatangkan kebaikan. Jelas-jelas tidak
jelas. Mudah, tinggal tidak usah menulis saja. Nyatanya jadi susah. Pikiran,
perasaan dan tangan begitu mudah terdorong untuk menulis. Menulis yang tidak
jelas. Asal. Malah tulisan galau. Tanpa sadar, bahwa kalau toh tidak
mendatangkan dosa, setidaknya tulisan itu sia-sia. Tiada manfaatnya. Belum lagi
bila ternyata, tulisan-tulisan itu menunjukkan bahwa diri kita kurang bersyukur
atas nikmat Allah. Menunjukkan bahwa kita orang yang tidak jelas, tak punya visi
dan mimpi yang menjulang. Atau setidaknya, menunjukkan bahwa kita sedang
terlena, lupa.
Masih banyak
lagi perkara-perkara yang sejatinya mudah tetapi menjadi susah. Barangkali karena
tidak kokohnya jiwa, keruhnya hati. Hingga hal-hal yang semestinya sangat mudah
menjadi sulit kita lakukan. Maka, mari terus-menerus benahi diri. Mudah-mudahan
saja, dalam hal semacam itu kita dapat fokus pada kata ‘mudah’ dan menjauh dari
kata ‘susah.’ Iya, tidak udah susah-susah, dibuat mudah saja.
Langganan:
Postingan (Atom)