Bila
Orang-orang Piawai Gagal,
berulang kali telah kubaca buku ini. Membaca kisah orang-orang yang pernah
gagal, bangkit dan kemudian sukses selalu membuatku termotivasi. Akan tetapi,
rupanya tak mudah. Iya, sama
sekali tak mudah, ketika kegagalan itu giliran menghampiri diri.
Demi membuka Rental komputer, patungan dengan
kakak, aku korbakan pekerjaanku. Dengan penuh optimisme aku mengundurkan diri
dari perusahaan. Melupakan gaji bulanan, untuk meraih penghasilan yang lebih
besar dari wiraswasta.
Karena kakak tak meninggalkan pekerjaan lamanya,
maka akulah pemeran utama di rental komputer. Sepanjang hari aku berada di
rental komputer, menanti orang-orang yang datang untuk mengetik atau minta
diketikan. Tak tanggung-tanggung jam kerjaku, dua kali lipat dari jam kerja
standar. Aku membuka rental komputer jam tujuh pagi, tutup jam sebelas malam.
Iya, enam belas jam dalam sehari. Tak ada pergantian sip, karena aku memang
bekerja sendiri. Sesekali saja kakakku datang dan membantu.
Akan tetapi, kesuksesan rupanya belum berpihak
padaku, juga pada kakakku. Selama beberapa bulan, rental komputer itu masih
saja sepi pengunjung. Pemasukan hanya cukup untuk membayar listrik setelah
kuambil untuk beli maka setiap hari. Bila terus begini, aku takut, usaha ini
akan cepat tamat. Aku dan kakak tak lagi punya tabungan, setelah uang kami
ludes untuk beli komputer dan membayar sewa tempat usaha. Bila telah jatuh
tempo, kami takkan mampu memperpanjang kontrak sewa tempat.
Dan benar, hingga setahun berjalan, usaha rental
komputer kami tak memberikan peningkatan pendapatan yang signifikan. Kami
bangkrut. Rental komputer harus kami tutup.
Betapa.... Setahun aku memenjara diri di rental
komputer. Dari bangun tidur hingga tidur lagi. Bergelut dengan tulisan-tulisan
yang harus diketik, juga komputer yang lagi-lagi kena virus dan minta diinstal
ulang. Semua itu hanya kulalui untuk memperoleh luka dan perih.
Betapa... Pagi itu seorang mahasiswi minta
diketikan makalah. Sorenya akan diambil. Untuk memberi pelayanan maksimal pada
pelanggan, biasanya pesanan ketikan aku print setelah pemiliknya datang.
Barangkali ada bagian-bagian yang hendak dirubah atau dibetulkan. Begitupun
kali ini. Makalah telah selesai aku ketik, tinggal diprint ketika mahasiswi itu
datang. Akan tetapi, hingga maghrib, mahasiswi itu tak datang. Hingga isyak,
belum datang juga dan bahkan sampai rental aku tutup, mahasiswi itu tak datang.
Esok pagi, belum juga jam tujuh, ketika kubuka
pintu untuk mendapatkan udara segar, mahasiswi itu muncul. Aku mempersilahkannya
masuk, lalu kuhidupkan komputer. Tahu makalahnya belum aku print, mahasiswa itu
marah besar. ”Belum diprint?! Sudah, tidak jadi saja!” bentaknya. Mahasiswi itu
berlalu, meninggalkan mahakalahnya dan lubang di hatiku. Betapa aku terluka.
Berniat memberi pelayanan terbaik, malah begini jadinya. Lelahku sama sekali tak dibayar, justru diganjar
umpatan. Betapa...
Untunglah, di samping kegagalan yang menyayat,
Allah juga mengaruniaku pengobat luka. Selain menjaga rental kamputer, aku
menulis buku. Dua buku pertamaku telah terbit, kutulis saat di rental. Hal ini
cukup membuatku bangga, meski royalti dari dua buku tersebut juga telah ludes
untuk bayar hutang.
Setelah rental komputer benar-benar tutup,
beberapa bulan aku menganggur. Aku coba melamar kerja, tapi gagal dan gagal
lagi. Hingga aku bertemu Firman, seorang sahabat yang aku kenal karena sering
bertemu ketika mengikuti kajian Minggu pagi di Masjid Syuhada Jogjakarta. Dia bilang mau main ke Bandung. Dia
mengajakku ikut serta. Sekalian mencari kerja di sana, bujuknya. Benar,
akhirnya aku ikut ke Bandung dengan beberapa fotocopy ijazah untuk melamar
kerja, juga naskah buku yang siap untuk diterbitkan.
Beruntung, ketika mengantarkan naskah buku ke
penerbit Percikan Iman, aku mendapat informasi bahwa lini majalah di perusahaan
tersebut sedang membuka lowongan kerja sebagai wartawan. Maka di hari
berikutnya, aku masukkan juga lamaran kerja.
Setelah bosan, seminggu lebih keliling Bandung,
aku pamit pada Firman untuk pulang. Kutinggalkan dia di Bandung. Firman
sebenarnya asli Tasikmalaya, tapi banyak kerabat di Bandung. Selama di Bandung,
aku dan Firman menginap di rumah sepupu Firman yang kebetulan tak ditempati.
Seminggu kemudian aku dibel dari Bandung.
Panggilan untuk mengikuti tes seleksi menjadi wartawan majalah Percikan Iman. Maka dengan penuh semangat, menjelang
waktunya aku berangkat lagi ke Bandung. Kali ini naik kereta, ekonomi pula,
biar irit.
Tes seleksi itu kujalani dengan mudah. Aku optimis
diterima. Ada tiga macam tes yang diberikan. Yang pertama, soal-soal pilihan
ganda yang campur-campur, dari Bahasa Indonesia sampai Bahasa Inggris, mulai
dari jurnalisme hingga soal agama. Bentuk tes kedua, kami diminta membuat
sepuluh pertanyaan yang paling urgen untuk ditanyakan apabila bertemu dengan
seorang tokoh yang terkenal di Bandung. Sedang bentuk tes ketiga, kami diminta memberikan komentar tentang
penggalan film yang telah diputar, tentu dalam bentuk tulisan. Film itu
kesukaanku, bintangnya Jacky Chen.
Aku merasa tak ada kesulitan berarti mengerjakan
tiga macam tes tersebut. Aku semakin optimis. Peserta tes hanya sebelas, akan
diterima dua. Peluangku cukup besar. Belum lagi, aku yakin, di antara peserta
tes, hanya aku yang telah menulis buku. Pihak Percikan Iman pun telah
mengetahui kualifikasiku ini. Portofolio yang sangat mendukung profesi
kewartawanan.
Usai tes, pimred majalah Percikan Imam memberikan
keterangan, bahwa peserta tes yang diterima akan dihubungi langsung via telepon
dalam satu minggu ke depan. Dia menerengkankan, kemungkinan besar orang yang
diterima akan dihubungi pada tanggal 5 Maret, tepat semingguh setelah hari ini.
Bila tak ada yang menghubungi, berarti tak diterima.
Hingga tanggal empat, masih tak ada telepon dari
Bandung. Tapi tak masalah. Masih ada waktu sehari. Tanggal limanya, aku
bersantai, tak banyak aktifitas yang kulakukan. Malah aktifitas utamaku
hanyalah menungguh telepon dari Bandung. Tak lupa, ketika mentari mulai
meninggi, aku pun shalat dhuha, agar dilapangkan rezki.
Aku menunggu dan terus menunggu. Resah, penasaran.
Aku tak tahan. Maka kuhubungi saja pimred majalah tersebut. Aku sudah mencatat
nomornya. Alhamdulillah, masih ada
peluang. “Belum diputuskan mas,” katanya. “Ini sedang kami rapatkan. Kalau Mas
Rahman diterima, insya Allah nanti
segera kami kabari.”
Aku kembali menunggu, ditemani resah yang semakin
meraja. Sore pun menjelang, aku mulai ragu. Optimismeku luntur. Waktu ashar
telah berlalu, kemudian datang Maghrib, lalu isyak. Tak ada telepon dari
Bandung dan takkan ada lagi telepon dari kantor majalah Percikan Iman tersebut.
Ternyata kali ini aku gagal.
Sebagai pelipur lara, kunyanyikan lagu ciptaan
sahabatku:
Putus asa itu hal yang biasa
Tapi jangan dirawat lama-lama
Karena bisa melemahkan jiwa
Jadinya
batin sendiri tersiksa
Sakit
memang rasanya kegagalan
Sakitnya
bukan main menyesatkan
Tapi bukan berarti beralasan
Menghukum diri sebagai orang gagal
Keluh kesah itu sifat manusia
Di kala sempit menghimpit nafas di dada
Tapi bila giliran lapang yang datang, tiba-tiba manusia sombong
Apabila memanjakan perasaan, jadinya badan dan batin kurus kerontang
Lebih baik mencoba untuk mencinta
Penderitaan
Derita itu mematangkan jiwa
Pribadipun menjadi lebih dewasa
Tapi itu tak pada semua orang
Hanya
pada yang rindu pengalaman
Bagaimanapun. Aku harus bangkit kembali, karena
hidup bukan untuk menyerah pada kegagalan. Kuyakin, jalan sukses membentang.
Maju terus!!