Antara Bonbin Jurug dengan Mangkang



Pernah suatu ketika, di masa mudaku, he, aku dah dan sahabatku, Ayi syafaat, nyasar ke Kopeng. Padahal kita mau ke Taman Kyai Langgeng. Puluhan kilo meter kami tempuhi, naik gunung, tinggi. Sampai di Kopeng, tempat wisata yang dituju, kami kecele, lha koq... “Begini doang?!” “Wah, hasil yang diperoleh tak sedahsyat perjuangan.” Begitu kira-kira pikiran kami.
Nah, tempo hari, ketika tiba di Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ), pikiran itu sempat pula singgah di benak. Ketika mulai memasuki Taman itu.. “Lha koq?”
Kesan pertama, sepi. Kesan kedua, semrawut. Ketiga, gak terawat ini bonbin. Keempat, mana hewannya?
Oke, mulai dari kesan keempat dulu. Beberapa saat setelah masuk TSTJ, kami melihat ada tiga ekor gaja, terikat kaki depan dan belakangnya. Masak diikat depan belakang begitu, mau balik kanan saja susah, pikirku. Apa tujuannya diikat begitu? Kemudian terlihat ada beberapa kurungan burung. Tapi setelah itu.., mana hewan-hewannya? Gak ada lagi?
Rupanya, hewan-hawan lain terletak jauh dari pintu masuk. Kami harus menyusuri jalan mengitari danau yang cukup luas, baru dapat melihat koleksi hewan yang lebih banyak. Tentang koleksi hewan di Bonbin Jurug ini, sesungguhnya tak sedikit-sedikit amat. Standar lah untuk ukuran bonbin kecil. Ada harimau, singa, buaya, berbagai macam kera, orang utan dan sejenisnya, beruang, onta, rusa, kudanil dan sebagainya. Tak jauh berbeda jika dibanding koleksi kebon binatang Mangkang, Semarang. Tentu tak adil jika harus kubandingkan dengan Gimbira Loka di Jogja atau Cisarua Bogor.
Itu tentang koleksi. Akan tetapi soal fasilitas dan pelayanan terhadap pengunjung, TSTJ jelas kalah jauh dengan pelayanan di Bonbin Mangkang. Kebetulan aku, istri dan anak-anak sempat pula berkunjung ke sana. Setelah masuk Bonbin Mangkang, melalui jalur masuk, kita langsung disuguhi dengan fasilitas naik gajah. Siapapun boleh naik gajah dengan membayar uang tertentu. Setelah itu, melalui jalur masuk ini, sepanjang jalan macam-macam hewan langsung dapat kita lihat; gajah, berbagai macam burung, rusa dan seterusnya. Kita tak harus berjalan jauh sekali terlebih dahulu seperti di Jurug untuk melihat koleksi hewan.
Di Mangkang juga terdapat danau yang luas. Terdapat fasilitas kapal genjot yang dapat disewa pengunjug untuk berputar-putar di danau tersebut. Di Jurug sebenarnya juga ada kapal, akan tetapi tak beroperasi lagi. Kapal itu teronggok, tempat pembelian karcisnya pun tak ditunggui lagi. Di Mangkang, untuk mengelilingi danau dan wilayah kebun binatang, terdapat pula kereta kuda dan mobil kereta yang dapat dinaiki. Sedang di Jurug, kita harus berjalan kaki secara total untuk menuju setiap sisi kebon binatang. Di dekat pintu masuk sebenarnya terlihat mobil odong-odong. Akan tetapi nasib mobil itu sepertinya lebih parah dari nasib si kapal. Tak hanya teronggok, tapi juga telah terliihat hancur. Roda-rodanya sebagian kempes, sebagian lagi entah ke mana. Badannya terlihat berkarat dan berantakan. Sudah jelas tak dapat dijalankan lagi. Repotnya lagi, di TSTJ ini jalan tak terdapat jalur exit. Jalan masuk dan jalan keluar sama saja. Jadi setelah melihat koleksi binatang, kita kembali harus berjalan mengitari danau yang luas tadi. Untuk anak kecil tentu melelahkan, bisa jadi harus minta digendong orang tuanya.
Selain itu, di Mangkang pengunjung yang merasa tertantang juga dapat menikmati meluncur di atas danau, Flying Fox. Kemudian dibangun pula waterboom untuk arena bermain. Terutama keluarga yang mengajak anak-anak berkunjung ke bonbin Mangkang dapat sekaligus berenang dan bermain air setelah puas melihat hewan dan menikmati fasilitas lain di bonbin tersebut.
Kesan kedua dan ketiga terhadap TSTJ tadi, semrawut dan tak terawat, cukup terasa juga. Selain yang sudah kusebutkan; ada kapal tak beroperasi lagi, mobil odong-odong yang rusak parah dan dibiarkan teronggok, beberapa hal lain semakin menambah kesan itu. Ada Rungga, rumah serangga – sepertinya Rungga sempat menjadi unggulan bonbin ini. Terlihat cukup banyak iklan mengenai Rungga ini di areah bonbin – yang tutup, tak beroperasi. Beberapa peralatan teronggok berantakan di depan Rungga ini. Di danau, ada pula jembatan bambu yang tak lagi dipakai. Di tepi jembatan diberi penghalang, di terdapat tulisan; “Maaf, bukan jalan untuk umum.”
Nah, pokoknya aku merasa eman dengan kondisi bonbin ini. Kandang-kandang binatangnya pun terlihat tua dan tak pernah ada pembaruan lagi. Padahal, andai dikelola dengan lebih baik, bonbin ini akan menjadi salah satu aset Solo yang sangat berharga. Ngomong-ngomong soal pengeloaan, kabarnya bonbin ini telah berkali pindah tangan.
Taman Satwa Taru Jurug Solo pada awalnya merupakan pindahan Kebun Binatang Sriwedari yang lebih dikenal dengan sebutan “ Kebun Rojo“ yang didirikan Sri Susuhunan Paku Buwono X pada tanggal 20 Tahun Dal 1381 atau 17 Juli 1901 dan merupakan Kebun Binatang tertua. Pada awalnya merupakan tempat hiburan bagi keluarga Raja (berisi koleksi satwa).  Pada perkembangannya menjadi tempat rekreasi untuk masyarakat.
Pada tahun 1983 Masehi, Kebun Rojo Sriwedari dipindahkan ke Taman Jurug karena posisinya yang berada di pusat Kota Surakarta dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kota. Dipindahkanya Kebun Binatang Sriwedari ke Taman Jurug pada mulanya bersifat titipan dari pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta, pada tempat rekreasi Taman Jurug yang merupakan salah satu taman rekreasi yang berada di Kota Surakarta bagian timur, didirikan Tahun 1975 yang dikelola oleh PT. Bengawan Permai.
Sayangnya PT. Bengawan Permai tidak mampu mengelola satwa titipan tersebut dan pada tahun 1986 pengelolaannya diserahkan kembali kepada Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta. Melalui Surat Keputusan Walikota Kepada Daerah Tingkat II Surakarta No. 556/96/1986, pengelolaannya diserahkan kepada Dinas Pariwisata Daerah Tingkat II Surakarta.
Agar pengelolaannya lebih professional, dibentuklah Yayasan Bina Satwa Taru Surakarta yang anggotanya terdiri dari berbagai unsur Pemerintah, profesional, tokoh masyarakat, usahawan dan unsur pendidikan. Akan tetapi Yayasan Bina Satwa Taru ternyata belum dapat memenuhi harapan masyarakat, sehingga pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta bekerjasama dengan investor PT. Solo Citra Perkasa. Lagi-lagi, Taman Jurug masih belum berjalan seperti yang diharapkan, bahkan PT. SCP selaku pengelola tidak dapat memenuhi kewajiban seperti yang tertuang dalam Surat Perjanjian. Selain itu PT. SCP tidak dapat menjalin kerjasama dengan masyarakat.
Maka pada tanggal 8 Nopember 2000 Pemerintah Kota Surakarta mengambil alih pengelolaan TSTJ dan dibentuklah Tim Pengelola Sementara TSTJ Surakarta yang diketuai oleh Asisten I Tata Praja dan beranggotakan Instansi terkait dibantu dari Kebun Binatang Gembiraloka Yogyakarta.
Setelah Tim Pengelola Sementara TSTJ berjalan kurang lebih 2 tahun, kemudian Walikota Surakarta membentuk pengelolaan menjadi Unit Pengelolaan Taman Satwa Taru Jurug. Ternyata Unit Pengelolaan ini dipandang kurang sesuai pula, hingga perlu untuk disempurnakan menjadi BUMD.
Nah, terus berpindah tangan dan tidak beres terus. Mudah-mudahan saja TSTJ tidak semakin terbengkelai dan semakin sepi pengunjung. Mudah-mudahan BUMD yang sekarang mengelola bonbin tersebut segera dapat melakukan terobosan-terobosan baru, mengadakan berbagai pembaruan di bonbin tersebut. Semoga TSTJ akan menjadi taman satwa yang semakin menarik untuk dikunjungi, menjadi pilihan keluarga-keluarga –Indonesia terutama – untuk berwisata. Syukur-syukur dapat menarik wisatawan manca negara.  
0 Responses
abcs