Ujian Anak Ujian Guru



Untuk mengetahui tingkat keberhasilan Kegiatan Belajar Mengajar, setiap sekolah selalu mengadakan evaluasi. Di antaranya dengan mengadakan ulangan dan ujian. Ada Ulangan Harian, Ulangan Tengah Semester, Ulangan Akhir Semester, Ujian Sekolah, hingga Ujian Nasional.
Untuk mempermudah perbincangan, kita sebut saja semua dengan kata ujian. Rupanya, ujian-ujian itu tak hanya menguji mereka, anak didik kita, tapi juga para gurunya. Aku sangat merasakannya akhir-akhir ini. Pada Ulangan Akhir Semester yang telah berlalu, pekan kemarin, seperti biasa, aku kebagian tugas menjaga, mendampingi guru wali.
Tak kutemukan masalah berarti ketika menjaga di kelas tiga. Soal dan lembar jawab dibagi, melayani beberapa anak yang bertanya, sudah. Akan tetapi giliran menjaga kelas empat, satu anak sungguh menguji kesabaran. Si A, sebut saja begitu, terlihat tidak antusias mengerjakan soal. Tidak antusias itu adalah bahasa halusnya. Bahasa yang lebih tegas bolehlah engkau pikir-pikir sendiri.
Nah, si A ini, setelah mengerjakan satu dua soal, lalu berhenti, mainan, jalan-jalan, mengganggu teman. Aku dan guru walinya berulang menegur, tapi berulang pula dia lakukan hal itu. Kalau pun segera kembali ke tempat duduknya, dia hanya diam, tak mengerjakan soal. Masih mending kalau cuma diam, anak yang duduk dekat dengannya dia usili pula.
Malah, karena tempat duduknya dekat dengan bangku ustadz-ustadzah, dia usili pula guru walinya sendiri. Dia tendang-tendang kaki ustadzahnya, tanpa rusa takut, rasa bersalah, apalagi sekedar rasa malu. Si ustadzah pun sepertinya sudah cukup pasrah menerima perlakuan itu dari muridnya sendiri. Dia hanya menergur biasa, seolah hal itu bukan persoalan besar. Membentak, memelototi, sepertinya takkan ada gunanya untuk anak yang satu ini. Teguran itu pun rupanya tak digubris si A. Ia masih saja menendangi kaki ustadzahnya di bawah meja. Hingga aku berreaksi pula.
“A...., sama ustadzahnya kok begitu..!” Tentu dengan suara yang cukup keras.
Nah, inilah sebagian ujian bagi guru, menghadapi tingkah polah peserta didik yang unik dan tidak biasa, kalau tidak boleh dibilang “nakal” atau bahkan “tidak masuk akal.”
Cerita tetang si A pun tak berhenti di situ. Pada akhirnya, toh si A, mengisi juga lembar jawab pelajaran matematika itu. Entah, dengan melihat, membaca, dan menganalisis soalnya atau diisi sekenanya. Yang kedua sepertinya lebih tepat. Buktinya lembar jawab itu lebih banyak terisi kata-kata dari pada angka-angka. Padahal yang dikerjakan adalah soal matematika. Malah yang sangat unik – kata unik ini tentu kiasan belaka – salah satu jawaban dari soal matematika itu adalah kalimat “kakek harus mati.”
Nah, bahwa soal yang semestinya dijawab dengan angka-angka tapi dijawab dengan kata-kata dan kalimat adalah persoalan, ujian bagi gurunya. Sedang kalimat “kakek harus mati,” mengundang tanda tanya besar. Apa yang telah terjadi pada anak ini? Kok bisa sedemikian rupa?
 Ini ujian bagi guru dengan bobot yang lebih berat. Kalau si A begitu sulit diminta mengerjakan soal adalah soal pilihan ganda dengan bobot nilai 1 bagi gurunya, maka kalimat “kakek harus mati” tadi adalah soal uraian dengan bobot nilai 3. Guru mana yang tak miris bila anak didiknya menuliskan kalimat itu pada lembar jawab pelajaran matematika, bukan Bahasa Indonesia?
Ujian berikutnya bagi guru adalah ketika mengoreksi hasil ulangan atau ujian peserta didiknya. Bila tenyata nilai-nilai peserta didik jauh dari harapan, sungguh akan jadi problema. KKM 70 tapi ada juga anak yang hanya memperoleh nilaih 20. Malah lebih dari separo tak lolos KKM. Nah, masalah. Ujian bagi guru.
Pun ketika aku mengoreksi tugas membuat karangan untuk anak-anak kelas lima, kudapati pula masalah, ujian bagiku. Pada salah satu karangan kutemukan anak menulis “Mereka berpelukan seperti anjing buldok,” lalu “Panjul dan Belia akhirnya bersahabat, mereka menjadi suami istri...” Ah, cerita anak kelas lima.
Pada cerita lain, seorang anak mengeluh, curhat. Dia sering disuruh teman-temannya mencucikan tempat makan. Kadang tak satu orang, tapi beberapa temannya minta dicucikan tempat makannya. Sampai dia lelah. Walau pun tulisan ini adalah cerita untuk memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia yang saya ampu, tapi jelas, itu adalah curhat yang nyata. Si anak pasti pernah mengalaminya, bukan fiksi belaka.  Nah, ini juga permasalahan, ujian bagi guru.
Pada tahap selanjutnya, ketika Ujian Nasional menghadang, ujian bagi guru juga sama dahsyatnya. Setiap guru, terutama guru kelas enam, termasuk juga kepala sekolah, semua diuji dengan hadirnya Ujian Nasional. Peserta Didik diuji kemapuannya, bagaimana harus mendapatkan nilai, yang kalau tidak bisa bagus, minimal harus memenuhi kriteria kelulusan.
Sedang para gurunya diuji, bagaimana agar seluruh peserta didik kelas enam lulus, tanpa satu pun tertinggal. Ujian ini berat, karena taruhannya harga diri. Bukan hanya harga diri guru wali kelas enam, tapi juga harga diri sekolah. Bagaima seluruh peserta didik bisa lulus, tanpa curang, tanpa trik-trik yang tidak halal, itu adalah ujian bagi guru dan seluruh civitas akademik sekolah. Nyatanya, banyak guru, banyak kepala sekolah yang gagal menghadapi ujian ini. Semoga kita lulus.
Baiklah, selamat menempuh ujian, para guru, para pendidik.
0 Responses
abcs