Beri Mereka Kesempatan Menghadapi Tantangan



Semula tema ini akan aku tulis sebagai lanjutan Serial Travelan. Akan tetapi karena travel-annya sudah cukup lama berlalu, maka aku ganti untuk serial Belajar Jadi Guru saja. Kebetulan menyangkut pendidikan anak juga.
Ceritanya, waktu kami di Magelang, di kampung halaman, tiap pagi kami biasa menengok tempat embah (embahnya Lavy dan Mayluf) menggelar dagangan. Kebetulan embah berjualan di pinggir kali, dekat jembatan. Suatu pagi, aku lihat dua anak sedang sigap membantu bapak dari salah seorang anak itu. Bukan pekerjaan ringan. Dua anak itu sedang memindahkan tumpukan pasir. Mereka dengan sigap mengambil pasir dengan sekop, lalu melemparnya ke tempat yang lebih jauh dari sungai. Berulang-ulang, hingga bersimpah peluh. Sekilas, cara kerja mereka sudah mirip sekali dengan apa yang dilakukan orang dewasa. Hanya tentu, soal kekuatan pasti kalah, mereka tak mampu melempar pasir dengan jarak yang jauh.
Apa yang unik? Bukankah di kampung-kampung tertinggal seperti Karanggeneng, tempat lahirku itu, sudah biasa bila ada pemuda-pemuda atau remaja-remaja yang membantu orang tuanya mencari pasir? Bahkan ada juga yang mencari pasir sendiri untuk dijual, tanpa campur orang tua. Kalau yang satu ini aku kira bukan hal biasa. Karena dua anak yang aku ceritakan tadi bukanlah remaja, apa lagi pemuda. Mereka benar-benar anak-anak. Kecil.
Kalau dilihat dari ukuran fisik, besar tubuh mereka sepertinya masih seukuran baju dengan Lavy yang saat ini umur lima tahun. Mungkin memang masih TK, sama seperti Lavy. Kalau tidak paling juga baru kelas satu SD. Akan tetapi dalam hal bekarja memindahkan pasir tadi, mereka benar-benar sudah luwes, seperti orang dewasa. Sigap dan cekatan. Kalau Lavy yang disuruh melakukan itu, cara pegang skopnya saja dia pasti bingung.
Satu lagi, salah satu di antaranya kemudian disuruh mengambil kelapa oleh bapaknya. Kebetulan di pinggir sungai, berseberangan dengan tempat memindahkan pasir terlihat ada buah kelapa. Pastilah buah kelapa yang jatuh, hanyut di sungai dan nyangkut di situ. Si anak itu pun kemudia meloncat-loncat di atas bebatuan. Ketika tak ada batu yang dekat untuk di tapaki, anak itu pun terun ke air yang cukup deras. Dia ambil kelapa itu, lalu kembali dengan cukup susah payah. Sampai-sampai di terpeleset dalam air, hingga hampir seluruh badannya kecuali kepala masuk ke air. Toh dia berhasil kembali dengan memegang buah kelapa.
Anak yang hebat. Kalau Lavy, takkan mungkin berani bila disuruh melakukan hal demikian. Jangankan menyebarang, menahan arus sungai, turun ke sungai itu juga pasti tak mau dan tak berani. Medannya tidak mudah untuk dilalui anak kecil. Jangankan Lavy, embah bilang; “Kalau Riyan, meski dipaksa seribu kali dan dikasih hadian gak bakalan mau turun ke sungai.”  Riyan itu sepupu Lavy yang sudah SD. Umurnya tiga tahunan lebih tua dari Lavy.
Nah, mengapa demikian? Padahal si Riyan juga tinggal di lingkungan yang sama. Tak jauh dari sungai itu. Sebabnya, Riyan memang tidak biasa melakukan hal-hal semacam itu. Tak pernah mencari pasir, tak pernah turun ke sungai. Di luar jam sekolah, Riyan lebih banyak bermain di rumah dan sekitar rumah. Nonton film, main leptop, main mobil-mobilan dan semacamnya. Bila ada kesulitan tertentu, ada bapak, emak dan mbah uti dan mbah akung  yang selalu siap membantu. Riyan tak pernah melakukan pekerjaan yang berat semacam mengambil buah kelapa di kali.
Satu lai cerita. Kali ini tentang Lavy yang belajar bersepada. Mulanya di sepeda Lavy dipasang dua roda bantu di belakang. Meski Lavy belum dapat menyeimbangkan diri, sepeda takkan roboh. Akan tetapi roda bantu tersebut tentu tak boleh dipasang terus-menerus. Bila demikian, Lavy takkan benar-benar mampu naik sepeda. Aku pun mencopot dua roda kecil itu.
Aku atau bundanya harus memagangi dan setengah berlari mengikuti Lavy. Miring ke kanan ke kiri. Hendak ambruk melulu. Tak apa. Lama-lama keseimbangan tercipta, aku tak harus memagangnya kuat-kuat. Sesekali aku dapat melepasnya. Lavy sudah dapat menjaga keseimbangan untuk berapa detik. Semakin dia berlatih, semakin lama Lavy dapat menjaga keseimbangan. Dan pada saatnya, kami harus melepasnya. Dia harus belajar mengayuh sepedanya tanpa dipegangi. Awalnya dia terjatuh dan terjatuh lagi. Dia pun sebal ketika berkali-kali kesusuhan untuk memulai. Baru saja digenjot, sepeda sudah oleng. Terkadang Lavy marah-marah sendiri dan hendak menangis. Akan tetapi aku terus berusaha menyemangatinya, sambil menunjukkan cara yang lebih mudah. Akhirnya, Lavy pun lancar mengayuh bersepeda, meski harus mengalami jatuh berkali, luka di sana sini. Kini dia sudah berani sendirian berkeliling perumahan menggunakan sepeda birunya.
Satu pelajaran dari dua kisah tadi, biarkan anak-anak kita menghadapi tantangan dan memecahkan persoalannya sendiri. Ketika mereka melakukan usaha-usaha tertentu tanpa bantuan orang tua, mereka akan belajar. Mereka akan punya kemampuan baru.
Kesalahan orang tua, kadang terlalu ingin melindungi dan tak rela melihat anaknya kesusahan. Main pisau dilarang, takut akan mengenai tubuhnya. Naik pohon dilarang agar tak jatuh. Hujan-hujanan tak pernah diperbolehkan, nanti sakit. Main di sungai haram hukumnya, nanti kena duri, kena pecahan kaca, jatuh, tenggelam... Ingin mainan tertentu terus dibelikan atau dibuatin, tak pernah didorong untuk membuat mainannya sendiri.
Nah, terlalu melindungi dan banyak memberi bantuan seringkali justru menghambat anak-anak kita untuk berkembang secara alami. Mereka tak punya kesempatan berkreasi, tak banyak kesempatan untuk belajar dari kesalahan sendiri. Mereka pun jarang mengalami bahagianya meraih keberhasilan setelah melewati berbagai tantangan dan kesulitan.
Oke, beri anak-anak kita kesempatan untuk menghadapi tantangan dan belajar. Terkadang mereka lebih memerlukan sekedar dorongan dan kepercayaan daripada bantuan dan berlindungan. Wallahu a’lam bi showab. Semoga bermanfaat. Silahkan bila bersedia membagi catatan ini pada yang lain.

3 Responses
  1. Mulyono Abi Hanifah Says:

    Assalaamu'alaikum mas Rahman...

    Salam kenal...

    Saya tahunya bu Endang, karena saya eks SDN Jamus 1 ( 1983 ). Salam buat ibu ya... Saya asli Krajan...

    Bagus blog-nya... Bagus artikel-nya... Bagus motivasinya...

    Semoga sukses...
    Assalaamu'alaikum.

    Mulyono Abu Hanifah

  2. Unknown Says:
    Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
  3. Anonim Says:

    Wa'alaikumussalam wr wb
    Wah,senang sekali nih bisa ketemu saudara.
    Wah, kenal Bu Endang yang bu guru atau Bu Endang emak saya ya?
    Terima kasih atas motivasinya. Mohon do'a agar dapat terus berkarya.

abcs