Yah, akhirnya
aku nulis lagi. Beberapan pekan enggan menulis. Bukan karena tak sempat. Kalau
disempat-sempatkan pasti sempat ya? Akan tetapi beberapa hal yang menampar egoku
memang membuat semangat menulis sempat ngedrop. Di samping, aku juga takut,
emosi negatif akan terlalu banyak mempengaruhi tulisanku. Jangan-jangan bukan
pahala yang akan kudapat, melainkan dosa.
Tapi ya...
sudah terlanjur, sudah kecemplung di
dunia tulis-menulis (sebenarnya sudah jatuh cinta), pada akhirnya toh aku nulis
lagi. Kali ini ingin memuhasabahi diri saja. Entah ini kreatif atau
sesungguhnya cuma pengen narsis. Lha muhasabah kok ditulis segala, disebarin
via jejaring sosial pula? Ah, sekali lagi, sudah terlajur cinta sama dunia
tulis-menulis.
Ceritanya,
gebalau hati sempat melandaku beberapa waktu. Yah, penyakitnya anak muda
barangkali, galau. Mudah-mudahan, seiring jemariku menari di atas laptop yang
bukan punya sendiri ini, gebalau itu akan menyelinap pergi dari hati ini.
Bukankan menulis dapat menjadi katarsis bagi jiwa? Ya, aku mempercayai teori
itu, menulis dapat membantu kita membuang sampah-sampah jiwa yang menumpuk.
Semoga..
Banyak sebab
kegalauan menimpaku. Yah, hubungan muamalah
seringkali menjadi sebab-musabab. Akan kuceritakan kegalauan yang positif saja.
Galau-galau yang lain biarlah, kuhapus saja.
Tentang
pandangan manusia dan pandangan Allah. Ah, sedikit lamban menuliskan ini. Takut
niat belum betul-betul lurus, ikhlas demi mendapatkan ridha Allah. Takut, syetan
kembali menyandra hati dan pikiranku. Allah..., hamba berlindung kepadamu.
Pandangan
manusia. Bersyukur, bahwa banyak orang masih mempercayaiku, menghormatiku dan
terkadang meninggikanku. Ramadhan
tiga tahun yang lalu, juga dua tahun lalu, aku dipercaya warga Perumahan Taman
Anggur Refaonda untuk jadi imam tarawih. Kebetulan di perumahan belum ada
mushalla, jadi kita tarawihan di salah satu rumah warga. Ada jama’ah shalat
khusus Ramadhan saja. Ramadhan terakhir aku tak jadi imam karena sudah ada imam
baru, kebetulan namanya juga Pak Imam. Beliau belum lama membangun rumah persis
di samping kiri rumahku.
Alhamdulillah, berkat gotong royong
warga dan kesungguhan panitia pembangunan, mushalla di perumahanku kini telah
berdiri dan dimanfaatkan. Malah sempat mengadakan acara peresmian sekaligus Mauludan. Ketika pak Imam absen jadi
imam, ternyata aku masih pula dipercaya untuk menggantikan. Rupanya Pak Imam
cukup sering absen. Jadinya aku sering juga jadi pengganti, menjadi imam shalat
wajib. Malah, akhir-akhir ini, aku yang lebih sering jadi imam dari pada Pak
Imam.
Padahal, jama’ahnya
sebagian besar sudah matang usia. Empat puluh dan lima puluh ke atas. Cuma ada
satu yang remaja, plus anak-anak. Sedang aku masih usia 31. Cukup tua juga sih.
Akan tetapi mereka-mereka lebih mempercayakanku untuk jadi imam mushalla. Bacaan
lebih bagus dan hapalan lebih banyak, kurasa itu sebabnya. Padahal, dua juz
yang sebagian bubar lagi itu sesungguhnya, terlalu sedikit untuk orang setua
diri ini. (Temen-temen SDIT Buah Hati, kita berlomba yuks tingkatin hapalan.
Masak kalah sama muridnya...).
Seringkali
terbersit... Ya Allah, aku jadi imam. Rasanya sungguh tak pantas. Teramat bertumpuk
dosa. Mungkin aku lebih muda, tapi soal dosa, barangkali aku yang paling banyak
menumpuknya. Bacaan lebih bagus kalau mengaburkan keikhlasan juga tiada arti.
Hapalan yang dpada bubar itu juga bukan apa-apa. Malah tempo hari, di sekolah
ada seorang gadis yang jualan sepatu. Dia tak berjilbab dan berpakain cukup
seksi. Ketika melihatnya, langsung terlintas di benak, ‘ah, barangkali dalam
pandangan Allah, dia jauh lebih baik dariku.’ Kembali teringat dosa-dosa yang
menggunung...
Di SDIT Buah
Hati, aku juga masih memegang amanah sebagai waka kurikulum. Kadang merasa
sangat tak pantas. Dalam hal administrasi saja aku kalah dengan ustadz-ustadzah
yang lain. Kadang merasa sangat tak bertanggung jawab. Banyak hal yang
seharusnya kukerjakan, tapi belum atau bahkan enggan kulakukan. Atau mungkin
sudah kulakukan, tapi belum sepenuh kesungguhan, belum maksimal. Barangkali
juga banyak hal yang semestinya kulakukan, tapi aku tak tahu kalau harus melakukannya. Sebaliknya,
ada hal-hal yang tak semestinya kulakukan, tapi justru sering mengisi
hari-hariku. Yang jelas, bila menengok tanggung jawab, rasanya aku tak cukup
pantas untuk memikulnya. Aku masih dari yang penuh kelemahan dan kekurangan.
Sementara
amanah di FLP Cabang Pemalang alhamdulillah
sudah berkurang. Aku lengser dari jabatan ketua. Insya Allah, esok akan kuceritakan yang ini. Akan tetapi, dalam hal
tulis-menulis, kayaknya aku juga masih jadi rujukan utama di Kota Pemalang. Aku
tetap saja memikul tanggung jawab, untuk mengembangkan dakwah bil qolam.
Khususnya di kota kecil ini.
Ah, sepertinya
aku tak perlu galau lagi. Sudah saatnya untuk bersemangat. Menjadi diri yang
baru. Menyongsong hari esok yang lebih cerah.
(he, ini nulis terasa
sekenanya. Ngasih judulnya juga begitu)