Waktunya Untuk Berbagi


Kisah ini pernah kujalani.
Tombol power komputer baru saja aku pencet. Ketika loading selesai, segera kuputar video riset psikologi yang pernah aku dapat dari kawan di Jogja. Ingin aku menonton film-film pendek itu bersama istri. Tapi dia rupaya sedang tidak berminat. Istriku justru merebahkan dirinya di ranjang tidur kami. Lalu suara lembut meluncur dari bibir manisnya; “Suami…!!” Aku pun menyahut; “Apa istri….?” Kami biasa saling sapa seperti itu. Walau tiada sesuatu ingin disampaikan.
Film berjudul Ghadul Bashar kini kuputar. Berisi riset tentang efek memandang lawan jenis terhadap sistem-sistem hormonal di tubuh manusia. Namun, satu film pendek itu belum lagi usai, istriku kembali berucap merajuk; “Suami..., istri pengen denger cerita.” Enggan rasanya menanggapi istriku. Aku masih ingin menonton. Tapi egoku mereda, ketika istriku kembali memanggilku merayu-rayu; “Suami….!! Suaami.” Lagi pula, tidak sampai dua bulan lagi, insya’Allah istriku akan berjuang melahirkan jundi kami yang pertama. Do’akan ya. Sungguh, sedikitpun aku tak ingin membuatnya kecewa.
Aku datang, menjulurkan tubuhku berbaring di sampingnya.
Aku lupa telah bermula dari mana. Yang jelas, berbagai cerita kemudian berhambur dari mulutku dan mulutnya. Tentang masa kecil kami, tentang orang tua kami, tentang saudara-saudara kami, tentang rencana usaha kami, tentang… banyak sekali. Istriku terhanyut, ketika kuputar kembali memori tentang kisah-kisah pahit yang pernah kualami. Tapi aku tahu, istriku juga bahagia. Bahagia karena aku mau berbagi. Begitupun diriku, aku bahagia bisa berbagi cerita. Kegembiraanku kini jauh lebih banyak dari yang aku dapat ketika nonton film riset psikologi tadi. Terima kasih istriku, kau telah mengajakku berbagi.
Waktu berbagi memang perlu. Selain karena kita harus terus-menerus berta’aruf dengan pasangan, seperti diungkap Budiyanto pada kolom ayah edisi November lalu, juga karena berbagi mengundang harmoni. Berbagi mendatangkan bahagia hati. Berbagi mengusir duka dan resah yang sempat menghantui.
Kisah-kisah pilu “anak pembantu” tentu telah banyak engkau dengar. Cukup sudah hal itu menjadi alasan pentingnya berbagai. Jikalau ayah ibu pergi pagi dan pulang malam, maka peran mereka sepenuhnya digantikan pembantu. Bila anak bangun tidur, bukan ayah atau ibu yang dicari, melainkan si embak atau si bude. Ya si pembantu itu. Ketika beranjak dewasa, kisah-kisah pilu itu dimulai. Lalu hilanglah harmoni. Broken home, akhir drama itu. Begitulah, kalau waktu berbagi sudah dikorupsi.
Maka, mari selalu sediakan waktu untuk berbagai dengan keluarga. Istri, suami, anak, semua butuh bercerita dan mendengar cerita. Kalau bukan keluarga yang mengambil peran, maka akan digantikan oleh televisi, radio, atau juga pembantu. Lalu…, kisah pilu pun berulang. Bisa jadi terjadi pada keluarga kita. Jangan sampai!
Mari selalu sediakan waktu untuk berbagi dengan keluarga. Sesibuk apapun aktivitasmu di luar sana, keluarga jadikan yang utama. Bolehlah suami istri semua bekerja, asal waktu berbagi dengan keluarga tetap tersedia. Tiada artinya sukses mengumpul harta, kalau keluarga sendiri merasa sengsara dan merana. Tiada guna terus bekerja, kalau untuk saling bercerita saja tak bisa. Maka sekali lagi, mari sediakan waktu untuk berbagi.
0 Responses
abcs