Pelanggaran

Pernahkah engkau mencontek saat ada tes di sekolah? Bagus sekali kalau kau menjawab; TIDAK PERNAH. Masalahnya di sekolah tertentu, terutama di sekolah-sekolah kurang favorit, apa lagi jurusannya juga tidak favorit, mencontek kadang menjadi kebiasaan turun-temurun. Jangankan anak yang tidak pernah dapat rengking, juara kelasnya saja mesih tergoda untuk ikut mencontek. Nggak percaya? Kau survey aja sendiri!
Banyak cara yang dilakukan anak-anak sekolah itu dalam mencontek. Ada yang membuat catatan kecil-kecil di sebuah kertas panjang, kemudian digulung atau dilipat hingga lipatan paling kecil. Ada pula yang menaruh kertas contekannya dalam laci, saku celana, bahkan kaos kaki. Sebagian siswa suka melirik jawaban teman sebelah. Yang lainnya saling bertanya dengan lempar-lemparan kertas. Yang lainnya lagi saling bekerjasama dengan kode-kode tertentu. Bahkan ada yang sering menuliskan contekannya pada meja tulis. Sebelum tes mereka menuliskannya pada meja yang hendak dipakai ujian, usai ujian mereka menghilangkan tulisan itu dengan pemes untuk digunakan mencontek pada tes berikutnya.
Masalahnya lagi, guru-gurunya terkadang juga tak begitu peduli dengan kebiasaan mencontek ini. Jelas-jelas muridnya pada mencontek, tapi dibiarkan saja. Memincingkan mata dan pura-pura tidak melihat. Parahnya lagi, di sekolah-sekolah tertentu guru-gurunya justru memberi jawaban ujian kepada murid-muridnya. Hal ini sering terjadi pada Ujian Nasioan. Demi menyelamatkan murid-muridnya dari kegagalan, demi menjaga nama baik sekolah, ya diberi jawabannya saja.
Nah, lebih parahnya lagi, ternyata hal itu juga telah menjadi kebijakan dinas pendidikan di kota X. Wal hasil, kota X ini menjadi peringkat pertama pada Ujian Nasional tahun itu. Weleh, ternyata kota X itu adalah kota tempat tinggalku sendiri. Menyedihkan!
Mencontek dalam hal ini memang hanya dilakukan oleh siswa atau mahasiswa yang sedang ujian. Tapi secara umum, inilah potret masyarakat kita. Betapa sering manusia melanggar aturan untuk memperoleh hasil yang instan. Padahal, hasil itu barangkali akan menghancurkan diri sendiri di masa yang akan datang.
Lihatlah di jalanan, betapa banyak pengendara yang nekat menerobos lampu merah. Banyak sekali. Kalau lampu kuning menyala, pengguna jalan bukannya memperlambat kendaraannya, tapi justru tambah ngebut menghindari lampu merah. Ketika lampu merah sudah menyela, mereka pun terus melaju, sebelum kendaraan-kendaraan dari arah kanan mulai bergerak. Itu kalau tidak terlihat polisi lalu-lintas sedang berjaga. Kalau melihat polisi, mereka akan mengerem mendadak. Beruntung kalau tidak kebablasan. Kalau mbablas, bisa-bisa berhenti tempat di tengah perempatan, seperti yang pernah dialami si Ayi. Jadilah makanan empuk polisi.
Nah, para pelanggar itu bukannya tak tahu aturannya. Bukan pula tak tahu kalau pelanggarannya penuh resiko. Tapi karena kecenderungan untuk melanggar aturan memang sudah tertanam di jiwanya. Plus ada kesempatan.
Lihatlah di kantor-kantor (pemerintahan terutama), betapa banyak pelanggaran terjadi. Pegawai yang hobi telat dan bolos. Pegawai yang nonton VCD goyang ngebor di komputer saat jam kerja. Pegawai yang main tenes meja dengan meninggalkan pekerjaan kantor yang belum digarap. Pegawai yang minta sogokan pada masyarakat yang memerlukan pelayanan. Pegawai yang korupsi, walau tak selalu berjumlah besar. Hal-hal seperti itu merupakan fenomena yang berulang-ulang. Kalau tak percaya, sering-sering saja ke kantor-kantor seperti itu, kau akan menemukan hal-hal yang MENYEBALKAN. Kenapa semua itu terjadi? Bukan pula karena mereka tak tahu aturannya. Tapi karena kecenderungan untuk melanggar aturan memang sudah tertanam di jiwa. Plus ada kesempatan.
Pelanggaran. Dalam permainan sepak bola, pelaku pelanggaran akan mendapat ganjaran. Diberi kartu kuning atau justru diusir dari kancah pertandingan; kartu merah. Kalau tidak, minimal pihak lawan akan mendapatkan tendangan bebas. Tapi pemain sepak bola juga selalu berhati-hati dengan pelanggaran. Kalau wasit sedang mengawasinya, ia takkan melakukan pelanggaran dengan terang-terangan. Kalau ada kesempatan..., baru....
Begitupun dalam lingkup-lingkup kehidupan lainnya, orang akan berhati-hati melakukan pelanggaran kalau sedang diawasi. Kalau polisi sedang mengatur lalu-lintas di tengah jalan, orang takkan berani menerobos lampu merah (kecuali motornya gede atau temannya banyak). Itu karena resikonya jelas, ia bakal ditilang. Di kantor-kantor seperti yang telah kita bicarakan juga takkan terjadi banyak pelanggaran, kalau sedang diawasi pimpinan atau datang seorang penilik. Kecuali kalau mereka sudah terbiasa kongkalikong dengan pimpinan dan pengawasnya. Dan biasanya memang sudah begitu. Antara pimpinan dan bawahan, antara pengawas dan yang diawasi sama saja, tukang buat pelanggaran.
Jika tak ada pengawas, pelanggaran-pelanggaran itu hampir selalu terjadi. Kalau ada operasi mendadak, orang-orang kelabakan. Ada polisi yang menertibkan pengguna jalan, memeriksa kelengkapan berkendaraan misalnya. Atau pada kasus Pegawai Negeri, ada operasi Satpol PP datang ke tempat-tempat umum untuk mencari Pegawai Negeri yang melanggar jam kerja.
Celakanya, kebiasaan melakukan pelanggaran tak hanya dilakukan terhadap aturan-aturan yang ditetapkan manusia. Pelanggaran juga biasa dilakukan terhadap aturan-aturan Sang Penguasa Jagad Raya. Lihatlah dosa-dosa yang dilakukan manusia. Di mana saja, kapan saja, selalu ada. Ada dan selalu ada. Sebabnya; mereka tidak merasa sedang diwasi.
Bagi orang Islam, perbuatan dosa banyak dilakukan bukan karena tidak tahu akan larangannya. Banyak orang yang tekun mempelajari syari’at, tapi tetap saja gemar bermaksiat. Pun kalau dosa-dosa itu dilakukan karena tidak tahu aturan yang benar, ia mungkin tetap mendapatkan ganjarannya di neraka.
Waku itu Supri dan Ayi sedang menuju Pantai Baron untuk survey tempat di mana Lembaga Dakwah di kampus mereka hendak mengadakan rihlah. Biasa, mereka berangkat dengan Astrea 800 milik Supri. Di tengah perjalanan, tiba-tiba mereka dicegat polisi dan ditilang. Ternyata mereka telah melewati jalur yang salah. Dulu jalan itu memang dipakai untuk jalur ke arah selatan, tapi ternyata sekarang ada jalan baru di sebelah timur. Jalan baru inilah yang digunakan untuk jalur ke arah selatan. Sedang jalan yang tadi mereka lewati khusus untuk jalur ke utara. Pak polisi tentu tak menerima alasan bahwa Supri dan Ayi tidak tahu aturannya atau tidak melihat rambu-rambu. Yang jelas rambunya telah dipasang dan mereka melakukan pelanggaran. Karena itu harus ditilang.
Yang menyebalkan, bapak-bapak polisi itu mengintip dari tempat tersembunyi. Baru kalau ada pengendara yang nyasar di jalur itu, pak polisi muncul untuk menilang. Bukankah bapak-bapak polisi itu seharusnya berada di pertigaan tempat para pengendara harus berbelok, untuk memberitahukan pengguna jalan bahwa ke arah selatan dialihkan melalui jalan sebelah timur? Ternyata pelanggaran para pengendara memang telah diharap-harap oleh bapak-bapak polisi itu. Untuk apa lagi kalau bukan mendapatkan bagian dari uang tilang. Jadi, sebenarnya siapa yang melakukan pelanggaran?
Allah telah membuat aturan yang sebaik-baiknya dengan menurunkan al-Qur’an. Allah juga tidak memberikan hukuman yang tidak adil seperti bapak-bapak polisi itu. Tapi tetap, alasan “tidak tahu” tidak dapat diterima. Ya Allah, aku tidak tahu kalau zina itu berdosa, aku tidak tahu kalau korupsi itu melanggar aturan, aku tidak tahu kalau Kau melarang riba, aku tidak tahu kalau Kau perintahkan kami shalat dan zakat, aku tidak tahu kalau puasa Ramadhan itu wajib. Ya Allah, aku tidak tahu tentang semua itu, maka ampunilah aku. Mana bisa begitu?!!!
Begitulah, kecenderungan untuk berbuat pelanggaran memang sudah tertanam dalam jiwa manusia? Pernahkah kau melihat pertandingan sepak bola tanpa pelanggaran yang disengaja? Sepertinya hampir tak pernah!
Memang, selain jalan kebaikan, manusia juga telah diilhamkan jalan kefujuran. “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefujuran dan ketaqwaannya.” (Qs. Asy-Syams: 8). Tapi al-Qur’an bukan hanya ayat ini. Al-Qur’an terdiri dari 30 jus yang terdiri dari 114 surat. Ayat tadi tak bisa dijadikan pembenaran untuk pelakukan pelanggaran. Justru ayat ini diturunkan agar manusia berhati-hati dengan kecenderungan-kecenderungan buruk yang ada pada dirinya. Jangan biarkan ia menguat dan menjelma menjadi tindakan. Tapi sucikanlah! “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (Qs. Asy-Syams: 10)
0 Responses
abcs