Mancing

Semenjak dalam buaian hingga lulus kuliah, orang tua terus memenuhi kebutuhan kita. Setidaknya kebutuhan untuk mengenyangkan perut dan menghilangkan dahaga. Selebihnya, banyak sekali yang telah mereka berikan untuk kita. Namun tak selamanya kita boleh mendompleng hidup pada mareka. Malah seharusnya, kita sudah hidup mandiri sejak SMA. Tapi entah kesalahan siapa, pada umumnya anak usia sekolah memang masih sangat tergantung pada orang tua. Perlu ini itu, ya minta ke bokap ato nyokap.
Bagi engkau yang masih sekolah atau sedang mengenyam pendidikan kampus, segeralah mulai untuk hidup mandiri. Setelah kau lulus nanti, bukan saatnya lagi menengadahkan tangan pada orang tua, apa lagi pada orang lain. Lebih-lebih bila kau telah hidup berkeluarga, urusan rezki itu menjadi tanggung jawabmu sepenuhnya. Terutama bagi kau yang bersetatus sebagai suami atau ayah.
Kita lihat orang tua kita yang keduanya kian renta. Barangkali tubuhnya tak lagi tegap, wajahnya tak lagi cerah, keriput sudah terlihat di mana-mana, dan yang pasti, tenaganya takkan sekuat dulu, waktu muda. Sungguh, tak adil bila kita terus meminta kepada orang tua. Meski bagi mereka bekerja adalah tanggung jawab dan kebahagiaan, bukan berarti kita leluasa untuk terus berharap asupan dari mereka. Justru seharusnya gantian kita yang mencukupi kebutuhan mereka. Sungguh, seberapapun kita beri, takkan pernah sebanding dengan pengorbanan dan perjuangan mereka. Bagaimanapun usaha kita meringankan beban mereka, itu hanya setetes air dibanding lautan cinta mereka.
Katakan seorang Mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Sebut saja seorang aktivis dakwah bernama Ahmad. Demi meringankan beban orang tua, Ahmad rela menyisihkan waktu lelahnya untuk bekerja. Ia menjadi penjaga Rental Computer yang juga melayani jasa Fotocopy. Sebetapapun banyak urusan kuliah, Ahmad harus datang ke tempat kerja tepat jam 3 sore. Ia akan bergumul dengan tulisan-tulisan yang harus diketik atau difotocopy hingga jam 11 malam. Setelah itu Ahmad baru bisa istirahat, menginap di tempatnya bekerja. Ia berbaring di karpet tanpa bantal, apa lagi kasur, memejamkan mata, berharap mimpi indah datang menemani. Itu kalau tidak ada lembur karena order ketikan yang banyak. Kalau lembur?? Belum lagi urusan dakwah kampus. Saat itu ia sedang menjabat Ketua Devisi pada Lembaga Dakwah di Kampusnya. Nah, bila LDK sedang ada kegiatan, ya jam 11 malam itu ia akan berangkat. Selesainya jam berapa? Kira-kira saja! Nah, esok paginya ia harus bergelut lagi dengan buku-buku. Sungguh, mahasiswa yang penuh perjuangan bukan?
Tunggu dulu, belum semua kuceritakan tentang Ahmad. Ketika mata kuliah tinggal KKL dan Skripsi, Ahmad justru menambah jam kerjanya. Selain bekerja di Rental Computer itu, Ahmad juga bekerja sebagai pengamplas di usaha kerajinan bambu. Pagi hari, jam 7 hingga jam 11 ia bergelut dengan bambu. Habis itu pulang ke kos-kosan untuk bersih-bersih diri. Bila tidak ada keperluan penting ia dapat sejenak merebahkan badan, mengendorkan otot-otot yang kaku dan mengurangi penat di kepala. Namun bila ada bimbingan laporan KKL atau sekripsi, ia akan datang ke kampus. Nah, jam 3 sore ia harus ada di Rental computer lagi. Padahal jarak tempat kos Ahmad dengan kampus dan dua tempat kerjanya tidaklah dekat. Tak kurang dari 40 kilo meter setiap hari ditempuh dengan motor bututnya. Terbayang bukan betapa capeknya?
Begitulah kehidupan Ahmad. Hari-harinya berputar dengan aktivitas yang hampir sama. Lelah memang dirasakan oleh Ahmad. Tapi hanya itulah yang dapat ia lakukan untuk membantu meringankan beban orang tua. Dengan modal ijazah SMA tentu bukan mudah mencari pekerjaan yang lebih menghasilkan. Untunglah Ahmad tidak malu, atau mungkin telah menepis rasa malu bekerja sebagai tukang amplas bambu dan tukang ketik.
Sekilas kita dapat melihat kehidupan Ahmad yang penuh perjuangan. Namun bila dibanding dengan pengorbanan kedua orang tuanya, semua itu belum apa-apa. Dalam hal uang kebutuhan kuliah saja, orangtuanyalah yang menjadi donatur utama. Saat itu SPP kuliahnya mungkin sekitar 1 juta. Kebutuhan lain, seperti beli buku, buat peper, foto kopi, bayar kos, bensin, dan sebagainya juga tak kalah sedikit. Bila Ahmad harus membiayainya sendiri, barangkali ia akan segera menyerah.
Tahu berapa gaji Ahmad selama kerja di Rental computer? Jawabannya; 100 ribu/bulan. Itu untuk tiga bulan pertama, bulan ke empat dan seterusnya baru 150 ribu. Lah, segitu doank?! Ya iya, masak kerja di rental computer mau minta gaji 1 juta? Gajinya kerja di kerajinan bambu juga tidak jauh berbeda. Berapa? Kira-kira sendiri lah. Yang jelas, lebih kecil dari gajinya di rental computer.
Nah, tak sebanding bukan dengan pemberian dari orang tuanya?
Kini Ahmad telah lulus kuliah. Ia tak lagi bergelut dengan teori-teori ekonomi Islam di kampusnya. Ahmad juga tak lagi tinggal serumah dengan orang tuanya. Kini, bahkan ia telah menemui pujaan hati yang selama ini dicarinya. Akhwat shalihah itu disuntingnya. Tentu…, untuk urusan rezki Ahmad kini benar-benar harus berjuang sendiri. Memang, istri terkasihnya seorang PNS dengan gaji yang cukup besar bagi anak asli kampung seperti Ahmad. Tapi tetap, nafkah keluarga adalah kewajiban yang harus ditunaikan suami. Ahmad punya tanggung jawab terhadap diri, istri dan anak-anaknya nanti.
Kebutuhan manusia memang banyak dan tiada putus, baik kebutuhan materi maupun non materi. Untuk kebutuhan materi, bekerja merupakan jawabannya. Namun perlu engkau ingat, bahwa bekerja bukan melulu memenuhi kebutuhan materi. Justru kebutuhan ukhrawi, sebenarnya harus menjadi prioritas terdepan. Maksudnya bagimana?
Bekerja adalah kewajiban agama. Islam mencela orang-orang yang sanggup bekerja, tapi menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Meminta-minta kata Rasulullah, hanya patut bagi tiga golongan; orang kafir berkalang tanah, orang yang terlilit hutang yang memberatkan dan orang yang terkena kewajiban membayar diyat yang menyakitkan. Engkau bukan salah satunya bukan?
Karena itu, kerja sesiangan kita tak bertujuan untuk semata mendapatkan penghasilan (uang). Akan tapi juga untuk menunaikan kewajiban agama. Kita bekerja bukan hanya untuk fananya dunia, tapi juga untuk akhirat yang kekal abadi. Bahkan akhirat itu yang lebih utama. Walal aakhiratu khairul laka minal uulaa. Jadi, secara maknawi, bekerja tiada beda dengan shalat, zakat, puasa, haji, dsb.
Kita kembali pada cerita si Ahmad. Waktu kecil dulu Ahmad juga sudah melakukan kegiatan ekonomi; bekerja menjemput rezki dari ilahi. Sewaktu TK, Ahmad mengantarkan slondok yang dibungkus dengan plastik kecil-kecil oleh ibunya ke pedagang di dekat ia sekolah. Kalau ada untungnya, tentu Ahmad dikasih buat sangu (uang saku). Sewaktu SD dan SMP, Ahmad biasa membantu ibunya mengantar jenang dodol ke toko-toko untuk dititipkan. Sekalian sepeda santai. Waktu itu di rumah Ahmad belum ada sepeda motor. Otomatis ke mana-mana harus pakai sepeda ontel. Meski begitu Ahmad sangat menikmatinya.
Satu lagi kegiatan ekonomi yang dilakukan Ahmad kecil, mancing.
Di kali atau di slokan-slokan kecil kampungnya masih berrenangan ikan liar waktu itu. Kegiatan mencari ikan sangatlah mengasyikkan, baik bagi anak kecil maupun orang dewasa. Apa lagi bila bulan Ramadhan datang, mancing adalah alternatif yang sangat menarik untuk ngabuburit, menunggu mentari menenggelamkan diri.
Ahmad punya tempat-tempat favorit untuk mancing, karena di situ banyak ikan berkumpul. Untuk umpan memancing, paling sering Ahmad kecil menggunakan cacing. Tapi terkadang juga menggunakan belalang. Memang ada ikan tertentu yang lebih mudah dipancing dengan belalang. Kalau orang-orang lain ada yang memakai campuran tempe bosok, bekatul dan bahan-bahan tertentu. Tapi tetap, bagi Ahmad paling mudah adalah cacing.
Nah, hidup di dunia ini ibarat mancing. Termasuk ketika kita sedang bekerja menjemput rezki, sebenarnya kita sedang mancing. Mancing apa? Mancing kehidupan yang baik di akhirat.
Segala pekerjaan yang kita lakukan di dunia ini sebenarnya untuk meraih kebahagiaan di akhirat. Ibarat mancing, bekerja di dunia adalah pekerjaan mencari cacing. Terus, cacing itu akan kita gunakan untuk mencari kebaikan di akhirat. Jadi tujuan utamanya adalah akhirat, bukan dunia. Kalau kita mancing, tujuannya adalah ikan, bukan mendapat cacing kan?
Anehnya banyak orang yang berlomba mencari cacing-cacing dunia, tapi lupa mengejar ikan akherat. Mereka bersusah payah, berebut, bahkan saling bermusuhan hanya untuk mendapatkan dunia. Yang sudah dapat berbangga-bangga, yang belum dapat iri hati. Padahal, dunia hanyalah cacing.
Pernah tidak kau temui dialog semacam ini?
Alex : “Ga sia-sia gue capek, hasil kerja keras gue hari ini lumayan. Gue udah dapat dua kantong cacing. Loe gimana friend?”
Tomy : “Ha ha…! Segitu aja kau bangga. Aku, hari ini saja sudah dapat satu ember cacing. Di rumah, aku sudah punya berpuluh-puluh ember penuh cacing.”
Bejo : “Tomy curang sih, nyari cacingnya ngerebut lahanku. Aku dikasih donk!”
Nah, lucu bukan?

“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat. ,Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.” (QS. al-Baqarah::86)
0 Responses
abcs