Hati-hati Spyware dapat Menyerang HATI

Kita telah sering mendengar tentang tiga kondisi manusia. Ada qalbun salim, qalbun maridh dan qalbun mayyit. Hati yang sehat, hati yang sakit dan hati yang mati. Bila kita ibaratkan kembali, ada komputer yang bersih dari virus ataupun spyware, sehingga program-programnya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Akan tetapi seringkali virus menyerang tanpa permisi. Program-program dalam komputer memang masih dapat digunakan, tapi error di sana sini. Misalnya file-file yang berexstention doc berubah menjadi application. Tulisan di dalamnya berganti-ganti sesuai perintah virus. Nah, repot. Lebih parah lagi bila terserang virus yang lebih ganas. Tiba-tiba program yang telah terinstal bisa macet sama sekali. Ketika dibuka tak bisa loading. Lebih-lebih virus yang dapat menyerang system BIOS dan merusak hardware, dapat mengakibatkan komputer sama sekali tak bisa dipakai.

Nah, mari kita kembali ke hati. Hati yang sehat tentu saja hati yang masih dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan benar. Dengan qalbun salim manusia akan dapat menyerap ilmu dan hikmah, mencintai Allah, beribadah kepada-Nya dan merasakan kelezatan dengan mengingat-Nya.

Maka, dengan hati yang sehat, kita akan terus cenderung pada kebaikan. Ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca mudah kita cerna kandungannya, hadist Rasulullah dapat kita tauladani. Kita pun semakin peka dengan apa yang kita lihat, apa yang kita denganrdan apa yang kita temui setiap saat, sehingga di mana pun kita berada, selalu ada hikmah yang dapat dipetik. Ketika masyarakat sekitar banyak berbuat kekeliruan, menjauh dari aturan-aturan Allah misalnya, maka hati yang sehat selalu peka. Ia pun merasa ada yang mesti dibetulkan, bukan ikut hanyut dalam kekeliuran-kekeliruan serupa. Atau kita dia sendiri yang terlanjur bebuat kesalahan, akan timbul kegundahan di hati, hingga ia berhenti berbuat salah, beristighfar dan mengapus jejak kekeliruan dengan timbunan kebaikan. Ingat fungsi autocorect pada hati?

Hati yang sehat juga akan cenderung mencintai Allah, merasakan kenikmatan beribadah dan berdzikir kepada-Nya. Kecintaan kepada selain Allah akan tertepis, bila itu bertentangan dengan kecintaan terhadap-Nya. Maka dengan hati yang sehat, manusia akan terhindar dari ketergelinciran akibat kecintaan terhadap syahwat. Bagaimana mungkin akan berbohong, mencuri atau berzina misalnya, kalau yang dicinta adalah Allah. Sedang Allah telah mengharamkan semua itu. Akankah seorang pecinta melakukan hal-hal yang dibenci oleh kekasihnya?

Namun berhati-hatilah dengan hati. Kadang ia tak lagi memiliki kepekaan positif. Kemungkinan hati itu sedang sakit, atau bahkan telah mati. Sebagaimana anggota tubuh manusia lainnya, bila sedang sakit, hati menjadi tak mampu menjalankan fungsinya, atau dapat menjalankan fungsinya, tetapi terjadi ketidakstabilan.

Dengan qalbun salim, hati yang sehat, kita akan mampu menangkap hikmah dari bacaan al-Qur’an, hadits Rasulullah, buku yang dibaca, atau kisah-kisah hidup manusia. Akan tetapi banyak orang diperdengarkan al-Qur’an setiap saat, atau bahkan membacanya sendiri, tapi tak merasakan sesuatu, tak ada perubahan pada dirinya dan tak ada ilmu yang diserap oleh jiwanya.

Betapa beda dengan kondisi orang-orang shalih yang telah mendahului kita. Ketika diperdengarkan al-Qur’an, mereka menyungkur sujud, menangis karena merasakan keagungan dan kebenarannya.

Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi ni'mat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58)

Hati yang sehat akan menempatkan cinta kepada Allah sebagai cinta tertinggi, ibadah kepadaNya sebagai hiburan paling mengasyikkan. Akan tetapi hati yang sakit, qalbun maridh tak lagi dapat merasakan hal demikian. Hati yang sakit justru cenderung mencintai selain Allah, merasakan ibadah sebagai beban, bukan hal yang menyenangkan. Sangat buruk keadaan ini, sebagaimana Allah menggambarkan tentang keadaan orang-orang munafik yang meminta izin kepada Rasulullah untuk tidak ikut berjihad di jalan Allah dengan berbagai alasan yang disengaja.

”Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak  menafkahkan  mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (At-Taubah: 54)

Al-Ghazali memberi kiasan yang menohok kesadaran kita. Bagaimana dengan perut yang tak lagi selera dengan makan dan minum? Bagaiman jika perut tak lagi suka dengan roti atau nasi dan air, tapi justru lebih suka tanah atau batu? Tentu perut itu telah sakit. Begitulah, bila hati kita lebih mencintai selain Allah, pastilah hati kita sedang sakit. Atau bila hati kita seakan terselubungi kegelapan, sehingga sulit dimasuki hikmah, pastilah hati kita juga sedang sakit.

Lebih parah lagi qalbun mayit. Hati yang telah mati tak lagi mampu menangkap hikmah, tak mampu menyerap ilmu, tak lagi merasakan cinta kepada Allah, apalah lagi merasakan kelezatan beribadah dan berdzikir kepadaNya, tidak sama sekali. Seumpama anjing, hati yang mati tak mampu lagi membedakan mana yang baik mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, bebal sama sekali. Bila engkau menghalunya maka anjing itu menjulurkan lidahnya dan jika engkau membiarkannya dia menjulurkan lidahnya pula.

Maka, hati yang mati justru cenderung pada dunia dan kelezatan syahwat, cenderung pada dosa dan perbuatan maksiat. Na’udzubillah, mudah-mudahan kita terhindar dari yang demikian itu.

0 Responses
abcs