Ilmu Pasti

Mula-mula belajar di Sekolah Dasar dulu Ahmad merasa begitu bodoh. Apa lagi menghadapi pelajaran matematika, susah. Di rumahnya Ahmad sering diajari matematika oleh kakaknya. Pernah suatu kali kakaknya sampai hilang kesabaran karena Ahmad tidak segera paham. Ahmad hanya bisa menagis mendengar marah-marah kakaknya.
Kakanya itu begitu terkenal kepintarannya. Ia hampir selalu juara kelas sejak SD sampai SMA. Ia juga sering diikutkan lomba, seperti lomba cerdas-cermat, lomba matematika, atau main catur. Hal ini semakin membuat Ahmad minder, karena ia merasa begitu berbeda dengan kakakknya. Ia hanyalah seorang anak bodoh.
Seiring kesungguhan Ahmad dalam menuntut ilmu, ia pun semakin menikmati sekolah. Kelas empat SD Ahmad telah mampu menduduki peringkat tiga di kelasnya. Terus di kelas lima, jadi juga Ahmad juara kelas. Di tingkat SMA, Ahmad justru dapat mendominasi juara kelas.
Di SMA, ilmu pasti seperti matematika justru telah menjadi andalan Ahmad. Itu karena jawaban soal ujian bersifat pasti. Kalau 2 ditambah 2, hasilnya ya 4. Pasti. Kegemarannya mengerjakan soal-soal matematika yang ada di buku LKS, telah membuatnya unggul di kelas. Kini Ahmad tak lagi merasa menjadi anak paling bodoh di rumahnya. Ahmad juga bisa juara kelas. Ahmad juga bisa dapat beasiswa seperti kakaknya.
Kisah Ahmad kecil memberi pelajaran bahwa kepandaian seseorang bukanlah melulu faktor bawaan lahir. Kepandaian dapat dimiliki kerena seseorang mau belajar. Memang ada orang-orang yang sejak kecil memiliki kecerdasan intelektual lebih dari lainnnya. Namun kalau kemampuan berpikirnya tidak diasah, ilmunya tidak ditambah, otaknya bisa jadi tumpul. Sama seperti pisau yang dibiarkan tergeletak, tak pernah dipakai, tak pernah diasah. Lama-lama pisau itu akan tumpul, berkarat dan rusak.
Itulah sunnatullah. Allah telah memberikan kadar-kadar (qadar = ukuran) hasil tertentu atas usaha manusia. Siswa yang mau belajar akan mendapat nilai lebih baik dari siswa yang enggan belajar. Siswa yang belajarnya lebih serius juga akan mendapat nilai lebih baik dari siswa yang belajar sekenanya. Kalau ada siswa yang sudah belajar dengan optimal tapi justru mendapat nilai jelek, itulah takdir-Nya. Jadi, kita tidak bisa menyalahkan takdir atas jeleknya nilai yang diperoleh. Barangkali kita yang belum optimal dalam belajar. Kalau kau sudah belajar giat, kemudian kau memperoleh nilai bagus, itu kan takdir juga.
Maka perlu diingat, bahwa usaha seoptimal apapun yang telah dilakukan, kalau Allah belum menghendaki suatu kebaikan, pasti tidak akan sampai pada kita. Walau kau belajar siang malam dengan motivasi yang tinggi, dengan teknik-teknik belajar paling efektif, kalau Allah belum menghendaki nilai sepuluh bagimu, pasti kau tak akan mendapatkannya. Di sinilah saatnya kita berserah diri pada Allah, bahwa segala sesuatu hanya akan terjedi menurut kehendak-Nya.
Seperti itulah kehidupan di dunia ini, segalanya serba belum pasti. Hanya Allah saja yang mengetahui kepastiannya. Manusia hanya mengenalnya sebagai kemungkinan-kemungkinan. Kalau sudah belajar giat, kau mungkin mendapat nilai bagus, tapi belum pasti. Bagi anak sekolah, lulus itu baru mungkin, belum pasti. Begitupun muda-mudi yang sudah pacaran 5 tahun, kalau belum dilaksanakan, nikah itu baru mungkin bagi mereka, belum pasti. Kalau toh mereka jadi menikah, hidup bahagia juga baru mungkin, belum pasti.
Barangkali kau sudah siap untuk menikah esok pagi. Undangan telah disebar, panggung dan dekorasi telah dipasang, catering telah dipesan, keluarga-keluarga dekat telah datang, baju pengantin telah disiapkan, lafaz nikah telah kau hapalkan, bahkan kamar pengantin juga telah dihias dan dirapikan. Tapi tetap saja, nikah bagimu masih mungkin, belum pasti. Siapa tahu hari ini calon istrimu justru jatuh cinta pada pemuda kenalanmu, si pembuat baju pengantin itu. Terus dia batalkan pernikahan denganmu untuk menikah dengan pemuda itu. Siapa tahu? Atau…, siapa tahu nanti malam kau kena setrum ketika coba membenahi lampu di samping panggung yang mati. Terus kamu juga ikut mati seperti lampu itu. Siapa tahu?
Begitulah kehidupan di dunia ini, segala yang belum terjadi serba belum pasti.
Dalam hitungan matematika, memang 1 dibagi 2 hasilnya ½. Tapi dalam hitungan yang lain, hasilnya bisa berbeda. Dalam hitungan cinta misalnya, 1 dibagi 2 hasilnya tidak lagi ½, tapi justru menjadi 2. Seperti cinta seorang pria kepada istrinya, ketika sang istri telah melahirkan buah hatinya, maka ia harus membagi cintanya menjadi dua. Tapi tidak mungkin pria itu hanya memberikan cinta kepada istri dan anaknya setengah-setengah. Ia akan tetap memberikan totalitas cinta pada kedua kekasih hatinya. Cintanya kepada istri dan anak bukanlah 50% : 50%, melainkan 100% : 100%. Jadi total cintanya akan menjadi 200%. He he…
Nah, jadi…, ilmu pasti tidak berlaku di dunia ini. Segalanya serba mungkin….
Kecuali satu hal, mati. Bahwa semua manusia dan mahkluk yang hidup di dunai ini akan mati, itu baru pasti.
Setelah mati itulah semuanya menjadi pasti. Bahwa orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat akan mendapat siksa kubur. Kemudian bahwa orang yang banyak beramal shalih akan dilapangkan kuburnya, itu juga pasti.
Begitupun kehidupan selanjutnya. Bahwa orang beriman yang di dunia berbuat baik, banyak beramal shalih dan menghindari dosa-dosa akan dimasukkan Surga, itu pasti. Sebaliknya, orang yang di dunia durjana akan diterjunkan ke neraka, itu juga pasti. Bahwa hidup di Surga itu nikmat, bahagian, menyenangkan dan segalanya serba indah, itu pasti. Sebaliknya, bahwa hidup di neraka itu penuh siksa, sengsara dan merana juga pasti.
Guyonan Ustadz Didik Purwodarsono, kalau di dunia kau masih bisa mengatakan; "Ah, belum tentu pejabat yang kaya raya itu hidupnya lebih bahagia daripada aku." Tapi bagi orang yang dimasukkan ke neraka, dia tak mungkin berargumen; "Ah, belum tentu mereka yang tinggal di Surga itu hidupnya lebih enak dari aku yang di neraka."
Lalu…, apa kau akan tetap mengejar yang belum pasti?
Dan melupakan yang pasti??
0 Responses
abcs