Peluru Nasib

Semangatnya baru saja hendak pulih, tapi kembali terkapar oleh tikaman peluru nasib. “Kowe butuh pekerjaan? Ini ada gelas plastik bekas air mineral, kowe bawa ke perempatan jalan sono. Ngemis saja, pekerjaan di sini nggak cocok buat kowe,” kata Pak Bejo, petugas tes wawancara itu.
Telah terlalu sering Minto dihina, tapi tak pernah sekeji ini. Tangannya hampir saja menghempas gelas plastik itu ke muka Pak Bejo. Ingin ia menghajar Pak Bejo hingga sekarat. Tapi itu sama saja nyari penyakit, Minto tak melakukannya.
Minto menerima gelas plastik itu, lalu beranjak dari dudukknya dan pergi tanpa kata. Geram, dendam, malu, pilu. Di dekatnya puluhan muda-mudi antri menunggu panggilan wawancara. Menatapi langkah Minto dan luka dalam yang dideritanya. Sebagian barangkali berpikir bahwa sebentar lagi akan mendapat perlakuan sama. Kalau tidak separah Minto, setidaknya sama-sama dihina.
Baru lima langkah Minto mengayun kaki, suara Pak Bejo kembali berdengung. “Lulusan SD mau jadi teller koperasi. Mana bisa? Ra lucu… Dasar wong ndeso.”
Minto tak menoleh. Ia terus berjalan, keluar dari ruangan itu, membanting pintu keras-keras dan kabur. Brengsek!!
Setahun lebih Minto jadi pengangguran. Sebelumnya Minto bekerja di tempat Pak Kirun, membuat meja kursi kayu berukir yang katanya diekspor hingga ke Jerman. Entah kenapa Pak Kirun mati muda. Mungkin karena penyakit kegemukan. Adiknya yang bernama Kirman memang tak gemuk, tapi kalah gesit dari Pak Kirun. Di bawah kendali Kirman, perusahaan meubel itu kian bangkrut, lalu tutup.
Minto telah puas mencari pekerjaan baru, tapi tak jua mendapatinya. Sering Minto berandai-andai; andai punya ijazah kuliahan, atau setidaknya SMA, mungkin akan mudah mendapat pekejaan sebagai sales sabun cuci, atau apa sajalah. Kerja di pabrik juga gak masalah. Nyatanya Minto hanya punya ijazah SD. Pasrah pada nasib, itu yang kemudian dilakukannya.
Putus asanya sedikit terobati oleh nasihat Kyai Johar yang jadi tetangga. “Min, yang ngasih kita hidup ini Gusti Allah. Yang ngasih semua-muanya juga Gusti Allah, termasuk pekerjaan. Terus saja berusaha, minta pada Allah.”
Kata-kata Kyai Johar telah menyihirnya, hingga kaki Minto kuat melangkah ke tukang koran. Minto tak membeli, hanya pinjam untuk melihat lowongan kerja pada iklan baris. Beruntung tukang koran itu baik hati. Minto mencatat beberapa yang mungkin ia datangi. Sampailah Minto hari ini pada ruang tes wawancara untuk menjadi pegawai di sebuah koperasi Mekar Sari yang telah mengutuknya jadi pengemis.
Kemarahan dan kegundahan Minto kian terbakar, mendapati Marni menangis di rumahnya. “Mas, Bapak terus mendesakku segera nikah.” Terisak. “Kalau Mas Minto nggak segera melamar Marni, jangan lagi ketemu Marni, mungkin Marni akan jadi milik Pak Bejo, pegawai koperasi Mekar Sari.” Kembali terisak. “Sudah dua kali Pak Bejo lamar aku Mas. Demi Mas Minto aku rela dimarah-marah terus sama Bapak.”
Minto tak berusaha menghibur Marni dan mengukir janji, justru meledak. “Kawin sono sama Pak Bejo!”
Marni cepat-cepat memburu pintu depan, membantinya dari luar persis seperti dilakukan Minto di koperasi tadi. Lari dan lari, ditemani isaknya yang kian menjadi. Sementara Minto sendiri menyesali ucapannya. Marni…, maafkan Mas Minto. Mas Minto sudah berusaha keras untuk mendapat pekerjaan. Andai sudah ada sedikit uang, Mas Minto pasti datang melamar.
Minto terduduk lemas di amben. Ditatapnya gambar Marni yang terpajang ditembok. Gambar hitam putih itu telah 5 tahun terpajang di sana. Tak berubah, Marni tetap saja cantik. Tiba-tiba saja mata Minto telah meleleh.

******
Waktu terus berputar, Minto masih saja menganggur. Apa mungkin aku memang harus jadi pengemis? Minto sempat berpikir seperti itu. Ah, lupakan. Nasibku takkan seperah itu. Bagaimanapun juga aku harus terus berusaha mendapat pekerjaan terpuji. Mending nyuci piring tiap hari dari pada ngemis, apa lagi nyuri.
Sejak ditudingnya untuk kawin sama Pak Bejo Marni tak pernah datang. Hanya sekali mengirim salam lewat Suminah, adik bungsu Minto yang masih SMP. Minto sendiri tak berani datang ke rumah Marni. Selain tak tahu apa hendak dikata pada Marni, Minto juga tak enak hati dengan Pak Parto, bapakknya Marni. Sudah dua tahun lalu Minto berjanji akan segera melamar Marni.
Rindu dan rindu yang dirasai Minto. Marni… apa kabarmu? Kau bertahanlah, Mas Minto pasti datang. Maafkan Mas Minto karena tak sanggup mengunjungimu saat ini. Mas Minto tak punya apa-apa untuk membuatmu tersenyum. Bahkan kabar bahwa aku telah bekerja pun tak punya. Buat apa aku datang sekarang? Paling-paling menambah dalam luka yang kau derita.
Minto terhenyak dari lamunannya karena hari berlalu begitu cepat. Ancaman Marni dulu terbukti, ia telah menjadi istri orang lain. Dan suaminya… tentu Pak Bejo. Ya, Pak Bejo yang telah mengutuknya jadi pengemis itu. Marni telah diboyong ke Karang Jati, sebuah kampung yang jaraknya dua kecamatan dari kampung Minto.
Minto kalap mendengar kabar itu. Ia mengambil parang, hendak menggorok leher sendiri. Tapi tak kuasa. Tidak, aku takkan mati untuk ini. Bedebah!
Dilemparnya parang itu ke gambar Marni yang nempel di tembok bambu. Parang itu jatuh ke lantai tanah dan gambar Marni robek di Pipi. Didekatinya gambar itu. “Marni… kau brengsek! Brengsek! Kau brengseekk!” Dipukulinya gambar Marni berulang dan, “Brakk!.” Minto kaget oleh genting yang jatuh akibat goyangan tembok yang dipukulinya. Ditatapnya lagi gambar Marni. Sekali lagi Minto hendak memukul Marni dalam gambar itu, tepat di mukanya. Tapi tangannya tertahan dan bergetar. Minto menyentuhkan jari-jari kasarnya ke pipi Marni yang robek, dengan lembut. “Marni…, aku mencintaimu….”

*******

Minto berusaha untuk tegar. Tak putus harap dan doa memperoleh pekerjaan yang dapat menghidupinya. Pun setelah sekian lama, ia memperolehnya juga. Minto jadi tukang parkir di dekat pasar Mrican. Minto bekerja keras, tapi selalu hilang tenaga ketika merenung. Untuk apa bekerja, bagaimanapun, Marni takkan lagi jadi milikku? Kenapa seperti ini? Kenapa nasib tak berpihak padaku?
Celengan Minto telah cukup untuk nikah ala orang desa, tapi tak ingin. Kawan kerjanya yang telah beranak dua berkali-kali hendak mengenalkan Minto dengan sepupunya yang kata orang-orang ayu dan lugu. Gadis itu kembang desa. Sampai saat ini Minto masih tak ingin. Menunggu. Ya, Minto masih menunggu. Tapi entah apa yang ditunggu. Dia tahu bahwa Marni takkan lagi datang untuknya. Mungkin Minto berharap ada keajaiban, bahwa Marni masih seorang gadis yang suci. Minto akan datang untuk melamarnya.
“Marni, memang Mas Minto miskin dan tak punya apa-apa, tapi Mas Minto berjanji akan membahagiakan Marni.”
“Iya, Marni juga yakin, hanya Mas Minto dapat memberi Marni kebahagiaan.”
“Pak, motor merah.” Lamunan Minto pecah ketika seorang perempuan menyodorkan karcis parkir dan uang lima ratus perak. Minto segera menuju motor merah yang ditunjuk. Dipandanginya perempuan yang membawa motor merah itu hingga lenyap. Marni…, perempuan itu seusia Marni. Tapi sama sekali bukan Marni.
Sebentar kemudian seorang tua bertopi dan berbaju lusuh menyodorinya gelas plastik. Minto mengambil satu receh lima ratusan, ditaruhnya di gelas itu. Sekilas mata Minto melihat wajah pengemis itu. Ada yang tak asing. Seseorang yang pernah dikenalnya entah di mana. Tapi siapa?
“Eh tunggu sebentar.” Minto menahan pengemis itu ketika hendak berlalu. Seketika minto terperangah. “Rasanya aku kenal kowe… Bejo. Kowe Bejo tho? Minto tersenyum sinis. “Oo… bener, kowe Bejo, petugas tes wawancara yang dulu itu tho?. Ini aku juga punya gelas bekas air mineral, kowe bawa saja sekalian, buat cadangan, kali-kali yang itu hilang.”
Minto terseyum penuh kemenangan, tapi tiba-tiba tersentak. Ya Allah, Marni… kamu jadi apa sekarang?
Dikejarnya Pak Bejo yang telah beranjak. “Marni, apa kabarnya Marni, kau suruh ngemis juga?” Minto mencengkeram kerah baju Pak Bejo, dan mencekikkannya.
“Oo, jadi kau Minto yang membuat Marni menangis setiap hari itu?”
“Iya! Lalu kenapa?!” Bejo semakin kuat mencekik Pak Bejo.
“Marni…. Marni sudah hangus.”
“Hangus? Hangus bagaimana maksud kowe?!” Minto mengangkat tangan kirinya, siap menampar Pak Bejo.
“Beberapa hari setelah aku boyong Marni, rumahku kebakaran. Marni juga semua keluargku terjebak di dalamnya. Semuanya hangus. Aku tak punya apa-apa lagi.”
Rupanya tak lama setelah pernikahannya, rumah Pak Bejo terbakar. Karena terlalu banyak hutang pada koperasi tempatnya bekerja yang tak terbayar, Pak Bejo dipecat. Ijazah kuliah yang jadi kebanggaannya ikut terbakar. Padahal Perguruan Tinggi tempat ia kuliah dulu sudah gulung tikar. Ijazah tak terselamatkan. Kini dia ngemis. Benar-benar…, Pak Bejo.
Tubuh Minto bergetar. Tangannya siap menerbangkan tinju ke muka Pak Bejo. Namun tertahan melihat ujung-ujung mata Pak Bejo yang berembun. Seketika Minto jatuh tak bertenaga. Ditatapnya langit luas yang kosong. Lirih ia sebut nama itu. Marni….
0 Responses
abcs